Emha Ainun
Najib pernah menyatakan bahwa karya-karya Kuntowijoyo, setelah ia sembuh dari
sakit, merepresentasikan kematangan dan kedalaman. Karya-karyanya lebih
bersifat kontemplatif dan reflektif. Bagi Emha, saat-saat Kunto dirundung sakit
adalah seperti masa tapa, saat berkepompong, dan setelah sembuh, Kunto menjelma
menjadi seekor kupu-kupu. Tetapi, bila kita melihat cerpen terbarunya yang
berjudul “Jl Kembang Setaman, Jl Kembang Boreh, Jl. Kembang Desa, Jl Kembang
Api”, maka lontaran pernyataan Emha itu tidak tepat jika dialamatkan kepada
Kuntowijoyo. Karya terbarunya itu (Kompas, 28 April 2002), justru
memproklamirkan kembalinya Kunto ke gaya penulisannnya di tahun 70 ssmpai tahun
80-an—saat-saat ketika ia menghasilkan kumpulan cerpennya, “Dilarang Mencintai
Bunga-bunga,” atau kumpulan puisinya yang berjudul “Suluk Awang Uwung.”
Cerpennya yang paling mutakhir itu saya anggap sebagai titik kembalinya
Kuntowijoyo kepada paradigma transendentalnya yang selama ini ia perjuangkan.
Sedangkan karyanya sebelum itu, misalnya novel yang berjudul “Mantra Pejinak
Ular,” justru saya anggap sebagai anomali dari jalur kreatif Kunto. Dalam novel
itu, Kunto cenderung lebih verbal dan lebih “hijau” ketika menyuarakan
nilai-nilai transendentalnya. Memang ia masih memadukan—juga
mempertentangkan—nilai-nilai tradisi dan modernitas, tetapi “kematangan”
sebagaimana yang diungkapkan Emha, tidak kita temukan.
Memang, sejak awal Kuntowijoyo berusaha untuk melesakkan nilai-nilai
transendental dalam setiap karyanya, baik yang fiksi maupun non fiksi.
Transendentalisme telah menjadi paradigma kreatifnya. Ia misalnya menulis dalam
sebuah makalah bahwa saat ini, “kita memerlukan sebuah ‘sastra transendental’”.
Kunto mengemukakan gagasannya itu karena melihat bahwa “aktualitas tidak dicetak
oleh roh kita, tetapi dikemas oleh pabrik, birokrasi, kelas sosial, dan
kekua-saan, sehingga kita tidak menemukan wajah kita yang otentik. Kita terikat
pada yang semata-mata kongkret dan empiris yang dapat ditangkap oleh indera
kita. Kesaksian kita kepada aktualitas dan sastra adalah sebuah kesaksian –
jadi sangat terbatas. Maka pertama-tama kita harus membebaskan diri kita dari
aktualitas, dan kedua, membebaskan diri kita dari peralatan inderawi”. (DKJ,
1984: 154). Tujuan dari sastra trensendental yang dikemukakan Kunto adalah
humanisasi.
Tujuan dari sastra transendental itu akan lebih jelas kita pahami apabila
kita melihat juga paradigma ilmu sosial yang ditawarkan Kunto. Dalam bukunya Paradigma Islam, Kunto
menggagas suatu paradigma ilmu sosial yang berdasarkan pada nilai-nilai religi.
Dia mengatakan bahwa, “kita membutuhkan ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu yang
tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tapi juga memberi petunjuk
ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Oleh karena
itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tapi
mengubah berdasarkan cita-cita dan etik dan profetik tertentu.” (Kuntowijoyo,
1993: 288).
Secara garis besar ada tiga tahapan yang diperkenalkan dalam ilmu sosial
profetik, humanisasi/emansipasi,
liberasi dan transendensi. Bagi Kunto,
humanisasi dan luberasi tidak bisa dipisahkan dari transendensi. Keduanya harus
mengarah pada nilai tansendental. (Kuntowijoyo, 1993: 338).
Dari gagasannya tentang sastra transendental serta ilmu sosial profetik,
kita bisa membaca bahwa Kunto mengangankan terwujudnya sebuah sastra
transformatif yang transendental. Transformatif dalam arti bahwa sastra
dijadikan sebagai unsur pengubah dalam masyarakat. Dan transendental berarti
bahwa perubahan yang terjadi dalam masyarakat mengarah pada perwujudan
nilai-nilai transendensi. Jadi, melihat dari paradigma ilmu sosial dan
karya-karya sastra yang dihasilkannya, Kunto tidak hanya mengangankan
terwujudnya sebuah sastra yang transendental, tetapi lebih dari itu ia juga
harus bersifat transformatif.
Kunto berupaya untuk mewujudkan gagasannya itu lewat karya sastra. Dalam
beberapa cerpennya kita bisa melihat konsistensi Kuntowijoyo. Sebagian besar
dari karyanya merupakan perwujudan dari keinginannya untuk membebaskan manusia
dari kungkungan benda-benda, dogma-dogma, ideologi dan dari pseudo-spiritual.
Tulisan ini akan mencoba menelusuri jejak-jejak strukturalisme transendental
yang digagas oleh Kuntowijoyo dalam karya-karya fiksinya.
Kritik atas
Manusia Modern
Herbert Marcuse, seorang filsuf mazhab
Frankfurt, mengemukakan bahwa manusia modern telah kehilangan dimensi
spiritualnya. Yang tinggal dari manusia modern hanyalah dimensi material. Oleh
sebab itu Marcuse menjuluki manusia modern sebagai manusia satu dimensi (one
dimentional man). Dalam bahasa Kunto, manusia menjadi elemen yang mati
dalam proses produksi. Modernitas telah memperbudak manusia sekedar menjadi
otomat dari proses produksi. (Kuntowijoyo, 1993: 161).
Pandangan-pandangan Kunto tentang
manusia modern jelas tergambar dalam cerpen-cerpen yang terdapat dalam kumpulan
Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (selanjutnya ditulis DMB). Cerpen “Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga”, menggambarkan
adanya pertentangan antara dimensi material dan dimensi transendental. Tokoh
ayah dalam cerpen itu merupakan tipikal khas manusia modern. Ia seorang pekerja
keras. Seluruh hidupnya hanya untuk kerja. Wujud pertentangan antara material
dan transendental bisa kita lihat lewat pandangan si anak tentang ayahnya, “Aku
mulai segan bertemu dengan ayah…..pasti ayah akan datang dengan baju bergemuk.
Kotor, seluruh badan berlumur minyak hitam. (DMB:10). Ketika sang anak ditanya
tentang gunanya tangan dan si anak tidak menjawab, tokoh ayah menjawabnya
sendiri, “Untuk kerja! Engkau laki-laki. Engkau seorang laki-laki. Engkau mesti
kerja. Engkau bukan iblis atau malaikat, buyung…cuci tanganmu untuk kotor
kembali oleh kerja.” (DMB:12). Semuanya untuk kerja. Persis seperti yang
digambarkan dalam cerpen “Kuda itu Seperti Manusia Juga”, dalam kumpulan cerpen
terbarunya. Manusia tak ubahnya seperti kuda, yang nilai gunanya hanya untuk
diperas tenaganya. Tokoh ayah dalam DMB memandang kesempurnaan hidup bisa
didapatkan dalam kerja. (DMB: 21).
Melalui cerpen ini Kunto ingin
mengemukakan bahwa hidup tidak hanya untuk kerja. Energi kehidupan ini tak bisa
dihabiskan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi. Hidup juga membutuhkan
ketenangan batin. Tak ada yang lebih baik dari ketenangan jiwa. (DMB:12). Tokoh
kakek, dalam cerpen ini, membedakan antara manusia satu dimensi dengan manusia
berdimensi ganda. “Di luar matahari membakar. Hilir mudik kendaraan. Orang
berjalan ke sana-ke mari memburu waktu. Pabrik-pabrik berdentang. Mesin
berputar. Di pasar, orang bertentang tentang harga. Mereka semua menipu diri
sendiri. hidup ditemukan dalam ketanangan. Bukan dalam hiruk pikuk dunia.”
(hlm. 12).
Tapi bagi Kunto, seorang anak kecil tetaplah anak kecil.
Ia tidak bisa dipaksa untuk menjadi dewasa. Menjadi bijak. Ia boleh saja
bersikap bijak. Tapi seorang anak harus tetap memiliki kepolosan, kesucian,
bahkan dunianya adalah dunia main-main. Dunia khayal dan imajinasi. Kita akan
ikut tersenyum ketika Kunto menggambarkan tokoh anak tersenyum reflektif
melihat teman-temannya bermain layang-layang. Atau, kita akan merasa heran.
Keheranan, bahkan mungkin marah akan timbul ketika kita menjadi seorang ibu dan
si kecil kita bertanya, “Ibu, katakanlah. Apa yang lebih baik dari ketenangan
jiwa dan keteguhan batin?” (DMB:14). Tampak sekai bahwa Kunto sangat memahami
dunia anak-anak. Dan ia ingin membiarkan seorang anak tetap menjadi anak-anak.
Maka, Kunto menutup ceritanya dengan gumaman sang anak: “Bagaimanapun, aku
adalah anak dari ayah dan ibuku.” (DMB:22).
Pertentangan antara hiruk pikuk dunia dan ketenangan
jiwa, dapat kita lihat juga dalam cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon.”
Kunto mengawali cerpennya dengan menggambarkan situasi sebuah pasar. Ketika
kembali membaca cerpen itu, penulis teringat esai Goenawan Mohamad,
“Zarathustra di Tengah Pasar”. Dalam tulisan itu ia mengatakan bahwa pasar
merupakan sebuah tempat di mana kesendirian sebenarnya justru hadir:
kebersamaan yang semu, perjumpaan yang sementara dan hanya berlangsung di
permukaan. Model sebuah pasar adalah tempat di mana orang di dekat kita adalah
pesaing kita. Di dalam pasar, rasa iri bukan hal yang salah, rakus bisa jadi
bagus, dan keduanya dilembagakan dalam sebuah sistem. (Kalam, No.7, 1996: 110).
Heterogenitas yang ada di pasar bermuara pada satu tujuan: uang/materi. Kondisi
semacam itulah yang ingin dikritik Kunto lewat cerpennya. Kondisi masyarakat
satu dimensi.
Masyarakat semacam itu telah kehilangan satu hal yang
sangat berharga: ketenangan dan ketentraman batin; spiritualitas. Ketentraman
batin digambarkan oleh Kunto melalui persahabatan dua manusia, satu muda,
satunya lagi tua. Kepolosaan dan kebijakan. Keduanya disatukan oleh kebahagiaan
yang didapatkan dalam aktivitas bermain. Pemilihan judul “Burung Kecil
Bersarang di Pohon”, menunjukkan bahwa inti dari jalinan peristiwa dalam cerpen
ini terdapat dalam aktivitas bermain yang dilakukan oleh dua orang berbeda usia.
Ada beberapa kesamaan antara DMB dengan BKBdP.
Masing-masing keduanya mempertentangkan antara hiruk pikuk dunia dan ketenangan
jiwa. Dalam DMB Kunto menggunakan metafor bunga dan anak kecil untuk
menggambarkan ketenangan jiwa. Dan dalam BKBdP, Kunto memilih burung kecil dan anak
kecil serta aktivitas bermainnya.
Bermain, bagi Huizinga, merupakan unsur konstitutif dalam
eksistensi manusia dan mencirikan siapa manusia itu sesungguhnya. Dalam kata
pengantar bukunya, Homo
Ludens, Fungsi dan Hakikat Permainan dalam Budaya, Prof. J. Huizinga
mengatakan, julukan baru untuk manusia sebagai homo ludens (manusia bermain) sudah selayaknya
perlu mendapatkan perhatian yang sama dengan sebutan-sebutan lain untuk manusia
yang sudah ada sebelumnya.
Manusia suka bermain. Sebab bermain merupakan satu
kegiatan yang khas manusiawi yang sifatnya universal. Dalam permainan, orang
boleh—bahkan sering kali malah diharuskan—membangun sebuah dunia rekaan baru
yang lain sama sekali dari kenyataan sehari-hari. Dengan demikian orang seakan
harus pindah beralih dari kenyataan yang faktual ada menuju pada sebuah dunia
lain yang bisa menjadikan sesuatu, seperti misalnya, kepuasan batin. (Mathias
Haryadi, Basis, September, 1995: 338). Dalam cerpen BKBdP, tokoh mahaguru
menemukan kepuasan batin, ketenangan dan ketentraman jiwa yang merupakan inti
spiritualitas dalam aktivitas bermainnya bersama anak kecil.
Kesadaran Kolektif vs. Kesadaran Individu
Modernitas,
melalui proyek industrialisasinya, di samping telah memberikan berbagai
kemudahan bagi manusia, juga telah menjebak manusia dalam budaya pop (mass
culture). Budaya massa merupakan akibat dari proses massifikasi. Ini
disebabkan karena dalam sektor budaya terjadi industrialisasi dan
komersialisasi. Persis seperti yang diungkapkan oleh Kierkegaard di awal
tulisan ini. Manusia modern telah menjelma menjadi manusia massa. Massifikasi
dan kolektivisme menjadi hantu-hantu yang memusnahkan ketunggalan kepribadian
manusia (Fuad Hassan, 1992:28.)
Dalam masyarakat modern, masyarakat komoditas, bagi
Baudrilard, dorongan konsumsi bukanlah terutama kenikmatan atau kegunaan,
melainkan keinginan untuk mengambil dan memamerkan “nilai tanda”. (Kalam, No.
7, 1996: 113). Massifikasi tidak hanya berpengaruh pada dimensi fisik-material
saja, tapi juga berdampak pada pembentukan kesadaran massa. seseorang membeli
sesuatu bukan karena membutuhkannya, tapi ia menginginkan citra yang sama
dengan orang lain. Yang dia beli bukanlah nilai guna, tapi nilai citra (image
value).
Kuntowijoyo mengajukan dua cara yang
bisa ditempuh untuk mengatasi massifikasi, yaitu dengan (1) privatisasi dan (2)
spiritualitas. (Subandi, 1997: 55). Kesadaran kolektif, bagi Kunto, selalu
tidak mewakili kesadaran pribadi. Kekuatan-kekuatan yang tak terlawan memaksa
kita meninggalkan fitrah. Hanya pribadi yang mempunyai roh. Rohlah yang tidak
terikat oleh aktualitas, dan merupakan potensi yang memerdekakan. (DKJ, 1984:
155).
Pentingnya kesadaran pribadi untuk
menghadapi massifikasi, di antaranya digambarkan Kunto dalam cerpen “Serikat
Laki-laki Tua”. Cerpen itu menampilkan sosok Kojar yang bersikeras menolak
kemauan teman-temannya yang lain untuk bersam-sama memakai topi. Tokoh Kojar
berkata, “Aku hanya membela hak-hakku sebagai manusia merdeka. Persetan apakah
kalian menuduh ini individualisme. Persetan istilah demagogi itu…” (DMB:107).
Atau dalam bagian lain, Kunto menulis bahwa tidak baik mengikuti seseorang yang
berjalan di depan kita, sedangkan kita tidak tahu hendak kemana dia. (DMB:108).
Pembebasan
Diri dari Realitas Semu
Kesadaran kolektif akibat massifikasi yang menjadi
konsekuensi modernitas secara tak langsung telah mempengaruhi sikap manusia
dalam memandang sesuatu. Manusia cenderung merasa cukup melihat sesuatu hanya
pada tataran artifisialnya. Cara pandang seperti itu bisa kita lihat dalam
cerpen “Anjing”. Tokoh tetangga kami digambarkan sebagai seorang laki-laki yang
hanya melihat perempuan dari sisi luarnya saja (artificial). Apa yang
diperbuat oleh laki-laki tersebut mewakili nafsu yang menggebu. Kunto
menyimbolkan nafsu itu dengan anjing—anjing sebagai simbol nafsu dapat kita
lihat juga dalam cerpen-cerpen Kunto yang lain seperti, Segenggam Tanah Kuburan dan Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan—yang
akhirnya dibunuh oleh tokoh tetangga.
Melalui tokoh tetangga dan tokoh istri, Kunto mencoba
untuk mengkritik perilaku manusia modern. Tokoh tetangga mengawini gadis yang
umurnya sepuluh tahun lebih muda karena cantik, luwes dan pandai mengaji. Rumah
tangganya tidak bahagia (hlm. 46), karena sang istri tidak mau disetubuhi. Tokoh
lain tipikal manusia modern adalah istri sang narator. Ia seorang perempuan
yang cepat mengubah opininya ketika mendapatkan realitas yang lain. Ia, yang
tadinya membenci tokoh tetangga, berubah memujinya hanya karena mendengar bahwa
tetangganya itu pandai mengaji dengan suara yang bagus. (DMB, hlm. 39).
Kedua, cerpen di atas menggambarkan kondisi masyarakat
konsumer. Kondisi yang di dalamnya hampir seluruh energi dipusatkan bagi
pelayanan hawa nafsu—nafsu kebendaan, kekayaan, kekuasaan, seksual, ketenaran,
popularitas, kecantikan, kebugaran, keindahan; sementara hanya sedikit ruang
bagi penajaman hati, dan pencerahan spiritual.
Spiritualitas dan Pseudo Spiritual
Kondisi masyarakat semacam itu tidak hanya berpengaruh
pada berubahnya pandangan masyarakat dalam bidang-bidang material. Budaya
virtual, menurut Yasraf, telah melenyapkan batas antara spiritual dan spititual
semu (pseudo spiritual). (Yasraf, 1998: 31). Masyarakat kontemporer
mementingkan ibadah ritual dan melupakan ibadah sosial. Ritual yang dilaksanakannya
pun hanya berkisar pada ritual kasar yang kasat mata, tidak dibarengi dengan
ketangan jiwa dan kedekatan hati pada Tuhan.
Gambaran seperti itu dapat kita lihat pada cerpen yang
berjudul “Anjing”. Dalam cerpen itu, Kunto mengkritik umat Islam yang berpijak
hanya pada realitas artifisial. “Memelihara anjing, sepanjang pengetahuan tak
dilarang oleh agama.” Kata sang suami. “Tidak dilarang tetapi patutkah kita
memelihara najis” (jawaban si istri). (DMB: 32). Tokoh istri digambarkan
sebagai seorang istri yang pintar, berpendidikan, taat pada suami dan
bertetangga dengan baik. Tapi ia selalu memandang realitas hanya pada
permukaannya saja. Begitu pula dalam beragama. Ia membenci anjing, karena
najis. Juga karena tiap malam suka menggonggong dan menggganggu tidurnya (DMB:
31). Ia membenci tetangganya, karena tetangganya memiliki anjing. Tapi kemudian
ia menyukai anjing itu setelah tahu pemiliknya pandai mengaji. (DMB: 39).
Kunto juga mengkritik religiusitas semu dalam cerpen “Burung Kecil
Bersarang di Pohon”. Kunto
mengkritik tokoh-tokoh agama yang berrumah di atas angin. Pemuka-pemuka
spiritual yang merasa paling suci. Serta kyai-kyai yang enggan bersentuhan
dengan masyarakat yang dianggapnya berdosa. (DMB: 185). Ia juga mengkritik umat
yang selalu melihat manusia dari ukuran luarnya saja. Ia mengkritik masyarakat
awam yang sering melakukan kultus individu. (DMB: 197-198). Dengan cerpen ini,
Kunto ingin berkata bahwa, nilai spiritual tidak hanya terletak pada rutinitas
ritual kita. Religiusitas murni bisa kita dapatkan dalam hati yang tenang dan
jiwa yang tentram. Tokoh mahaguru tauhid lebih memilih untuk menolong seorang
anak kecil menangkap burung dan meninggalkan rutinitasnya sebagai khatib. Ia lebih menyukai
ketentraman jiwa dan ketenangan hati.(DMB: 199).
Kunto tidak hanya melakukan kritik atas praktik beragama yang jelek. Ia
juga mengajukan contoh tentang bagaimana beragama yang ideal. Kunto terlihat
konsisten ketika menggarap cerpen “Sepotong Kayu untuk Tuhan”. Sesuai dengan
gagasannya tentang sastra transendental, cerpen itu berusaha untuk memanusiakan
manusia. Cerpen itu menjadi arus balik yang melawan dehumanisasi. Tokoh kakek
digambarkan sebagai seorang tua bijak, pekerja keras dan taat beribadah. Apa
yang dilakukannya untuk manusia, didasarkan atas keyakinan bahwa itu akan
sampai pada Tuhan. Keikhlasan dan ketulusan telah menjadi barang langka ketika
kebanggaan pada diri sendiri dan individualisme merajai dunia. Tokoh kakek
merupakan gambaran manusia religius. “Kayu itu akan kita sumbangkan untuk
pembangunan Rumah Tuhan, istriku.” Istrinya akan senang, memuji syukur. Pada
saat-saat terakhir dari hidup mereka, masih sempat juga beramal. (DMB: 113).
Kayu itu akan membuatnya tersenyum pada hari kematiannya. Ketika itu, boleh
jadi tubuhnya telah hancur oleh tanah di kuburnya. (DMB: 115).
Kritik atas Mistisisme
Cerpen-cerpen Kunto menjadi gambaran nyata dari paradigma
ilmu sosialnya yang berlandaskan tiga nilai, liberasi, emansipasi dan transendensi. Kunto ingin
membebaskan manusia dari penjara-penjara, serta ikatan yang membelenggu. Ia
tidak hanya mengkritik modernisme, tetapi juga melakukan kritik terhadap
mistisisme. Hal itu bisa kita lihat dalam cerpen yang berjudul “Segenggam Tanah
Kuburan”. Lagi-lagi, hawa nafsu telah menjadi pemicu utama manusia untuk
melakukan tindak kejahatan. Memburu kesenangan jasmani. Mencampakkan
nilai-nilai transendental. Karena ingin minum tuak sepuasnya, menyepikan diri
bersama perempuan, dan bisa mengundang ledek untuk bernyanyi, sang maling dalam
cerpen ini, merampok. (DMB: 58). Untuk mencapai tujuannya, sang maling
menggunakan mistik (DMB: 49, 60, 61). Cerpen ini memiliki kesamaan tema dengan
cerpen “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan”, cerpen terbaik KOMPAS. Keduanya mengkritik
mistisisme yang digunakan sebagai alat untuk memuaskan hawa nafsu. Tapi dari
sisi literal-estetis, AMK lebih baik dari STK. Metafor-metafor yang digunakan
dalam AMK lebih mudah untuk dicerna.
Dalam STK, Kunto memilih tokoh orang tua untuk melawan kekuatan
mistik yang dikerahkan oleh si maling. Uniknya, media yang digunakan untuk
melawan mistik adalah nilai-nilai tradisional yang digambarkan dengan
pelantunan kidung penolak tenung. Kidung yang dilantunkan dengan suara yang
lembut, menggambarkan kondisi hati yang tentram, jiwa yang bersih, luput dari
nafsu. Lewat cerpen ini, sekali lagi Kunto ingin mengatakan bahwa ketenangan
dan ketentraman jiwa bisa mengalahkan amarah dan nafsu.
Dalam cerpen yang lain, “Ikan-ikan dalam Sendang”, Kunto
seolah-olah berkata bahwa tempat-tempat magis, dan benda-benda keramat,
semuanya hanyalah cerita yang dibuat-buat oleh manusia untuk kepentingan
tertentu. Pada halaman 153 tertulis, “Orang kampung menganggap sendang itu
sendang keramat. Itu cerita turun-temurun. Dan kebanyakan, dia sendiri yang
menceritakan itu.” Berbeda dengan cerpen-cerpen yang lain, dalam cerpen IdS,
orang tua digambarkan sebagai orang rakus dan ingin menang sendiri. (DMB: 157,
163-164).
Cerpen ini juga mengkritik masyarakat umum yang
mempercayai sesuatu tanpa pernah menyelidikinya terlebih dahulu (DMB: 166).
Juga mengkritik masyarakat yang meyakini mistik tanpa mengetahui hakikat yang
ada di balik suatu benda. (DMB: 159). Mereka membanggakan sesuatu yang hampa
dan tak bermakna. Mereka mengagungkan pohon beringin putih dan sendang keramat
(DMB: 159).
Dalam cerpen lainnya, “Mengail Ikan di Sungai”, Kunto
mengungkapkan bahwa penciptaan mitos yang dilakukan oleh manusia, telah
mempengaruhi imajinasi anak-anak. Mereka menjadi kehilangan daya imajinasi dan
kreasinya. Tokoh Romli digambarkan sebagai anak kecil yang terobsesi untuk
memiliki kail keramat. (DMB: 175). Kesadaran kolektif yang diciptakan mitos,
telah membuat Romli lebih mementingkan batang kail bekas pengukur mayat
dibandingkan kesembuhan ayahnya. Ia membolos beberapa hari hanya untuk menunggu
kematian ayahnya. (DMB: 178). Secara tak sadar, ia mengharapkan agar ayahnya
mati, dan ia bisa mendapatkan batang kail keramat. (DMB: 178-179).
Tapi sebenarnya, apa yang dilakukan oleh Romli hanya
untuk memuaskan hasratnya saja. Ia ingin mengalami apa yang dirasakan oleh Pak
Kajin, seperti tokoh anak yang juga ingin merasakan mengail dengan batang kail
keramat. (DMB: 175).
Penutup
Sebagian besar cerpen Kuntowijoyo
merupakan representasi dari pemikirannya mengenai Ilmu Sosial Prefetik dan
sastra transendental. Pemikiran tentang liberasi,
emansipasi dan transendensi, dapat kita
temukan dalam cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”, “Anjing”, “Segenggam
Tanah Kuburan”, “Ikan-ikan dalam Sendang”, “Mengail Ikan di Sungai”, “Burung
Kecil Bersarang di Pohon”, dan “Serikat Laki-Laki Tua”. Sedangkan cerpen
“Sepotong Kayu untuk Tuhan” dan “Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah”, merupakan
gambaran ideal tentang hubungan antara manusia dengan manusia lain dan manusia
dengan Tuhan-nya.
Ada anomali yang kita temukan dalam penokohan Kunto. Pada sebagian besar
cerpennya, Kunto selalu memakai tokoh anak-kecil dan/atau orang tua (DMB, STK,
SkuT, GiBdMR, BKBdP). Dalam semua cerpen itu, Kunto meggambarkan sosok orang
tua sebagai seorang yang penuh dengan kebijakan, dan lemah lembut (DMB, BKBdP,
GiBdMR), penuh pengalaman (DMB, BKBdP), serta memiliki visi yang jauh ke depan
(DMB). Dan tokoh anak memiliki kepolosan, kadang juga bijak (DMB), kesucian
(GiBdMR), dan kegembiraan (BKBdP).
Tapi dalam cerpen “Serikat Laki-Laki Tua” orang tua digambarkan
sebagai—meminjam ungkapan Bung Karno—old established generation. Begitu
juga dalam cerpen “Ikan-ikan dalam Sendang”. Orang tua seperti itu memiliki
kecenderungan untuk banyak omong. Ia ingin menceritakan segala hal, bahkan
tidak saja merasa tahu semua hal, tetapi juga merasa berjasa dalam hal apa
saja. Ia tidak saja menempatkan diri sebagai tokoh pembuat sejarah, tetapi juga
melakonkan diri sebagai tokoh pembuat sejarah. Perjalanan historis seakan baru
berarti karena peran dan keterlibatannya.
Gambaran anak kecil dalam cerpen “Mengail Ikan di
Sungai”, berbeda dengan gambaran anak kecil pada umumnya cerpen Kuntowijoyo. Dalam
cerpen itu, kenakalan lebih ditonjolkan, dibanding kepolosannya. Imajinasi yang
dimilikinya juga terlalu liar (mengharap kematian ayah hanya untuk mendapatkaan
batang kail keramat).
Dari sisi estetika cerpen, Kunto, pada sebagian besar
cerpennya, berhasil menggabungkan—meminjam ungkapn Kleiden—makna dengan
peristiwa. Peristiwa yang dijalin dalam cerpennya, sarat makna. Dan pada DMB
menjadi multi-interpretable.
Sense, makna tekstual dan refference atau makna referensial, digarap dengan
sangat bagus.
Makna-makna yang terkandung dalam cerpen-cerpennya, bisa
kita dapatkan dari judul yang digunakan Kunto. Simbolisasi yang digunakan, pada
sebagian besar cerpen, sangat bagus. Bunga dan burung kecil sebagai lambang
kesucian dan ketenangan jiwa. Samurai, metafor dari kejantanan dan dominasi
pria. Juga Anjing sebagai perlambang dari nafsu.
Dialektika makna-peristiwa, terjalin sangat bagus dalam
cerpen DMB, SKuT, dan BKBdP. Jalinan makna-peristiwa, dalam cerpen lainnya
kurang mendapat perhatian Kunto. Bahkan dalam cerpen STK, kita kehilangan
makna, berbeda dengan “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan.” Juga dalam cerpen
Serikat Laki-Laki Tua.
Dedi Ahimsa berprofesi sebagai Naib dan
Sastrawan, dan beliau pernah menjadi dosen Bahasa dan Sastra Inggris.
0 komentar:
Posting Komentar