Revenue

Jurnal SASAKA

Edisi Juni 2012

Haul to Chairil Anwar

Acara FAS (Forum Alternatif Sastra)

Komunitas Sasaka

Pungkit, Anto,Atep, Ema

Acara Godi Suwarna

Sedang menyimak

Diskusi

Kebersamaan tak lekang oleh waktuuuu

Dado dan Nira

MC Acara FAS

Pungkit, Ema dan Atep

kongko-kongko

Jurnal SASAKA

Coming Soon Edisi September 2012

Jumat, 14 Oktober 2011

IDENTITAS


Pada suatu hari di pameran lukisan, Saya melihat drawing karya seseorang yang tentu saja saya kenal orangnya. Saya melihat drwaing tersebut, sebuah patung liberti berwarna hitam dan biru, tetapi tidak seperti laiknya liberti yang sebenarnya, pelukis tersebut mengganti obor yang di usung tangan kanannya oleh sebuah pot bunga. Mula-mula saya jadi ingin tertawa melihat karya tersebut sambil bertanya,
“kenapa ya, ko obornya di ganti oleh pot bunga”.
sambil melihat-lihat lukisan lain di sekitar dinding itu saya membayangkan drawing tadi, dan tiba-tiba ada seorang teman untuk mengajak ngbrol dengan sendirinya saya lupa dengan drawing itu dan keasyikan mengobrol sampai pulang.

Berangkatlah saya ke tempat Tolabul Ilmu, tempatnya lumayan cukup jauh dari tempat menitipkan baju dan sepatu, tentu nya saya di perjalan sebelum tiba di sana sempat berpikir

“ jikalau menuntut ilmu mendapat pahala, apalagi jauh tempatnya wah, pahalanya juga pasti di tambah”
Namun dengan jarak 15 menit saya pun tiba di sana. Dengan panas dan penuh keringat memenuhi tubuh saya kembali bertanya
“ memang siapa yang akan menambah pahalanya, meskipun tempat tolabul ilmu saya jauh dan sedikit menguras keringat dan mengeluarkan kocek uang”
Sambil menghela nafas, Saya memang seorang mahasiswa yang “tidak disiplin” katanya, memang itu kata seorang dosen,
“sudah datangnya kesiangan ke kelas lalu tidak memakai sepatu dan berpakain tidak rapih”
Memang waktu itu saya tidak mekakai sepatu, hanya memakai sendal saja dan memakai pakaian seadanya. sebelumnya memang saya tidak mandi karen di kostan stok air sedang habis jadi ya seadanya sajalah, tetapi yang penting gosok gigi agar tak bau nafas.
fikir saya begini
“ yang penting gosok gigi meskipun tidak mandi asalkan jangan korupsi tetapi harus berbaik hati. 
Setelah itu, saya duduk di bangku sambil menyadari kesalahan saya sebagai mahasiswa yang “tidak disiplin” atau setidaknya tidak mematuhi aturan perkuliahan yang seharusnya. Tetapi tiba-tiba saya tidak memperhatikan dosen tersebut ketika menerangkan mata kuliah tersebut, pikiran malah terus bertanya-tanya, sebenarnya aturan mahasiwa harus memakai pakaiain rapi itu dari mana dan apabila saya hanya memakai kain “ sarung” saja ke kelas akan seperti apa, dengan itu sebenarnya pola pemikiran dari mana sich, dan terus bertanya, pikiran saya kadang jalan-jalan ke alun-alun Bandung yang katanya sich kota mode “ faris Van java” gitu loh, terus pikiran berjalan-jalan ke tempat di kampus yang sedang di bangun, lebih teapatnya sudah retak gitu dech, nah tiba-tiba saya teringat perkataan teman saya yang tampan dari Milenia Corporation tepatnya Cileunyi Group ia memang pengusaha Counter. di samping itu, ia punya media juga, ia sempat berkata begini
“ ah saya mah kalau kuliah mau pakai peci hitam saja”
mungin saja, saya pikir ia alumni Pondok Pesantren, ah saya semakin pusing saja bila berjalan-jalan terus, sudah lah saya tidak mau mengingat itu lagi sambil jam mata kuliah sebentar lagi selesai.
Memang semua harus di pertanggung jawabkan.
Setelah ucapan teman saya di atas, ia bertanya kepada teman saya yang satu lagi. Begini katanya “ kenapa rambutmu gondrong, kamu harus mempertanggung jawabkanya juga lho”dan mungkin ada yang lebih bijak juga kata teman saya juga si tampan dari milenia itu tadi. nah ketika saya katanya ditanya oleh ayah yang budiman setelah kuliah begini
“ ayah, saya mempunyai tanggung jawab yang lebih besar lagi”.
Ya, begitulah hidup memang penuh pertanggung jawaban. Ketika seorang pemuda menteskan airmani pun harus tanggung jawab apabila kekasihnya hamil. Nah saya kembali lagi memperhatikan dosen tadi sambil menggerutu dalam hati
“ pak, bapak juga harus bertanggung jawab juga, karena hidup ini tanggung jawab”

Memang tidak seperti halnya kata temen saya “udunan adalah jiwa” jikalau bapak dosen keilmuan sastra ya harus tanggung jawab kepada sastra itu sendiri dan kepada mahasiswa sastra tersebut. Saya sebenarnya ingin mendebat dosen tersebut, tetapi ya sudahlah, mau gimana lagi mahasiswa yang “tidak dispilin”  dilarang berbicara. Jadi sama saja ya \saya andaikan “ orang miskin dilarang sekolah dan buang sampah”, nah maka dari itu apakah pendidikan hanya di nilai dari bungkusnya saja tetapi isi kacangnya tidak pernah di buka apalagi di makan, karunya atuh si kacang. pengandaian yang sederhana dari teman saya ketika ia memang mahasiswa tidak disiplin juga atau interdisiplin.

Mmengapa begitu karena bergelut di tiga dispilin ilmu sekaligus atau kalau bahasa teman saya yang satu lagi begini “menyelam sambil minum air, sudah minum air terus sambil mencari karang juga. dengan itu, pertama mempelajari pendidikan, jurnalistik dan sastra, kalau saya golongkan ia sudah mendapat gelar Fropesor sekaligus, "edan kan” bayangin aja.

Tetapi setelah adzan ashar membalut kota, aku menulis catatan ini dengan segelas kopi dan sebatang rokok sambil mendengarkan lagu “kopi lambada”, aromanya asmara dan nikmatnya membara, asyik juga ya walaupun perut keroncongan, bahwa menulis itu asyik dan lebih asyik, lebih daripada jadi politikus.

Kembali lagi ke cerita awal tentang drwaing lukisan yang mengganti patung liberti pake pot bunga, jadi menurut saya fenomena “tidak disiplin” memang kita dapati dalam kehidupan di abad ini, nah maka seorang kretator lukisan syah-syah saja menggantinya juga atau tidak disiplin, semisal sekarang banyak kiai yang menjadi politisi, ada juga lulusan Ilmu Hukum menjadi sastrawan begitu pula lulusan dokter, ada yang menjadi penulis puisi dan penyanyi dan aktris ibu kota begitu pula dengn saya seorang mahasiswa jurusan Cicaheum-Garut ( elf) hehe, maksudnya jurusan sastra tetapi menjadi tukang gorengan sampeu. mungkin itulah sejumlah contoh orang yang tidak disiplin menurut saya.

Sambil menyambut nadoman saya membayangkan begini jikalau MUI (majelis umat islam) mengeluarkan ftawa seperti “ menulislah walau satu ayat, kalau tidak menulis haram dan tidak diakui sebagai umat” itu akan seperti apa, umat islam indonesia. 

Semisal ketika jurusan sastra pasti mengkaji karya sastra dan sejumlah perkembangannya, biografi pengarang dan banyak lagi teus semisal jurusan ilmu hukum mengkaji tentang UUD 45 dan jurusan pendidikan mempelajari metode pengajaran atau ekonomi islam mempelajari teori berdagang ala Rasululoh Muhamad S.A.W. nah maka selayaknya jikalau dan sebaiknya pula ranah keilmuan tersebut mampu “disiplin” mengapa? ya jikalau jurusan Ilmu Hukum pastrilah ada dari staf pengajarnya yang menjadi konsultan hukum atau pengacara dan mahasiswnya juga kalau ada, lalu jurusan pendidikan begitu pula dengan sastra maka seharusnya “disiplin”. jikalau memang “disiplin” atau bahasa kerenya dari praktisi menuju akademisi dan dari akademisi menuju praktisi, apa salahnya jika kita mencoba berkolaborasi, mahasiswa sastra menjadi pengacara dan mahasiswa pendidikan menjadi Advocakat, apa itu “tidak disiplin?

Catatan : maaf apapbila ada nama, tokoh dan setting yang sama ini tidak kesengajaan ini hanyalah karya fiksi.

Pungkit Wijaya, penikmat kopi lambada.

KUNANG-KUNANG KEMATIAN


Di kampungku—yang lokasinya berada di daerah jawa, bila ada salah satu warga yang mati, maka pada malam kematiannya secara tiga malam berturut-turut kunang-kunang akan berkeliaran mengudara. Entah kebetulan atau tidak, mereka selalu beterbangan memijarkan cahaya kerlap-kerlip berwarna putih pucat atau ada juga yang kehijauan. Sebentar bercahaya sebentar redup. Seperti itulah kunang-kunang. Kata warga kampung, mereka percaya bahwa kunang-kunang itu jelmaan dari kuku orang yang mati. Cahayanya yang selalu redup itu berbentuk seperti bekas cakaran, mungkin ingin mencoba mencakar kegelapan menjadi terang oleh kuku orang mati. Namun anehnya, hanya kematian dari orang baik saja kunang-kunang tidak pernah berkeliaran.

“Apa orang yang baik tidak butuh cahaya? Apakah cahaya sudah ada melalui amal baiknya? Sedangkan yang tidak baik masih membutuhkan cahaya, bukan melalui amal baik malah dari cahaya kunang-kunang?” tanya salah seorang warga, beberapa hari yang lalu.

“Cahaya kunang-kunang itu berasal dari zat luciferin, mungkin ada hubungannya dengan Lusifer para setan neraka.” jawab Pak RT.

“Berarti bila kita mati nantinya akan menjadi iblis toh?” ia kembali bertanya.
“Bila sampean mati membawa amal buruk pasti bakalan seperti itu.” timpal yang lain.
“Tidak baik percaya sama tahayul.” bantah seseorang yang tidak setuju.
“Sampean tak percaya? Kualat loh!”
“Manusia dan iblis itu beda, tapi sama-sama mahluk ciptaan Gusti Allah!”
“Mbuh!”

Pada waktu itu aku tidak ikut melibatkan diri dalam obrolan-obrolan mereka, padahal mereka selalu sibuk membicarakannya bila ada warga yang mati. Dan entah sejak kapan mitos itu ada di kampungku, mungkin pada zaman dulu para leluhur jawa kuno selalu mengingatkan untuk melakukan amal baik terhadap sesamanya ketika hidup, dan bila matinya meninggalkan amal buruk maka kukunya akan menjelma kunang-kunang untuk mencari cahaya setelah dikubur. 

Dan sekarang hampir semua warga—dari mulai anak kecil, dewasa, hingga para orang tua—sudah tidak asing lagi untuk mengetahuinya.
Malam ini di luar nampak rembulan telah matang, langit semakin gosong, di sana ada ribuan bintang bercahaya seperti segerombolan kunang-kunang beterbangan di pekarangan rumahku, seolah ada yang mengundang kedatangan mereka. Lantas siapakah orang itu? “Apakah sekarang ada warga yang mati dengan buku catatan amal di tangan kirinya?” tanyaku dalam hati.

Kunang-kunang itu masih berkeliaran di antara pepohonan, tanah tandus yang di penuhi rimbun semak, bahkan ada satu kunang-kunang yang hinggap di jendela kamarku, lalu ke tanganku, sepertinya ia menyukaiku, atau akan menjemputku pada kematian. Pasalnya, selain mempercayai mitos kunang-kunang jelmaan kuku orang mati, orang-orang juga percaya bila ada salah satu warga yang dihinggapi kunang-kunang maka ia akan mati. Kunang-kunang itu penjemput kematian.

            Aku tidak begitu percaya pada yang namanya mitos. Tahayul. Mungkin karena sewaktu kecil aku rajin mengaji, ilmu yang pernah aku dapat bahwa orang yang mati arwahnya langsung ditempatkan oleh Tuhan, entah dimana, aku lupa lagi, sebab sudah sepuluh tahun aku tidak menuntut ilmu agama. Aku malu pada namaku yang selalu di sebut-sebut sebagai jawara kampung tak terkalahkan di usiaku sekarang yang masih berumur 27 tahun. Hingga namaku kian santer terdengar ke kampung-kampung lain.

Yadi Jopang, begitulah mereka menyebut namaku. Ketika nama itu disebut, orang-orang yang mendengarnya pasti bakal menutup pembicaraan mereka lalu pergi dari orang yang menyebut namaku. Atau mengunci rapat-rapat pintu rumah mereka bila aku berteriak-teriak di sekitar kampung pada larut malam yang tengah menikmati minuman memabukan. Di telinga mereka, suaraku bagaikan aungan singa jantan yang hendak berburu karena kelaparan.

Mereka mulai segan dan takut padaku ketika pada suatu hari di kampungku pernah terjadi sebuah bentrokan warga antar kampung. Kala itu kampungku diserang warga kampung sebelah. Mereka datang dengan membawa berbagai parang ditangannya. Penyebabnya berawal ketika Taryo, salah seorang warga kampungku yang kepergok sedang bergumul dengan istri warga kampung sana, dan bukan untuk pertama kalinya ia melakukan hal itu. Aku sebagai sahabat Taryo tentu membelanya, dengan cara melawan warga kampung sebelah dan bisa mengalahkan mereka yang membawa kapak atau sebilah belati hanya dengan tangan kosong.

Ternyata senjata mereka tidak bisa melukakiku, hanya rasa gatal saja ketika para jawara kampung lain pernah menancapkannya ke leherku. Kenapa? Sebab sudah lama aku menuntut ilmu kanuragan pada salah seorang dukun. Ia bilang, tubuhku akan tahan senjata apapun asal tiap malam menyulut kemenyan di bawah jendela kamar dan beberapa syarat lainnya; jangan pernah menyebut atas nama Tuhan, menjauhi Tuhan, dan memuja kepada setan. Bila mematuhi semua syarat itu, maka hanya dengan membacakan mantra “Yaahu jabardas-jabardis yartatas keris Soleman, den keya keris mengkana landhepe tangan ingsun” lalu tangan kanan menggebrak tanah, seketika itu puluhan lawan akan terpelanting, kocar-kacir tak karuan.

Lamunanku dikejutkan oleh Joko, sahabatku yang berbadan gemuk dengan di penuhi tato menjarah di kedua lengannya. Ia datang dari balik jendela dengan raut muka yang pucat menjadi seperti warna lampu neon kamarku. Langkahnya yang terburu-buru dan napasnya masih terengah-engah, aku tahu ia pasti membawa kabar buruk.

“Yadi, kampung kita digegerkan dengan kematian Taryo.” katanya yang berdiri di ambang jendela terbuka.
“Apa! Taryo mati? Tapi mengapa kematiannya begitu menggemparkan warga kampung?” tanyaku dengan mata melotot dan terkejut.
“Kematiannya itu telah mengundang banyak kunang-kunang, mereka takut dijemput kematian.” jawab Joko.
            “Ia mati kenapa?” tanyaku lagi.
            “Dikeroyok warga kampung sebelah karena selalu menjaili wanita sana,” jawab Joko. Lalu ia melanjutkan ucapannya, “Sebagai sahabatnya, apa yang harus kita lakukan?”
“Entahlah,” jawabku yang masih tak percaya keadaan ini.

Jadi perihal kunang-kunang yang berkeliaran malam ini di sebabkan karena Taryo mati, orang yang butuh cahaya, orang yang kurang beramal. Aku tak habis pikir kenapa kunang-kunang itu hinggap ke tanganku? Apa benar tentang mitos kunang-kunang jelmaan kuku orang mati dan yang dihinggapinya akan ikut mati? Soalnya kemarin ada kunang-kunang yang menempel di punggungnya. Ah, aku masih tetap tak percaya. Tapi bila itu jelmaan Taryo, berarti ia meminta tanganku membalaskan dendam pada warga kampung sebelah. Itu sebabnya kunang-kunang hinggap di tanganku. Pikirku.
“Lebih baik kita bunuh saja warga kampung sebelah, kita harus balas dendam!” katanya lagi antusias.
“Kau saja, aku takut seperti Taryo!”
“Kau takut mati? Bukankah kau tidak bisa dibunuh!” tanya Joko kembali.
            “Tadi ada kunang-kunang hinggap di tanganku, aku takut kunang-kunang itu penjemput kematianku.”
“Ha ha... Goblok! Mati itu di tangan Tuhan, bukan melalui kunang-kunang!”
            “Jangan bicara Tuhan, hanya mengingatkanku pada kematian!” kataku dengan nada menggertak. Lalu ia beralasan:

“Bukankah tubuhmu kebal terhadap senjata? Dulu pun kau bisa mengalahkan sepuluh jawara yang membawa parang hanya dengan tangan kosong.”
Aku tidak menjawab. Aku hanya tersenyum kecut lalu menengadahkan kepala  ke atas dengan menggertakan gigi, dan mengepalkan tangan.
***

Siang yang panas, cuaca begitu terik membuat wajah orang-orang menjadi seperti pantat kunang-kunang yang bercahaya, dan rawa-rawa telah lama mengering. Tapi tidak pada suasana rumah Taryo yang sedang berkabung. Isak tangis, derai air mata, masih mengalir dari para keluarganya. Ia yang semasa hidupnya lekat dengan dosa, kini telah berpulang meninggalkan dunia. Aku berada di rumah kecil itu bersama Joko, sekadar mengucapkan kalimat bela sungkawa, dan mengamati para pelayat dengan wajah yang di sedih-sedihkan. Aku tahu kesedihan mereka bukan karena kematian Taryo, melainkan karena kegelisahannya terhadap kunang-kunang. Bahkan secara tak sengaja kami mendengar dari salah seorang pelayat mengatakan bahwa kematian Taryo hanya penyebar kunang-kunang.
“Nanti malam pasti kunang-kunang akan semakin banyak berkeliaran, mengingat kelakuan Taryo yang tidak baik, pasti ia membutuhkan banyak cahaya, semoga tidak hinggap pada kita saja, kunang-kunang itu penjemput maut.” kata pelayat itu.

“Lebih baik kita musnahkan saja mereka, biasanya mereka bersarang di tempat-tempat yang tandus dan berawa.” jawab yang lain.
“Tapi alangkah baiknya bila kita berdoa untuk Taryo, kasihan!” aku menimpal obrolan mereka. Namun sepertinya ucapanku itu tak dihiraukannya.

 Jujur, aku sedikit emosi, apalagi setelah mendengar dari omongan seluruh warga, ternyata mereka telah sepakat nanti malam akan menangkap semua kunang-kunang yang berkeliaran. Lantas bagaimana acara tahlilan dan yasinan? Bukankah warga kampung mempunyai tradisi setiap malam mendoakan orang yang mati supaya arwahnya merasa tenang? Apakah menangkap kunang-kunang lebih penting ketimbang mendoakan Taryo? Bila mitos kunang-kunang itu memang benar, dan tak ada yang berkeliaran, mungkin ia akan kekurangan cahaya di alam sana.
“Setuju...”
“Kami semua setuju…”
“Malam ini kita harus menangkap semua kunang-kunang!” teriak semua warga bersamaan.
            “Basmi...”
“Bunuh...”
“Basmi semua hingga tak tersisa. Kami tidak ingin mati!”

Aku mendengar kerumunan warga yang berteriak di lapangan. Sepertinya kunang-kunang sudah mereka anggap sebagai Tuhan, mereka pikir kematian bukan lagi kehendak Tuhan, mereka sudah terlalu mempercayai mitos itu. Namun satu pertanyaanku, bila kunang-kunang berhasil dimusnahkan, apakah mereka bakal terhindar dari kematian? Bakal hidup abadi? Mereka menganggap Tuhan sudah mati. Bahkan Taryo yang telah mati pun mereka anggap sampah; penyebar bencana; pembawa sial; dan itu yang membuatku benci kunang-kunang. Aku tidak akan mati meski dihinggapinya. Hidup dan matiku kehendak Tuhan.

***
            Malamnya aku datang membalaskan dendam pada kampung sebelah, melakukan kerusuhan dengan melemparkan api ke rumah-rumah warga kampung itu yang terbuat dari bilik kayu dan mudah terbakar, membuat kampung itu menjadi merah, seperti neraka, api di mana-mana, dan tentunya hati mereka pun terbakar dengan mengacung-acungkan ancam sebuah parang ke arah kami.
“Tangkap mereka…”
“Kita bunuh mereka…” teriak seluruh warga.

Mereka berlari mengejar kami, seperti halnya warga kampungku yang sekarang sedang menangkap semua kunang-kunang yang berkeliaran. Melihat situasi seperti itu, raut muka Joko menjadi pucat, bahkan aku sendiri pun langsung berlari menjauhinya, dan melesapkan diri di balik semak tak jauh dari sana. Entah kenapa kekuatanku tidak lagi melindungiku, hanya darah yang bercucuran di mana-mana: kepala, tangan, dan baju yang aku kenakan pun robek terkena sayatan sebuah belati.
“Apa karena siang tadi aku menginginkan warga kampungku supaya mendoakan Taryo? Tentunya meminta kepada Tuhan.” bisikku dalam hati. Tanpa sadar aku telah melanggar pantangan dari dukun itu dan kembali mengingat Tuhan.

Di balik semak-semak itu aku hanya bisa mendengar suara Joko yang melolong kesakitan meminta pertolongan: Aduh, ampun, sakit, hentikan, dan terakhir ia berteriak memanggil namaku. Dan setelah itu hening, tak ada suara. Sial. Kenapa di saat seperti ini kekuatanku malah lenyap. Aku hanya bisa bersembunyi ketika sahabatku dikeroyok, mungkin hingga tewas. Kurasakan lututku bergetar, mungkin aku juga takut, pastinya setelah ini giliranku yang menjadi santapan para warga yang geram dengan parang tajam di tangan mereka. Sekelimunan orang masih mencari tempat persembunyianku. Aku membayangkan apa jadinya bila aku tertangkap? Mungkin tubuhku diseret, pentungan dan parang tajam akan mendarat ke tubuhku—bernasib sama seperti Taryo dan Joko—mati di tangan amukan massa.

“Apakah aku akan mati di tangan mereka?”
“Apakah kematianku telah di jemput kunang-kunang?”

Seperti itulah pertanyaan-pertanyaan yang sekarang sedang berkecamuk di pikiranku. Aku berharap mitos itu hanya bualan belaka. Aku tidak ingin mati. Kini yang aku bisa hanya meminta perlindungan Tuhan, bukan pada kekuatan yang tiba-tiba hilang. Aku mengintip mereka melalui celah semak-semak, jumlahnya sangat banyak, mungkin ada puluhan orang yang membawa parang serta pentungan yang siap di arahkan pada tubuhku. Inikah yang di rasakan Taryo dan Joko? Menikmati saat terakhir menghela napas dengan penuh dosa. Kini selain aku percaya pada perlindungan Tuhan, aku juga percaya pada mitos kunang-kunang. Aku telah di hinggapinya. Dan bila aku mati disini, semoga tidak ada kunang-kunang yang berkeliaran di malam kematianku.

Sumedang, 19 Juli 2011

Oleh Ihsan Taufik Hidayat. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris. Menulis puisi dan cerpen. Bergiat di Komunitas SASAKA

ABAD YANG LAIN


seekor anjing yang setia menunggu di mulut goa
bersama para pemuda yang resah

sesekali ada berita dari langit
tentang bisik yang gaib
sampai mereka tertidur lelap
dalam sunyi yang terjaga

“hai tuan-tuan apa yang kau lakukan?”

tak ada jawaban
hanya gamis dan kain yang menua
logam usang tak bisa ditukar

siapa yang bisa menghitung detik
dari malam-malam yang hilang

mereka terbangun dengan janggut dan rambut menggumpal
seseorang lantas pergi ke kota
iman sudah dimana-mana
orang-orang menjadi karib yang baik

“tuan kau  berada di abad yang lain”

ia menundukkan wajah
mencoba memutar ulang ingatan
ia kembali ke goa
dan menemukan enam lelaki
sudah tiada bernyawa
seekor anjing entah kemana

“tuhan masihkah aku beriman?”

Juni 2011

Oleh Miftahul Khoer (Miko Alonso) Senang Menulis Puisi, Cerpen dan Esai. Bergiat di Komunitas Kabel Data. Sedang sibuk menjalani olah jiwa.

Selasa, 11 Oktober 2011

PUISI, POLITIK, DAN PEREMPUAN CANTIK


Ayo, kenakan sepatumu/ jalanan menyiapkan debu dan kelu.
(Bambang Q-Anees)

Mari kita mulai dengan rendezvous, kenapa puisi itu mirip politik? Lalu apa hubungannya dengan perempuan cantik? Menurut pengamatan saya begitu jelas hubungan ketiga makhluk tersebut, saling bertautan satu dengan lianya, ketiganya sering bertemu dan menimbulkan energi puitik. Lalu ketiga hal tersebut semuanya harus sensual, gemulai, meliak-liuk, ada juga yang mengentak, relasi dari ketiganya harus soal bagaimana bisa menyihir, puisi harus memberikan makna mendalam kepada pembaca, politik harus membelai rakyat, begitu pula perempuan cantik harus menyihir para penyair dan politisi,(sedikit mengenang) semua itu serba memakai sesuatu yang konotatif dan tentunya syarat dengan pelbagai kepentingan. Bahkan Goenawan Moehammad dalam catatan pinggirnya menulis bahwa Richard Nixon, seorang politisi Amerika berpidato itu mirip puisi, tetapi apa yang di katakan Nixon bukan puisi tetapi ia tetap seorang politisi.

Setelah itu, mari kita lihat apa bedanya para penulis puisi (penyair) dan politisi khususnya di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Dalam kenyataanya puisi dan politik sering berbenturan, puisi bisa saja melawan, menolak, bahkan menyerukan politik, sampai-sampai banyak tema dari puisi membentak para politisi, penyair mengungkapkan ekspresinya lewat puisi, tentu saja mereka peduli terhadap perkembangan politik, politik menjadi tema dalam sastra, dan penyair Wiji Tukul selalu mengingatkan kita “hanya ada satu kata, lawan!”

Di sisi lain berbeda jika menohok para politisi khususnya yang tergabung dari pejabat kampus, mereka bisa jalan-jalan( studi banding) didanai kampus dengan dalih-dalih merumuskan undang-undang kampus, yang belum tentu seluruh mahasiswa mengetahuinya, sampai-sampai keadaaan perpolitikan kampus karut-marut hingga sampai saat ini belum ada kejelasan, belum lagi perebutan proyek kekuasaan, bagaimana nasib mahasiswa sekarang, seharusnya politisi kampus memikirkan dan membebaskan tahanan (mahasiswa atau mustad’affin) dari belenggu jeruji besi. Berbeda dengan penyair (penulis puisi) di kampus, belum tentu bisa seperti itu jalan-jalan didanai oleh kampus. Padahal penyair selalu memikirkan kampus, selalu memikirkan nasib mahasiswa (menjadikanya tema dalam puisi).

Oleh karena itu dalam benak saya bertanya-tanya, apakah para para politisi kampus akan peduli terhadap puisi? Sebuah keniscayaan, sebab puisi ditulis berdasar dengan ketulusan hati (AZN), jikalau politik syarat dengan kepentingan, dalih-dalih dalam politik ada anekdot “kawan bisa jadi lawan, lawan bisa jadi kawan” begitulah politik, tak menguntungkan Ya, tidak jadi kawan, kacian deh loe! Eh, padahalah media ucapnya sama, yaitu kata-kata (jika kampanye atau lobi-lobi). Seharusnya politisi mencintai puisi, mereka sering puitis lho, ayo coba ketika pencalonan, seribu janji membuai tehadap rakyat kampus, padahal itu konotatif, bermakna ganda, terkadang menimbulkan metapor, menimbulkan banyak pesan, terkadang tidak tertuju terhadap makna aslinya. Bahkan terlaksana atau tidak itu urusan belakangan.

Pada sisi lain juga, puisi sejak zaman dahulu kala telah ada, ia menjadi semacam tradisi lisan bagi masyarakat sebelum mengenal tulisan, pada zaman Yunani kuno hingga ke peradaban Romawi, Persia puisi tidak pernah absen. Begitu juga politik selalu beriringan, selalu berdampingan.

Hingga pada masa Arab klasik, di negeri jazirah itu banyak penyair, sampai-sampai Ka’bah, kiblat bagi umat islam menjadi semacam pertarungan antara penyair, puisi yang bagus akan di pajang, mereka sering berkumpul dan membaca puisi (dahulu sebutannya syair), bahkan kitab suci Al-qur’an diturunkan untuk melibaskan, membasmi syair para kaum jahiliah, mungkin tidak salah karena Tuhan sebagai Dzat yang maha puitis. lalu apakah Alqur’an puisi-puisi dari Tuhan itu sendiri? kita bisa setuju atau tidak, kalau tidak setuju maka seyogyanya nagucung di alun-alun.

Uniknya, Sayidina Umar r.a, sahabat rasul pernah berkata kepada Tuhan, ya Tuhan kenapa bukan aku yang menjadi atau nabi, kenapa Engkau memilih Muhammad? padahal saya penyair, tutur Umar. Bila melihat dahulu kepenyairan begitu dahsyat dan sangat diperhitungkan bahkan sebagian pakar mengatakan bahwa penyair itu nabi. Beban yang berat coy, jika menjadi penyair. Pantas saja saya melihat kecenderungan di abad ini orang-orang memilih menjadi politisi, ya, kalau menjadi politisi tinggal banyak pencitraan, sedikit gombal dan bisa melobi sana-sini, sambil berbekal ribuan massa. Niscaya Anda akan menjadi-jadi. Slogannya; maju tak gentar memebela yang bayar!
***
Perkembangan puisi di kampus ini memang tak seperti perkembangan politik. Meski adanya jurusan atau fakultas sastra tidak menjadi tolak ukur (menara gading) bagi perkembangan puisi. namun puisi tetap hadir, tetap lahir dan mengikuti semangat perkembangan zamannya, menjadi suara lain atau menurut Penyair Octavio Paz, The Other Voice. Mari kita sedkiti mengenang, dari zaman penyair Bambang Q-Anees sampai ke zaman B.F Syarifudin, dalam genre Sunda ada Liman Sanjaya, punggawa dari Garut utara, periode IAIN, hanya menyebut beberapa nama, hingga saat ini setelah berubah menjadi UIN. Atau sebut saja dari periode K.H Anwar Mussadad(alm) sampai ke periodik Rektor H. Nanat Fatah Natsir, puisi akan terus hadir. Beberapa genarasi pelapis mulai bermunculan, karena proses estafeta kepenulisan puisi harus dilanjutkan, penyair akan hadir, meski tidak banyak, dari sekian ribu cvitas akademika, mungkin hanya ada beberapa, mungkin ini yang mirip dengan konsep kenabian, dan penyair selalu menggemakan takbir, selebihnya sedikit mengutif, puisi jangan dipeti matikan atuh beb!

Puisi harus tetap hidup, jangan mati, proses kepenulisan tetap berjalan meskipun kampus hancur, gedung-gedung dirobohkan, mahasiswa tercerai berai atau menurut pandangan penyair sekaligus dosen Theologi Bambang Q-Annes menyebutnya seperti Yahudi, tersebar di mana-mana.

Oleh karenanya saya tiba-tiba ingin mengutif petikan puisinya berjudul laut, penyair ini menuliskan ,/Masih terasa getar dari bau tanah/langit dan amis laut / dan daratan yang terbakar tak disapa. Itu lah kehebatan puisi meskipun sudah di tulis pada sekitaran 2000 makna dan suasana dari puisi tersebut seakan aktual, bisa dikontekstualkan dengan keadaan kampus, liat kampus UIN seperti daratan yang terbakar tak disapa.

Lalu dalam larik selanjutnya di tulis, “Apa yang kau bebaskan Hanoman, waktu telah menindas jarak”. sebagai pembaca saya diingatkan kembali kepada sosok Hanoman atau juga ini alusi, dalam puisi tersebut si ‘aku” lirik di lukiskan sebagai hanoman yang membantu Rama ketika membebaskan perempuan cantik yang bernama Sitta, yang diculik Rahwana, “waktu telah menindas jarak”, dalam arti tidak ada kesempatan lagi, sudah terlalu lama, Sitta telah menunggu untuk dibebaskan, lirik selanjutnya “tetapi ia, juga kamu tak tahu/ bahwa sitta telah menemukan waktu dalam api/.

Ada penggambaran peristiwa, sehingga membaca puisi tersebut, bagi saya menimbulkan banyak metapor, tafsir menjadi luas, bisa dari berbagai pendekatan, bisa didekati dari sudut mana saja. Selanjutnya saya ingin menafsir, bagaimana waktu diibaratkan dengan api, mungkin semakin lama, semakin panas, atau lebih tepatnya menunggu itu hal yang membosankan, hal yang bisa membuat pori-pori tubuh seperti terbakar.

Dengan demikian, pada zaman ini saya mengambil makna dari tokoh Hanoman dari puisi Bambang Q-Annes itu dengan konteks zaman edan ini, dan mulai bertanya masih adakah sosok seorang yang mirip Hanoman di hari ini; perasaan yang tulus, pengabdi terhadap Rama, seorang pembebas, maksud saya di sini orang yang benar-benar tulus membebaskan.

Dalam ceritanya, Sitta digambarkan seorang perempuan cantik, berhidung mancung, ketika tersenyum mirip dalam iklan pasta gigi, saya membayangkan ia mirip foto model atau pragawati dari daratan Hindustan. Karena perempuan cantik harus dibebaskan, kebanyakan dalam dunia cerita, tokoh perempuan cantik menjadi sandera politik, sebenarnya saya melihat cerita antara Rahwana dan Rama sebagai peristiwa politis, memang motif pelebaran cerita digambarkan melalui penculikan Sitta, namun di sisi lain saya melihat itu sebagai perebutan kekuasaan atau politik. Atau kelakar saya jangan-jangan penyair Bambang Q-Annes sempat membebaskan perempuan cantik? Ya, bisa saja jikalau dilihat dari aspek sosiologis namun sebaiknya tidak membahas itu.

Begitulah sementara dalam tulisan yang dihidangkan kepada pembaca khususnya di kampus UIN, dalam pandangan yang tidak disertakan berbagai referensi ini, bahkan membingungkan membacanya karena tak usai, perihal sengaja, syukur-syukur bisa berlanjut menjadi bahan diskusi. Namun kembali pada persoalan puisi, politik dan perempuan cantik, memang banyak sekali tema, atau keterkaitan terhadap persoalan tersebut, atau selamanya perempuan cantik yang sensual, lengkung bibirnya tipis, alisnya hitam agak tebal, akan terus menjadi tema para penyair dan politikus? coba sejenak kita bayangkan di siang rindang, matahari belum terkudeta, angin membelai daun-daun, kau duduk di bawah pohon rindang (DPR), kau melihat perempuan berkerudung merah jambu, hidungnya mancung, tingginya semampai, leluk tubuhnya mirip pragawati Paris atau foto model dari Italia, atau sebut saja perempuan Cileunyi rasa Itali, akan timbul puisi atau tidak? selajutnya apakah UIN masih tetap seperti itu, akan tetap selamanya menjadi rumah perkutut dan para dewa!

Oleh Pungkit Wijaya. Bergiat di konsorsium sastra UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

KOTA INI


Hari menjelang malam adalah rombongan pengantar jenazah, dengan seragam serba hitam mereka berjalan pelan.
“Jasad siapakah yang kalian antarkan?” Tanyaku.

“Ini jasadmu, kawan. Sekarang Jum’at malam.” Jawabnya dingin. Ah, aku teringat pemuda Kafka itu, yang memasuki lubang kuburan setelah membaca namanya tertera di batu nisan.
Jum’at menjelang malam adalah ketika biasanya aku pulang dengan perasaan penuh. Rutinitas telah tandas dalam laporan mingguan, meski masih ada ini itu di pundakku, aku sampirkan untuk dilampirkan minggu depan. Pun hari ini.

Kamarku, masih seperti saat kutinggalkan pagi tagi. Apa-apa bergelatakan, rasa bosan yang sulit kurapikan. Biasanya, sebelum pulang aku berbenah. Untuk Senin nanti, menyiasati semangat dengan kerapian berapi-api. Tapi sepertinya tidak kali ini, meski sapu lidi sudah naksir berat pada karpet; puntung-puntung rokok, debu-debu, sampah kertas dan plastik. Kali ini keletihanku tidak merestui. Hanya seperti kubiarkan semula. Hanya cucian yang kubawa, beberapakali aku bawa pekerjaan pulang. Hasilnya pundakku mengalami nasib malang.

Aku memutar kunci dengan tangan berkeringat. Bukan meninggalkan kota ini terasa berat. Keharuan yang entah darimana meninggalkan kota keranjang rutinitas yang entah dengan cara apa harus kucintai. Mungkin, hanya teringat seseorang yang sempat mencintaiku tanpa cara, tanpa bicara. Biasanya besok pagi aku temui. Tapi bagaimana mungkin cinta seperti itu, bukankah gambaran dari bentuk cinta itu bersudut, sedangkan kita membayangkan dunia adalah selingkar penuh? Ah, aku hanya akan pulang. Dengan kekosongan.

Di kursi tiga dekat jendela, hunian idaman selama ini. Tas kusimpan disampingku, benteng pertahanan yang paling kuandalkan. Ah, kerandaku beroda. Rombongan pengantar jenazah itu semakin penuh mengantarku, dalam setengah jaga. Tiba-tiba aku ingin bertanya pada Jum’at malam yang mengunyahku.

“Bagaimana rasanya kekosongan, hah?”
Jawabnya adalah lanskap-lanskap di kaca jendela, berlarian dan tersesat dalam labirin bayangan wajah sendiri.

Dua setengah jam perjalanan. Kota yang kutuju, adalah sepuluh tahun yang lalu, pertama ia menyapa telapak kakiku. Kota yang kusangka tidak memungkinkan bagi cinta. Kota dimana jalan raya adalah kesempatan emasmu untuk mampus di tangan remaja pengendara, kota dimana lampu merah berubah menjadi ayah yang menculik anak-anak dari sekolah, sungai di kota ini adalah pawai limbah dan bayi-bayi yang mati kaku, pusat perbelanjaan di kota ini adalah rumah ibadah yang membuat si kapiran-kapiran tertunduk rendah. Di kota ini, orang-orang mengecat rambutnya berwarna-warna, karena mereka telah bosan dengan mimpi yang hitam putih saja; mimpi yang sering diceritakan bapak dan emak sewaktu sarapan itu. Ah, sudah kubilang. Kota ini tidak memungkinkan untuk cinta.

Kota yang menjadi tempat menginapku untuk semalam, sebelum Sabtu mengajakku pulang ke rumah dan kemudian berharap menjelma batu. Kota yang dimana cinta kadang seperti pasukan tentara, menyergap lalu melemparku semena-mena. Berkali-kali. Kota yang lampu-lampunya kunyalakan oleh senyuman gadis di Sabtu pagi. Meski di sini hujan lumpur terjadi, mereka tetap akan melahirkan pelangi.
Pukul 22.11. keranda berlabuh. Lampu-lampu di kota ini tanpa nyawa. Harus kunyalakan dengan senyum siapa? Ah, aku hanya ingin istirah dan membasuh lanskap di wajah dengan mimpi paling asing. Lalu, besok aku akan pergi, meninggalkan kota ini dalam sehari.

Cibiru, 05 Maret 2011

Oleh Pow Sirunggawir. Alumni Aqidah dan Filsafat, UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Sekarang sedang sibuk membangun kerajaan di Empires and Allies

MENCARI MAKAM BUNDA


/1/
lalu kau tuntun aku ke surga, sore itu. rumputan tegun
dan hanjuang sungsang mencerna merah gamismu.
langkahmu penuh, genggammu teguh: seolah mengajariku
agar kukuh pada tempuh. “demikian hidup,” katamu suatu kali,
“adalah ketabahan memenuhi janji.”

sementara jalanan dikukus kering: kampung tak lebih dari
jejer jemuran. orangorang serupa menolak halaman,
mungkin tak akrab lagi dengan penantian. gerimis telah
disangkal musim, namun matamu tetap bening.
maka aku terus merapat ke sampingmu:
langgar tinggal seinci, condong menuju sepi.

kau lantas mengalunkan barzanji. sementara aku iri:
mengapa anakmu tak pernah disebut namanya?
aku lalu meneguhkan hati, barangkali itulah caramu
memanggilku. “Tuhan tak bobo, nak,” katamu.
namun rupanya jemaatmu terlambat. mungkin benar,
iman itu serupa iuran, tergantung angka berapa
almanak menunjuknya.

sore menyorong senja ke sirna, pertanda jemaat
tak bakal mendekat. tapi kau sabar seperti megamega:
menekuni mushaf dari alif hingga ya. jendela harus
segera dirapat, pertanda jemaat urung menemu wasiat.
tapi kau tabah laiknya ayat: melipatlipat munajat
sampai ke sunyat. dalam kesendirianmu, kulihat takdirmu.

/2/
mungkin kau lupa, surga itu harus megah,
bukan langgar dengan gorden lusuh,
bedug ompong atau bilik bolong,
bukan reuni keluarga atau kolorkolor di jendela.
barangkali kau lupa bahwa selalu ada yang tak tetap
dalam fana, sebab yang kau tahu bahwa kesederhanaan
adalah iman tanpa bandingan.

mungkin kau khilaf, surga itu harus menggugah,
dengan kotak jariyah besar atau keramik mengkilat,
dengan jendelajendela berkacapatri kaligrafi,
dengan lampu mewah dan jadwal terperinci.
barangkali kau lupa bahwa surga juga tergantung
dana kampanye siapa, sebab yang kau tahu bahwa
janji dunia tak sepenuhnya bisa dipercaya.

/3/
magrib hangus ke isya, pengajian tak juga terlaksana.
tumpeng basi, telur dan kentang pasi: damar mengubur
bayangannya sendiri. kau lalu menutup kitab dan merapatkan
kening ke bumi.mungkin menginsyafi bahwa memang
hanya Tuhan saja yang selalu terjaga. jam delapan kurang sepuluh,
kauhabiskan tafakurmu. di langgar reyot itu, aku lalu bersaksi
bahwa tiada surga selain sukmamu. kau lalu menutup doa
dan langgar segera diheningkan.

tapi yang datang malah orangorang bermuka tegang.
aku dilempar ke balik pintu, kutatap, lehermu dicicip gergaji.
“dukun santet! dukun santet!” kudengar bisik keji itu:
kau jadi kedap, aku jadi pengap. perlahan langkahlangkah aus,
aku merayap di atas samak. ada basah berenang ke dada,
kugapai, kau sudah tanpa kepala.

/4/
empat belas tahun berlalu, aku tak pernah paham
mengapa jemaat tibatiba sirna. belasan tahun itu,
aku tak pernah tahu siapakah mereka yang datang
dengan kekejian. sungguh, tahuntahun tanpa isi:
aku tak pernah paham cara Tuhan menanammu
ke dalam ketiadaan.

/5/
kubakar kemenyan tiap malam selasa: membangkitkan
rinduku pada tujuhratus cara senyummu yang liku.
kusampirkan selendang itu ke pundakku,
kukhatamkan tadarusmu tentang bulan,
tentang wajah ayah yang lebih dulu undur tanpa usia.
langgar telah lama rubuh, tak ada lagi saksi selain
aku dan ingatan. aku terus berlari: menautkan tiap semoga
pada mungkin.

ah, sepertinya bunda lupa bahwa nyeri juga punya batas.
aku lalu menyerbu jalan dengan pedang bertali selendang:
beringas mencari riwayat kepalamu yang hilang.
lebaran seminggu lagi tiba, oh untuk kesekiankalinya,
aku harus ziarah ke sukma yang mana?
sungguh, aku terguncang.

Bandung, 10/05/2011

Oleh Faridz Yusuf. Alumni Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Mempunyai keinginan untuk melanjutkan studi S2.
Puisi ini muncul jadi pemenang dan puisi favorit "Cinta dan Kasih Ibu 2011" Bunda Hanna Fransisca, dari 4021judul puisi, dengan Juri lomba yang terhormat: Acep Zamzam Noor dan Joni Ariadinata.