Aku seperti melihat langit itu biru kelabu. Pucat pudar dalam dekapan awan. Gagak-gagak hitam beterbangan. Dari barat ke selatan. Selatan ke timur. Lalu utara. Dan akhirnya singgah di jendela rumahku, mengendus sesuatu serupa kematian.
Siapa lagikah yang akan kaukirimi surat, Antonio. Beratus-ratus halaman kautulis, namun tak kunjung kau menerima balasannya juga. Sejak datang dari pesisir dan pelosok desa, kau seperti kesurupan menuliskan segala harapan. Namun tak kunjung kaudapatkan juga. Sampai akhirnya muara surat itu hanyalah keranjang sampah.
Aku selalu menyaksikanmu berbulir keringat menuliskan segala harapan pada secarik kertas kusam di meja belajar dekat jendela kamarmu. Di rumahmu yang besar dan lengang ini. Kau begitu serius. Seakan tak peduli pada sekelilingmu. Dalam dadamu hanya berkobar semangat bagaimana menyelesaikan surat itu dan berakhir di keranjang sampah. Surat-suratmu pun menumpuk di keranjang sampah. Harapan-harapanmu menumpuk di sana.
“Rifki, rasanya aku masih belum tahu tebusan apa yang layak untuk orang sepertiku,” katamu suatu hari di dekat jendela kamar. Kau masih berdiri termenung setelah merpati putih itu mengirimmu surat lagi. Dan kau seperti tak tahu bagaimana harus membalasnya.
***
Selalu ada saja setiap senja tiba, merpati putih itu datang. Hinggap di jendela kamarnya kemudian menyelipkan sebuah surat pendek yang isinya seperti sentakan untuk membangunkan jiwanya. Entah dari siapa. Tapi kurasa ia tahu siapa gerangan di balik surat yang datang padanya itu.
Aku selalu datang ke kamarnya hanya untuk meminjam buku-buku yang penuh tertata rapi di rak bukunya. Dan setiap kali itu pula ia mendekat kemudian berbicara seputar kehidupan yang awalnya aku asing dengan apa yang dimaksudnya.
“Aku tahu manusia adalah tempat salah dan lupa. Dan tadi merpati putih itu datang lagi. Ada surat untukku dan isinya, aku tak kan pernah memaafkan manusia sepertimu. Karena aku selalu menjadi korban kesalahan manusia-manusia sepertimu. Begitulah sepenggal kata dalam surat itu tertulis, adikku. Tapi aku tak pernah sempat menitipkan secarik surat pun untuk membalasnya pada merpati itu,” katanya dengan masih tetap berdiri dekat jendela, pagi itu.
Aku terdiam. Ia pun tak meneruskan kalimatnya lagi. Pikirannya kemudian hanyut dalam keheningan udara pagi yang masih dingin mengenaskan. Kamarnya sedikit berantakan dengan kertas-kertas, dengan buku-buku. Aku tak berusaha keras berpikir apa makna di balik ucapannya. Tapi aku hanya ingin menjadi bagian dari kegelisahannya, yang setiap pagi selalu mengusik ketenangan hidupnya dengan surat-surat dari sang merpati.
“Kak, apa kakak tahu sampai kapan merpati putih itu akan selalu mengirimkan surat-surat misteriusnya?” tanyaku seraya melihat ke luar jendela seperti halnya dia memandang alam luas yang kini mulai rapat tertutup bangunan-bangunan padat.
Antonio hanya menggeleng setelah mendengar pertanyaanku. Sejenak kami hening. Aku tetap memandang ke luar jendela. Tapi tak lama ia pun menjawab, “Namun aku bisa memastikan ini sampai kapan,”
“Ya, ya. Aku harap begitu. Segala sesuatu pasti ada akhirnya,” ujarku singkat.
“Kau semakin pintar adikku, semua memang ada akhirnya. Tidak ada yang kekal di dunia ini. Tapi aku sering mempersalahkan hal ini dengan Silvia. Ia mengacuhkan kekekalan itu. Terutama dengan apa yang namanya cinta. Cinta yang selalu ia anggap hanya padaku saja, tidak pada yang lain. Cinta pada apa yang ia senangi. Tanpa berpikir kalau aku juga bagian dari kefanaan itu. Aku bagian dari tidak kekekalan itu,” Antonio kemudian berbalik membelakangi jendela. Ia mengambil sebuah buku di rak yang ada di sampingnya.
“Ki, kamu tahu ini buku apa?”
“Maksud kakak?”
“Kau lihat judul buku ini dan kau tebak dalam buku ini membahas tentang apa. Itu kalau kau benar-benar seorang pencinta buku,”
Aku sejenak diam. Kupandangi buku itu. Aku lihat depan belakang buku itu. Aku mengerutkan kening. Hatiku masih berpikir apa sebenarnya yang ia maksud.
“Ya aku tahu, ini buku tentang..…”
“Haha, tak perlu kau jelaskan,” Antonio menatapku lekat-lekat. “Dengar, kehidupan tidak ada dalam buku ini. Dan mungkin juga dalam buku-buku yang terjejer rapi di rak bukuku. Tapi kau hanya bisa belajar sedikit darinya. Hanya sedikit. Ya, hanya sedikit.”
Aku mengangguk. Aku tahu kalau kehidupan itu tidak ada di buku. Tapi di kenyataan hidup kita sendiri. Aku mengerti itu dan aku… Ah, tapi bukankah aku mengerti hal itu pun justru dari sebuah buku. Aneh. Sungguh pagi ini mulai memasuki tahap pertemuanku dengan Antonio semakin memusingkanku. Merpati putih selalu datang setiap pagi. Surat misterius yang selalu menjadi tanda tanya apa maksudnya. Dan kini, buku dan kehidupan menggenapkanku menjadi sarapan pagi yang pahit.
Aku teringat lagi, saat pertama kali merpati putih itu membawa secarik surat ke jendela kamar Antonio. Ia selalu mendung dalam diam. Ia berkata kalau ia tak pernah bisa memaafkan dirinya lagi. Lalu katanya lagi, “Kau jangan pernah bermain-main dengan kebebasan. Kau jangan berbuat seenaknya dengan kebebasan. Suatu saat kau akan terbelenggu olehnya,”
Tentunya aku selalu berusaha menjadi adiknya, bahkan seperti sahabatnya, teman dekatnya yang sewaktu-waktu mungkin juga menjadi sosok kakaknya. Aku akan tetap mendengarkannya. Saat itu ia terhuyung meremas-remas rambutnya yang sedikit gondrong. Sesekali menatap langit-langit kamar kemudian menunduk lagi memendam keresahan. Di sampingnya ada secarik surat dari merpati itu.
Hei Antonio,
Kamu akan tahu akibat yang kamu perbuat. Aku ingin melihat akibat itu di sini, di dunia ini. Tak ingin kutunda-tunda. Kalau kamu ingin belajar menjadi hebat, telanlah pil pahit kelakuaanmu itu...
dariku,-
Aku tak berani bertanya apa maksud surat itu. Ia masih dalam suasana galau. Mungkin dia punya masalah dengan kawannya atau kekasihnya atau siapalah yang tiba-tiba menjadi musuhnya.
Pada awalnya aku tak pernah percaya yang mengantar itu adalah seekor merpati putih. Tentu saja logikaku berpikir begitu. Ini bukan zaman Dinasti Mamluk abad 15 Masehi atau kerajaan-kerajaan dulu yang masih mengandalkan kemampuan binatang sebagai alat komunikasi jarak jauh dalam mengirim pesan. Tapi sekali aku pernah melihatnya merpati itu pergi dari jendela kamarnya setelah secarik surat mengusik paginya lagi.
Aku pernah memberanikan diri bertanya kenapa kok merpati putih itu yang membawa surat. Siapa gerangan. Namun ia hanya menjawab, “Ada yang lebih berarti dari merpati yang mengantarkan surat itu,”
Aku kembali mengerutkan kening. Berusaha berpikir keras. Tapi tak bisa.
“Ki, tak lama lagi kau akan mengalami fase hidup sepertiku. Ingat, papah mamah kita masih ada. Meski aku sendiri tak pernah merasakan keberadaannya. Ada hal yang bisa dan harus kaupersembahkan untuknya di atas segalanya. Bahkan di atas kekasihmu sekalipun. Andai kau mengalami pertentangan di antara keduanya, jangan pernah kau membuat mereka menderita.meskipun kita menderita olehnya. Aku dan kau adalah anak-anak zaman. Karena orangtua tak lagi bisa mempengaruhi kita,” Ia mengambil surat yang masih tergenggam di jariku. Membacanya sebentar. Tapi kutahu tatapannya kosong.
“Ki, lihat merpati itu terbang ke sana ke mari. Sekalipun ia membawa surat duka tapi ia tak terbelenggu olehnya. Bahkan meski ia membawa surat cinta, ia tetap terbang bebas tanpa melepaskan cinta di surat itu,” Antonio seperti antusias menunjuk-nunjuk seekor merpeti yang bermanuver di atas rumahnya dengan menggenggam secarik surat.
***
Sudah tiga hari, setiap pagi aku berlama-lama berdiri di jendela kamar Antonio tanpa di temani olehnya. Tak ada lagi merpati puith yang datang membawa surat misterius itu. Di mana kakakku sekarang? Sedang apa dia? Mungkinkah dia sedang mencari merpati itu ke mana terbangnya. Ataukah ia sedang melacak siapa di balik surat-surat yang selalu ia terima itu. Ah, sepertinya ia sudah tahu siapa yang menulisnya tapi ia pendam dalam-dalam. Tapi, aku tak tahu juga. Begitu pintar ia menyimpan misteri ini.
Katanya, waktu itu ia tak lama akan pergi. Ia ingin memastikan kalau surat itu tak kan datang lagi. Sudah terlalu banyak surat itu menumpuk di mejanya. Ah, surat itu. Aku mendekat ke meja belajarnya. Benar, surat itu sudah menumpuk puluhan lembar. Tanpa amplop, tanpa prangko, tanpa alamat, tanpa keterangan nama. Aku melihat-lihat sekilas. Dan aku ambil selembar,
Hei Antonio,
Aku memilihmu karena ragamu dan aku yakin kamu juga begitu. Kamu telah berguru pada nafsu-nafsu hatimu. Kamu telah lama berlabuh ke tengah lautan. Dan sekarang kamu rasakan, kamu akan tenggelam. Setelah tubuhku kauacak-acak, pikirkan bagaimana kamu akan selamat, Antonio….
dariku,-
Tenggelam, lautan, selamat. Ah, apa gerangan. Aku letakkan lagi sepucuk surat itu. Aku terduduk di pinggir kasur. Melihat ke jendela yang terbuka. Di sana ada bayangan Antonio. Ia berdiri memandang alam terbuka. Sebentar kemudian sang merpati datang. Kemudian menjatuhkan sepucuk surat. Dingin sekali wajah merpati itu. Aku yakin ia tak bekerja untuk seorang tukang pos mengantarkan surat. Ia juga tak bekerja untuk sebuah perusahaan besar mengembalikan surat lamaran kerja yang ditolak.
Merpati putih itu tak lama diam. Ia terbang lagi. Tak bersuara sesiul pun. Kulihat Antonio membuka gulungan surat itu. Kemudian memabacanya getir. Ia datang mendekat padaku. Lalu katanya,
“Rifki, aku tak percaya dengan cinta. Ia selalu penuh curiga. Ia selalu menggelapkan mata. Ia selalu penuh dusta. Ia mengubur harapan dan cita-cita. Juga hanya bisa menggiring bukan seiring. Apakah cinta sama dengan wanita atau orang tua kita?”
Ia kemudian berbalik lagi ke jendela. Menghela nafas sebentar. “Padahal di luar sana banyak yang membutuhkan kita. Tangisan anak kecil yang menderita mencari ayah ibunya yang tenggelam dalam bencana, bocah-bocah yang tak punya seragam tapi selalu ingin datang ke sekolah, orang-orang yang dilempari batu lalu mati, orang-orang di pinggir sungai yang selalu digusur karena putus asa mencari tempat untuk sekadar bermalam, dan mungkin juga kita korban dari orang tua yang tak pernah mengerti bagaimana kita bercita-cita,”
Aku tetap duduk di pinggir tempat tidur. Kulihat ia berjalan ke meja belajarnya. Cahaya matahari pagi masih setia menyilaukan mata. Masuk ke lubang jendela kemudian memantul lagi ke luar. Antonio memasukkan beberapa buku dan catatan ke dalam tas. Kemudian membereskan surat-surat yang sedikit berantakkan itu di mejanya. Tersusun rapi. Dan aku benar-benar melihatnya. Aku melihatnya. Melihat Antonio.
“Kakak mau ke mana?”
“Aku akan pastikan kalau merpati putih itu tak akan datang lagi,”
“Maksud kakak? Mmm…nanti kalau Silvia menanyakanmu gimana?”
Ia diam. Matanya tajam menatapku. “Tidak akan pernah!”
Aku melihat ia melangkah. Tubuhnya lenyap dibawa sinar matahari. Dihembus angin pagi. Menembus dingin pagi. Ia menembus cahaya matahari, ke luar jendela kamarnya.
“Antonio kau mau ke mana? Jangan ke sana! Di sana panas, jangan ke sana! Di sana keras, kau akan hancur!”
“Aku tahu itu cahaya matahari, tapi…”
Kau pasti lenyap.
Oh Tuhan, ia hilang ditelan matahari. Merpati putih itu menggiringnya. Merpati putih itu memaksanya. Kenapa merpati itu menjadi sangar. Kasar. Ia mencengkramnya kuat-kuat. Oh Tuhan, Tuhan.
Hei merpati, lepaskan dia….
***
Banyak orang ramai berkerumun. Pakaian mereka hitam. Samar terdengar isak tangis. Kalimat-kalimat Tuhan dipanjatkan. Puja-puja doa terkenang. Kata-kata dukungan akan kebaikan pun terngiang. Aku berdiri di sudut menyaksikan tanah-tanah itu semakin meninggi, mengubur suasana pemakaman yang semakin sendu.
“Pah, Antonio Pah, anak satu-satunya kita…” Air mata Marlina berlinang. Terisak. Ia baru saja mendengar berita kematian Antonio saat masih sibuk di luar negeri.
“Sudahlah Mah, ini sudah kehendak Yang Kuasa. Kita relakan dia. Toh dia menghadapNya bukan dengan tangan hampa. Dia membawa jutaan nyawa berharga untuk selamat dari korban longsor di desa itu,” Herias sedikit menghibur istrinya agar tetap tegar sambil sesekali menerima telepon dari klien bisnisnya seraya memarah marahi mereka karena mengganggu kekhusyukan acara pemakaman Antonio, anak satu-satunya itu.
Aku tersenyum getir. Adakah kesadaran itu terjadi ketika semuanya belum terjadi. Aku masih diam di sudut. Orang-orang berhamburan pergi setelah bunga-bunga bertaburan di atas pekuburan Antonio. Aku masih diam di sudut. Dan kulihat lagi merpati putih itu.
“Hei kau mau apa ? Masihkah kau ingin membawa surat padanya, hah.”
“Tidak, Antonio telah memastikan kalau aku tak akan membawa surat lagi padanya,”
Mendadak orang-orang seperti tak menghiraukanku, bahkan tak menganggapku ada saat mereka pergi melewatiku dari tempatku berdiri. Kakiku seolah ingin beranjak melangkah ke dalam kubur Antonio yang penuh tabur bunga-bunga itu. Masuk ke dalam. Dan terbaring dalam jasadnya. Menjadi Antonio.
--2011—
dedikasi kepada orang-orang tercinta
Oleh Restu Ashari Putra. Lahir di Jakarta, 31 Desember 1985. Bergiat di Komunitas Rumput dan Majelis Sastra Bandung. Kini sedang merampungkan studinya di Jurusan Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Puisi-puisinya singgah di antologi bersama “Empat Amanat Hujan” (DKJ, 2010), “Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010” (Dewan Kesenian Mojokerto, 2010), dan cerpen berjudul Gelas Isak dalam antologi “Bersama Gerimis” (Majelis Sastra Bandung, 2011).
0 komentar:
Posting Komentar