Revenue

Jumat, 14 Oktober 2011

IDENTITAS


Pada suatu hari di pameran lukisan, Saya melihat drawing karya seseorang yang tentu saja saya kenal orangnya. Saya melihat drwaing tersebut, sebuah patung liberti berwarna hitam dan biru, tetapi tidak seperti laiknya liberti yang sebenarnya, pelukis tersebut mengganti obor yang di usung tangan kanannya oleh sebuah pot bunga. Mula-mula saya jadi ingin tertawa melihat karya tersebut sambil bertanya,
“kenapa ya, ko obornya di ganti oleh pot bunga”.
sambil melihat-lihat lukisan lain di sekitar dinding itu saya membayangkan drawing tadi, dan tiba-tiba ada seorang teman untuk mengajak ngbrol dengan sendirinya saya lupa dengan drawing itu dan keasyikan mengobrol sampai pulang.

Berangkatlah saya ke tempat Tolabul Ilmu, tempatnya lumayan cukup jauh dari tempat menitipkan baju dan sepatu, tentu nya saya di perjalan sebelum tiba di sana sempat berpikir

“ jikalau menuntut ilmu mendapat pahala, apalagi jauh tempatnya wah, pahalanya juga pasti di tambah”
Namun dengan jarak 15 menit saya pun tiba di sana. Dengan panas dan penuh keringat memenuhi tubuh saya kembali bertanya
“ memang siapa yang akan menambah pahalanya, meskipun tempat tolabul ilmu saya jauh dan sedikit menguras keringat dan mengeluarkan kocek uang”
Sambil menghela nafas, Saya memang seorang mahasiswa yang “tidak disiplin” katanya, memang itu kata seorang dosen,
“sudah datangnya kesiangan ke kelas lalu tidak memakai sepatu dan berpakain tidak rapih”
Memang waktu itu saya tidak mekakai sepatu, hanya memakai sendal saja dan memakai pakaian seadanya. sebelumnya memang saya tidak mandi karen di kostan stok air sedang habis jadi ya seadanya sajalah, tetapi yang penting gosok gigi agar tak bau nafas.
fikir saya begini
“ yang penting gosok gigi meskipun tidak mandi asalkan jangan korupsi tetapi harus berbaik hati. 
Setelah itu, saya duduk di bangku sambil menyadari kesalahan saya sebagai mahasiswa yang “tidak disiplin” atau setidaknya tidak mematuhi aturan perkuliahan yang seharusnya. Tetapi tiba-tiba saya tidak memperhatikan dosen tersebut ketika menerangkan mata kuliah tersebut, pikiran malah terus bertanya-tanya, sebenarnya aturan mahasiwa harus memakai pakaiain rapi itu dari mana dan apabila saya hanya memakai kain “ sarung” saja ke kelas akan seperti apa, dengan itu sebenarnya pola pemikiran dari mana sich, dan terus bertanya, pikiran saya kadang jalan-jalan ke alun-alun Bandung yang katanya sich kota mode “ faris Van java” gitu loh, terus pikiran berjalan-jalan ke tempat di kampus yang sedang di bangun, lebih teapatnya sudah retak gitu dech, nah tiba-tiba saya teringat perkataan teman saya yang tampan dari Milenia Corporation tepatnya Cileunyi Group ia memang pengusaha Counter. di samping itu, ia punya media juga, ia sempat berkata begini
“ ah saya mah kalau kuliah mau pakai peci hitam saja”
mungin saja, saya pikir ia alumni Pondok Pesantren, ah saya semakin pusing saja bila berjalan-jalan terus, sudah lah saya tidak mau mengingat itu lagi sambil jam mata kuliah sebentar lagi selesai.
Memang semua harus di pertanggung jawabkan.
Setelah ucapan teman saya di atas, ia bertanya kepada teman saya yang satu lagi. Begini katanya “ kenapa rambutmu gondrong, kamu harus mempertanggung jawabkanya juga lho”dan mungkin ada yang lebih bijak juga kata teman saya juga si tampan dari milenia itu tadi. nah ketika saya katanya ditanya oleh ayah yang budiman setelah kuliah begini
“ ayah, saya mempunyai tanggung jawab yang lebih besar lagi”.
Ya, begitulah hidup memang penuh pertanggung jawaban. Ketika seorang pemuda menteskan airmani pun harus tanggung jawab apabila kekasihnya hamil. Nah saya kembali lagi memperhatikan dosen tadi sambil menggerutu dalam hati
“ pak, bapak juga harus bertanggung jawab juga, karena hidup ini tanggung jawab”

Memang tidak seperti halnya kata temen saya “udunan adalah jiwa” jikalau bapak dosen keilmuan sastra ya harus tanggung jawab kepada sastra itu sendiri dan kepada mahasiswa sastra tersebut. Saya sebenarnya ingin mendebat dosen tersebut, tetapi ya sudahlah, mau gimana lagi mahasiswa yang “tidak dispilin”  dilarang berbicara. Jadi sama saja ya \saya andaikan “ orang miskin dilarang sekolah dan buang sampah”, nah maka dari itu apakah pendidikan hanya di nilai dari bungkusnya saja tetapi isi kacangnya tidak pernah di buka apalagi di makan, karunya atuh si kacang. pengandaian yang sederhana dari teman saya ketika ia memang mahasiswa tidak disiplin juga atau interdisiplin.

Mmengapa begitu karena bergelut di tiga dispilin ilmu sekaligus atau kalau bahasa teman saya yang satu lagi begini “menyelam sambil minum air, sudah minum air terus sambil mencari karang juga. dengan itu, pertama mempelajari pendidikan, jurnalistik dan sastra, kalau saya golongkan ia sudah mendapat gelar Fropesor sekaligus, "edan kan” bayangin aja.

Tetapi setelah adzan ashar membalut kota, aku menulis catatan ini dengan segelas kopi dan sebatang rokok sambil mendengarkan lagu “kopi lambada”, aromanya asmara dan nikmatnya membara, asyik juga ya walaupun perut keroncongan, bahwa menulis itu asyik dan lebih asyik, lebih daripada jadi politikus.

Kembali lagi ke cerita awal tentang drwaing lukisan yang mengganti patung liberti pake pot bunga, jadi menurut saya fenomena “tidak disiplin” memang kita dapati dalam kehidupan di abad ini, nah maka seorang kretator lukisan syah-syah saja menggantinya juga atau tidak disiplin, semisal sekarang banyak kiai yang menjadi politisi, ada juga lulusan Ilmu Hukum menjadi sastrawan begitu pula lulusan dokter, ada yang menjadi penulis puisi dan penyanyi dan aktris ibu kota begitu pula dengn saya seorang mahasiswa jurusan Cicaheum-Garut ( elf) hehe, maksudnya jurusan sastra tetapi menjadi tukang gorengan sampeu. mungkin itulah sejumlah contoh orang yang tidak disiplin menurut saya.

Sambil menyambut nadoman saya membayangkan begini jikalau MUI (majelis umat islam) mengeluarkan ftawa seperti “ menulislah walau satu ayat, kalau tidak menulis haram dan tidak diakui sebagai umat” itu akan seperti apa, umat islam indonesia. 

Semisal ketika jurusan sastra pasti mengkaji karya sastra dan sejumlah perkembangannya, biografi pengarang dan banyak lagi teus semisal jurusan ilmu hukum mengkaji tentang UUD 45 dan jurusan pendidikan mempelajari metode pengajaran atau ekonomi islam mempelajari teori berdagang ala Rasululoh Muhamad S.A.W. nah maka selayaknya jikalau dan sebaiknya pula ranah keilmuan tersebut mampu “disiplin” mengapa? ya jikalau jurusan Ilmu Hukum pastrilah ada dari staf pengajarnya yang menjadi konsultan hukum atau pengacara dan mahasiswnya juga kalau ada, lalu jurusan pendidikan begitu pula dengan sastra maka seharusnya “disiplin”. jikalau memang “disiplin” atau bahasa kerenya dari praktisi menuju akademisi dan dari akademisi menuju praktisi, apa salahnya jika kita mencoba berkolaborasi, mahasiswa sastra menjadi pengacara dan mahasiswa pendidikan menjadi Advocakat, apa itu “tidak disiplin?

Catatan : maaf apapbila ada nama, tokoh dan setting yang sama ini tidak kesengajaan ini hanyalah karya fiksi.

Pungkit Wijaya, penikmat kopi lambada.

Do you like this story?

Tulisan Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar