Hari menjelang malam adalah rombongan pengantar jenazah, dengan seragam serba hitam mereka berjalan pelan.
“Jasad siapakah yang kalian antarkan?” Tanyaku.
“Ini jasadmu, kawan. Sekarang Jum’at malam.” Jawabnya dingin. Ah, aku teringat pemuda Kafka itu, yang memasuki lubang kuburan setelah membaca namanya tertera di batu nisan.
Jum’at menjelang malam adalah ketika biasanya aku pulang dengan perasaan penuh. Rutinitas telah tandas dalam laporan mingguan, meski masih ada ini itu di pundakku, aku sampirkan untuk dilampirkan minggu depan. Pun hari ini.
Kamarku, masih seperti saat kutinggalkan pagi tagi. Apa-apa bergelatakan, rasa bosan yang sulit kurapikan. Biasanya, sebelum pulang aku berbenah. Untuk Senin nanti, menyiasati semangat dengan kerapian berapi-api. Tapi sepertinya tidak kali ini, meski sapu lidi sudah naksir berat pada karpet; puntung-puntung rokok, debu-debu, sampah kertas dan plastik. Kali ini keletihanku tidak merestui. Hanya seperti kubiarkan semula. Hanya cucian yang kubawa, beberapakali aku bawa pekerjaan pulang. Hasilnya pundakku mengalami nasib malang.
Aku memutar kunci dengan tangan berkeringat. Bukan meninggalkan kota ini terasa berat. Keharuan yang entah darimana meninggalkan kota keranjang rutinitas yang entah dengan cara apa harus kucintai. Mungkin, hanya teringat seseorang yang sempat mencintaiku tanpa cara, tanpa bicara. Biasanya besok pagi aku temui. Tapi bagaimana mungkin cinta seperti itu, bukankah gambaran dari bentuk cinta itu bersudut, sedangkan kita membayangkan dunia adalah selingkar penuh? Ah, aku hanya akan pulang. Dengan kekosongan.
Di kursi tiga dekat jendela, hunian idaman selama ini. Tas kusimpan disampingku, benteng pertahanan yang paling kuandalkan. Ah, kerandaku beroda. Rombongan pengantar jenazah itu semakin penuh mengantarku, dalam setengah jaga. Tiba-tiba aku ingin bertanya pada Jum’at malam yang mengunyahku.
“Bagaimana rasanya kekosongan, hah?”
Jawabnya adalah lanskap-lanskap di kaca jendela, berlarian dan tersesat dalam labirin bayangan wajah sendiri.
Dua setengah jam perjalanan. Kota yang kutuju, adalah sepuluh tahun yang lalu, pertama ia menyapa telapak kakiku. Kota yang kusangka tidak memungkinkan bagi cinta. Kota dimana jalan raya adalah kesempatan emasmu untuk mampus di tangan remaja pengendara, kota dimana lampu merah berubah menjadi ayah yang menculik anak-anak dari sekolah, sungai di kota ini adalah pawai limbah dan bayi-bayi yang mati kaku, pusat perbelanjaan di kota ini adalah rumah ibadah yang membuat si kapiran-kapiran tertunduk rendah. Di kota ini, orang-orang mengecat rambutnya berwarna-warna, karena mereka telah bosan dengan mimpi yang hitam putih saja; mimpi yang sering diceritakan bapak dan emak sewaktu sarapan itu. Ah, sudah kubilang. Kota ini tidak memungkinkan untuk cinta.
Kota yang menjadi tempat menginapku untuk semalam, sebelum Sabtu mengajakku pulang ke rumah dan kemudian berharap menjelma batu. Kota yang dimana cinta kadang seperti pasukan tentara, menyergap lalu melemparku semena-mena. Berkali-kali. Kota yang lampu-lampunya kunyalakan oleh senyuman gadis di Sabtu pagi. Meski di sini hujan lumpur terjadi, mereka tetap akan melahirkan pelangi.
Pukul 22.11. keranda berlabuh. Lampu-lampu di kota ini tanpa nyawa. Harus kunyalakan dengan senyum siapa? Ah, aku hanya ingin istirah dan membasuh lanskap di wajah dengan mimpi paling asing. Lalu, besok aku akan pergi, meninggalkan kota ini dalam sehari.
Cibiru, 05 Maret 2011
Oleh Pow Sirunggawir. Alumni Aqidah dan Filsafat, UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Sekarang sedang sibuk membangun kerajaan di Empires and Allies
0 komentar:
Posting Komentar