Revenue

Jurnal SASAKA

Edisi Juni 2012

Haul to Chairil Anwar

Acara FAS (Forum Alternatif Sastra)

Komunitas Sasaka

Pungkit, Anto,Atep, Ema

Acara Godi Suwarna

Sedang menyimak

Diskusi

Kebersamaan tak lekang oleh waktuuuu

Dado dan Nira

MC Acara FAS

Pungkit, Ema dan Atep

kongko-kongko

Jurnal SASAKA

Coming Soon Edisi September 2012

Selasa, 10 Juli 2012

KISAH SI PERIANG 1

Mushtofa
Dari timur langit, matahari beranjak
Pada ketinggian yang paling mashur

Pada keramaian yang tak mengenal kata asing
Meski hanya dinyatakan lewat kebisuan

Di sana, di ruang pengembaraan burung-burung
Di mana angan-angan manusia telah bersayap
Dan menelanjangi dirinya dalam kebebasan

Kudengar hiruk pikuk para penghuni dusun
Menggotong sorak sorai kegembiraan yang fana

Melebihi kemasabodohan terik matahari
Yang menginjak-nginjak benak kepalaku

Hanya satu titik yang termaktub dalam kepala.
Engkau kekasihku, yang memulai kekhusuan baru
Dan memupus senja di jejak kenanganku
                                                                             
Tiba-tiba teriakan dewasamu
Bergema menembus perasaanku yang bimbang
Terhadap jendela kebijaksanaan malam
Yang harus aku lewati dari sini

Dari ruang waktu tak bertepi,
Yang menyimpan kisah kasih si periang
.
Maka kuingatlah pesan-pesan sang rembulan;.

Tentang penghuni malam sunyi.
Tentang penunggang mimpi-mimpi tak bersayap
Yang menjadi muasal peristiwa terhizabnya langit
.
Langit bagai laut, angin bagai ombak-ombak
Yang menghantam anganku bagai buih-buih

Rembulan kenanganku, maafkan aku
Yang menenggelamkan bayanganmu

Maka dingin air jamuanmu seolah langsung
Menusuki rongga-rongga selaput tubuhku

Aku ambruk dan terkubur dalam amuknya


 .
Tapi suara demi suaramu menyelinap lagi
Ke dalam jantung dan menjadi tungku-tungku
Yang menghangatkan dingin suka cita

Lalu yakinlah bumi untuk tidak memimpikan
Bintang-bintang. semalampun

Sang rembulan tersenyum,
Keramahanpun dirasakan bumi dan langit

Dari barat langit, matahari sembunyi dan bertapa
Pada kedalaman surga rembulan yang lebih mashur


2011


Musthofa Nayadirga. Lahir di Bandung. Mahasiswa Tafsir Hadits UIN SGD Bandung. Eksponen Komunitas Sasaka. Tukang puisi dan  penyembah wanita. 

Minggu, 08 Juli 2012

PANJALU SATU














Bila taqdir kematian pikiran yang tersimpan dalam keberadaanku ini 
Terhitung dengan seberapa banyak kuterlupa tentangmu     

Alangkah siksa-siksa yang paling menyakitkan ini, akan berupa sesuatu
Yang memutuskan perasaanku dengan perasaanku yang lainnya
Seumpama memenggal helaan napas satu
Dengan helaan yang lainnya, gila!

Seumpama kekeruhan dari sumber mata cahaya yang memerihkan mata;
kehilangan jejak-jejak dan isyarat-isyarat wujud asal muasal penciptaanku

Atau semungkin aroma-aroma dan kelezatan tuak tuak,yang tak mungkin
Kunikmati lewat bentuk kenangan yang rikuh sekalipun, maka

Kekhawatiranku ini tetap saja takan tenggelam dalam kepingan rasa
Yang tak bisa kau duga

Sampaikah pertemuan itu tiba, dan dijamu iring-iringan waktu yang janggal ?
Dengan sesajian sihir sayap sembilan puluh sembilan hati kelelawar dewasakah ?

Maka aku telah terbiasa dengan tumpukan catatan kelam perayaan-perayaan
Dan penguburan manusia-manusia prematur di kening terhitamku

Ah pikiranku, mungkin kau adalah sayap-sayap samar atau jembatan-jembatan gelap,

Tapi, hari ini aku ingin mengajakmu untuk menepi pada satu jazirah
Yang tersimpan di nadiku, maka akankah ungkapan kerinduan ini
Membuat binatang-binatang malam cemburu dan tersinggung karenanya,

 lalu dengan upacara apa kuwujudkan semunya itu mengelilingiku bagai ikan-ikan?

Setelah ini kuharap malaikat-malaikat air akan menanggalkan pakaian kepanaanku
Dan mengubur pandanganku untuk buta terhadap gurun-gurun pikiran yang gersang

Sebagaimana waktu menerjemahkan tubuh gerimis di antara lekukan lembah-lembah
Sebagaimana kekhusuan ditelanjangi pembakaran kemenyan
Yang dijilati lidah-lidah istirahmu

Memburu sesuatu yang ajaib dari kaburnya khusu terhadapmu,
Adalah jeram-jeram penantian dan singasana yang terbuat dari liang lahat menganga,
Ah lempung dan tanah yang merah
Seperti kujang-kujang tanpa sarung, yang siap menusuk kecemasan panas deritaku

Maka siapa yang akan kedinginan dalam cuaca panas yang runcing,
Jawablah olehmu sendiri !

Maka siapa yang akan kebisingan dalam kesunyian yang lengkap
Jawablah olehmu sendiri !

Wahai manusia pencipta tanya dan pencari kedamaian yang bijak !

Karena mata air keyakinan ini takan terbit di antara ruas keheningan yang ringkas
Karena suasana yang lebih ajaib ini takan terjalin di setiap sudut kesanggupan
Jiwa yang kerdil

Seandainya kemesraan pagi bukan tangan kemurahan alam
Yang bisa menutup sakitnya cuaca malam
Dan kecemasan cuaca malam bukan telapak pembebas Keaiban
Dosa-dosa cuaca siang yang gerah

Tentu kenistaan manusia akan mudah ditentukan dengan lentik telunjuk langit
Yang memihak kemujuran nasib dan memihak keberpihakan objek pikir yang pana !

Lalu apa yang terjadi atas rindu yang dikepung dan digelayuti jutaan kesabaran?

Mungkin seumpama pergantian malam dan siang hari
Yang tercipta dengan benih-benih cinta yang terbelah,
Tapi semestinya di situlah persemaian kesabaran tumbuh bertunas,
Tapi semestinya dari situlah pucuk-pucuk rasa sukur bermunculan

Lantas telaga apakah yang bisa mengubah lidahku tetap lembab dan terlipat ?
Bahkan keterpakuan norma-norma apakah yang mampu menjamu pernikahan malam
Dan tersibaknya mushap-mushap di angkasa, memberkatiku

Dari sabtu yang tak bisa kupanggul; dari negeri asalku,
Aku kembali mendekati negeri ajaliku,
Dengan dua lambaian tangan purba dan jerit perahu-perahu yang ramping,
Dalam sayap-sayap kasar yang tergantung di ranting-ranting pohon masa lalu

O, raja manusia, o raja yang menguasai masa lalu dan kekinianku,adipati-adipati
Pemilik hukum dan kebijakan, o, para aulia yang bersembunyi mengintipku,
Dekaplah aku

Bekalilah aku kehebatan hati, jiwa dan desauan ruhmu
Untuk mengecap setiap rasa cahaya yang tersimpan dalam tapa brata jiwa telaga
Dalam nama-nama rindu baru yang terlindung,
Dalam pesanggrahan kramat yang ma'rifat

Kamar-kamar pengap ini, kuburan-kuburan tua ini,
Adalah bidak-bidak perahu waktuku yang oleng

Maka perjalanan singkat ini harus kuawali dan kuakhiri
Pada jenjang tubuh halus alam-alam kebendaanmu

Seperti ruang dunia yang tak siap aku masuki,
Ah kau yang tergopoh-gopoh dan berkalbu retak
Yang akhirnya hanya kau sendirilah yang akan menuai martir penyesalanmu

;Mungkin adalah birahi matahari yang lebih tua
 Atau mungkin sifat rembulan yang pesolek

Tapi adalah hawa yang kau jadikan tuhanmu
Hanyalah bongkahan sahwat yang sesaat lagi terkulai !

Maka bila nasib mujur merangkulmu,
Apa yang akan kau tanam sehabis waktu menggilingmu,ah

Kecuali pohon-pohon permintaan dan buah-buah jatuh, prasangka
Seburuk kotoran saja yang selalu kau bawa di lambungmu !

Anjing-anjing menjilat babi, Babi-babi menghasut buaya,
Buaya-buaya merayu anjing dan anjing-anjingpun mengendus Ke arahku !
Kelelawar tanpa mata ! jangan kembali pada pagi

Maka hanyalah jantungmu,sumber napas rohani dan tetesan jiwa
Kedasyatan zam-zam yang melimpah, semuanya ke mataku saja !

Tak sanggup kata-kataku mengangkat mutiara merah dan marjan
Yang tersembunyi di balik dadamu
Tak mampu tulisan-tulisanku memangkas seluruh hutan-hutan perawan
Yang tertanam di atas pahamu
Tapi berhentilah menangisi cinta yang kau tinggalkan

Karna bentangan jalan-jalan ini adalah tempat yang akan mempertemukan
Dua laut kesakitan hati, untukmu, dengarlah telagaku,
Untukmu dengarlah lautku
Dengarlah! wahai jiwa yang bersemayam dalam darah merahku

Debu-debu rumah waktuku adalah engkau
Yang menyelimuti sela-sela tubuh nusa dermagaku

Gema-gema gemerincing tombak ini adalah engkau
Yang merawat jari kelingking dan jamrud ingatanku

Adalah kesaksian pesangerahan nusa dan keharuan air mataku yang tak lazim,
;Kampungku, kenapa kau sembunyikan keyakinanmu dalam simbol-simbol
Iman yang ditunggangi budaya dan mitos-mitos

Di mana keindahan kharisma parasmu seperti dipertaruhkan
Dengan wajah-wajah tua yang rawan

Mungkin kekosongan adalah riak sejati telaga ini,
Karena adalah kita; yang tak lebih suci dan berisi
Dari helaian riak-riak telaga dan lelehan lumpur yang dijilatinya

Embun-embun pikiran tetap bertapa dan merahasiakan harta-harta misteri
Dari kelezatan setetes kesabaran, Keheningan mengalir dan merampas
Topeng-topeng dunia dari wajah-wajah molek manusia

Adalah hakekat telaga Yang harus kuterjemahkan lagi di kemudian hari

Seperti engkau yang mengalir ke jantungku,
Engkau setitik mata air zam-zam yang kuibaratkan
Sebagai ruh bagi kehadiran lautan dan ikan-ikan yang menghindari
Jaring-jaring dosaku

Atau justru engkaulah setitik nila yang kan kujadikan cermin
Sekaligus tiang penyangga dan tujuanku, tapi tetaplah bertapa
Sebelum kau keluarkan kata-kata apapun dari lidah pualammu

Balairung yang kecoklatan, dermaga nusa yang tersenyum semanis dewi-dewi
Iris-irisan riak ombak kecil dan senja hari yang mengalun bagai gamelan
Yang tersusun dan hadir melebihi perjalanan yang kurencanakan

Tapi nyanyikanlah kidung-kidung bathin ini
sepenuh angin yang membelah malam
Agar dingin hari tidak menjadi perniagaan gelap
Yang membandingkan cahaya matamu dengan kesementaraan

Lihat tanah-tanah penjelajahan telah terbakar udara panas
Dan janggutku yang terbakar ! tapi biarlah orang-orang tetap berangkat
Untuk membicarakan apa yang tak kuimani !

Dari sepertiga usia sayapku mimpi-mimpi telah merebut jejak kakiku untuk bumi
Dari sepertiga usiaku ternyata bumipun hanya mencemburui
Sayap-sayap kecil pinjamanku

Perahu-perahu yang melukis dermaga dan dermaga yang menjemput gelombang
Berputar-putar bagai baling-baling, upacara nyangku yang sumringah dalam hening
Diabadikan sebuah tangis dewasa dan pagi yang tiba menghampiri matamu

Dan harapan-harapan baru ditandai sepenuh napas layar-layar yang menunggumu

Perahu yang tak usai berkembang, nusa yang ringkih tersenyum
Apakah semua ini pirasat-pirasat yang memanggilku tadi malam ?

Tapi aku dan burung-burung malam,akan menggali kuburan sendiri
Dalam aroma mistik tanah ini

Sebatang telaga hijau, auman harimau, setangkai arus kekosongan
Yang melayang bersama sayap kelelawar sunyi
Tampak semakin berderu seperti kumparan remang-remang ingatanku
Yang dibentur batu-batu, seperti gemuruh gema langkahmu,
Yang mempercepat kehancuran rawannya waktu,

Lalu karamlah keniscayaan ini dari kebutaanku

Dari rintangan yang telah kita pangkas dan jalan-jalan baru yang melambai
Kelegaan mengiringi lembaran cuaca

Untuk maghrib terakhir yang telah mengilhami telaga dan hutan-hutan ini

Di pinggir jalan-jalan masa laluku Kehampaan menelanjangi dirinya sendiri
Dan kabarmu menjajakan separuh bentuk Usia angin yang tak sempat kujelajahi

Mungkin pada jalan lengang dingin inilah waktu dan angin
Akan menyembunyikan tubuhnya padamu

Pada batas-batas rasa antara telaga dan laut pengetahuan
Pada Batas-batas antara sukacita dan dukacita, napsu
Yang seringkali menyerupai bayangan yang paling kelabu

Tak terasa waktu terjulur Pada ketakpastian bayangannya
Kenangan menjadi celah Yang robek tertancap tombak-tombak cahaya

Ingatanku mengambang di angkasa rasa perihku yang mengalir ke muara
Menciptakan negeri-negeri pikiran biru yang kemerahan

Apa yang telah kuberikan padamu ternyata itulah kesombonganku
Apa yang pernah kuraih darimu Ternyata itulah jalan keputus asaanku

Bila berkah orang-orang suci selalu dikibarkan dari tempat yang lebih tinggi

Maka perumpamaan lain dari genangan baru atau telaga
Yang tak bisa menggenangi tempat itu
Adalah perumpamaan kesombongan yang tak bisa disentuh kerendahan cahaya

Tetapi bila berkah orang-orang suci dinyalakan dari tempat-tempat
Yang lebih gelap, maka alasan untuk membenci orang-orang
Yang kita anggap Lebih kotor

Adalah alasan yang dinyalakan kebodohan !


2012

Ilafat Salamandra lahir di Panjalu  15 Sya'ban tahun Kalong. Minat Seni Rupa dan Ulin ka Laut Cibeureum.