Revenue

Senin, 11 Juni 2012

OMBAK YANG MELINTAS DAN ANAK-ANAK YANG BERLARI

1

Kota yang berdenyut, melintasi batas kelelahan manusia.
Lampu-lampu menyeruak ke seluruh koridor dan trotoar
seakan membakar jasadku!
Tak ada denyut terakhir selain denyut jantung beton
yang telah memuai di pusara kota ini. Kesadaranmu
barangkali hanya kepada seorang gadis tuli tanpa ibu.
Dari jemarinya aku tahu betapa kokohnya sebuah bahasa.
Diam-diam, dadaku menyimpan ombak biru
gelombang pembawa pesan dari luasnya kenyataan laut.
Kutukan bagi siapapun yang melubangi tanah ini dengan peradaban
yang tak mungkin menyisakan terumbu karang
mahkota masa depan anak-anakku.

Aku telah mengira: tak mudah mencapai langit
membangun sebuah kota cahaya. Namun aku tak lebih dari manusia.
Setelah semuanya terjadi, dimulai dari lampu-lampu yang menyeruak
seperti menggodaku untuk menghabiskan samudra atau memeras matahari.
Mungkin aku tak sadar bahwa kota ini tak hanya untuk kepuasanku
terbahak-bahak di bawah lelahnya matahari. Ada beberapa orang
yang harus kupertahankan demi sebuah hasrat yang telah dilepas
ke udara. Namun, keuntungan apa yang didapat
saat sejarah nenek moyangku terhanyut bersama samudra?
Barangkali kota itu tak menerima anak tuli yang menggunakan  sepuluh jarin
untuk mengatakan bahwa yang berani berdiri
dan mencakar siapapun akan kembali abadi di laut ini.
Laut yang telah menghanyutkan ibu dan aku.

Gadis itu berpura-pura tak tahu kenapa jasad ibunya membeku.
Kenapa ia rela berbagi tubuh pada gemerlap kota selama 301 hari.
Gadis itu menyebut apa yang telah kau lakukan pada kota ini
sehingga sesajen waktu, pasir laut selatan, atau segala macam ritual
dengan sisa darah yang menjelma segala bentuk balung menjauh.
Barangkali, mimpiku lari-lari, tanpa memperdulikan desah kota
yang hanya akan meninggalkan sebuah ingatan.


2

Di ketukan ketiga, pintu terbuka.

Hanya angin
matahari larut
bagimu, laki-laki.

Seorang lelaki tua memikul matahari, menuju hutan batu.
Selatan Maroko tergambar jelas pada wajah tandusnya
negeri yang masih menyisakan keluarga gembala
di antara bukit-bukit yang melepuh. Lelaki tandus itu
bercerita tentang punggungnya yang dijumpai orang asia
menghadiahi 299 magasin. Ayah gembala menawarnya
dengan seekor kambing dan 501 dirham, meminta hadiah itu
menjaga kutukan hutan untuk daging-daging keluarganya.
Dengan memperlihatkan sisa gigi si lelaki tandus
menunggu mereka menyulap tawaran kambing itu
menjadi 500 dirham. Namun di luar, pada batu
dia bersepakat mengangkat kembali matahari.

Tiga magasin berebut batu dengan angin.

Apa yang memberkatimu
selain doa dan matahari?

Magasin-magasin dan taman kambing itu menumpuk
di atas kepala anak tertua gembala, menghantam batu-batu dan bukit.
Ya, yang tua selalu ingin pertama. Namun di situ, batulah
yang menentukan anak gembala muda sebagai pejinak magasin
pelubang angin. Ayah gembala tak pernah tahu kata apa
yang pantas bagi anak-anaknya. Lelaki tandus itu
menaruh kembali magasin dengan bijaksana.

Kata apa yang mampu mengikat
semua yang terlihat?

Di samping rumah batu yang lain, tempat ayah gembala
menyimpan iba dari perawan hutan. Anak tertua gembala
membuka pagar kambing, mengeluarkan daging keluarganya
untuk diawetkan di atas hutan. Inilah pekerjaan anak gembala
penakluk matahari. Namun, yang muda selalu liar:
si penjinak angin ini melepas hasrat ke udara
melewati celah batu. Di balik penyimpanan iba
perawan hutan membiarkan pejinak angin itu
menikmati cokelat tubuh dan sepasang klakson
yang menandai aba-aba bagi matahari
barangkali nantinya menerkam keluarga gembala.
O, sanjunglah penguasa hutan ini: anak tertua gembala
menggusur matahari dari tengkuk adiknya.

Ribuan kambing, seperti meleleh di bibir tebing.

Perempuan adalah bentuk liar
dari matahari.

Kutukan hutan yang mengendus daging-daging itu
dan si penjinak angin tak bisa menusukkan magasin
pada bulu-bulu kutukan itu. Kokang dilepas
tak ada yang tewas. Si pejinak angin malas
dan menggerutu, menghampiri kaki batu
duduk dan menunggu tiga unta di telan bukit
memijat senapan lelaki dan paha kananya
dengan nafas bertalu-talu.

Kedua anak itu memainkan matahari
sayap-sayap api.

Anak gembala selalu tahu
kebenaran manusia sejati
penakluk matahari.

Anak tertua gembala merasa dadanya seluas jidat kambing
bangkit dan sekali lagi menusukkan magasin pada bukit-bukit
membuat kepul, mengotori telinga si pejinak angin yang bergegas
ke arah kakaknya dengan nafas lebih tertahan. Si pejinak angin
merebut kebodohan kakaknya, menggerakan batu di bukit itu.
Namun, anak tertua gembala tak mengakui jika kebodohannya
sepanjang 31 kilometer. Di tempat yang lebih tinggi
dia meminta adiknya menggaris kebodohannya itu di kaki bukit
dan membiarkannya bercampur dengan butiran pasir.
Anak tertua gembala berdiri lebih tinggi;
magasin terlihat ditelan angin; tak menjerit.
Si pejinak angin murung, tubuhnya sekecil kotoran kambing.

Kedua anak dan ribuan kambing itu
seperti lahar pasir menuju rumah batu.

Tak ada manusia yang sudi lari
kecuali saat dirinya pencuri.

Ibu gembala dan perawan hutan datang
menanyakan kenapa daging-daging itu lebih cepat dibawa pulang.
Ibu gembala itu menyuruh mencuci kemalasan mereka sendiri
dan kembali membawa daging-dagingnya ke bukit itu.
Tapi apa yang lebih kuat dari ketakutan manusia meskipun
menghadapi ibu mereka? Ibu gembala, dengan tatapan
kepada pejinak angin di antara sepasang hitam mata
anak tertua gembala, yang masih meninggalkan senapan lelaki
di kaki batu, di bukit itu.

Memungut sisa hari-hari
menghitung langkah ayah gembala.
Langit, tak lagi menyala.

Kemalangan selalu singgah
pada ketakutan dan retak tanah.

Di depan tungku, keluarga itu melahap daging di nampan
ayah gembala dengan perjalannya yang dihadang berita
tentang darah seorang wanita. Serigala-serigala Maroko
menanyai apakah mereka adalah pemilik magasin itu.
Di sudut kiri, anak tertua gembala menatap pejinak angin.

Anak-anak lari di shubuh hari, membawa magasin utara.

Hanya angin
jejak terlupakan
jejak laki-laki.


3

Manusia selatan pesisir, memadamkan mimpi-mimpi
yang tak pernah berakhir. Mengusir api di kepalaku
dengan butiran pasir mampu meneggelamkan segala kemegahannya
hadiah dari laut yang lain. Ombak, ombak yang mencakar
ketika angin membuka tutupnya tepat di mungil tanganku.
Sebab kita sedang di lautan pasir yang segalanya
harus melewati dahaga, menyisakan matahari di ubun-ubun.

Di laut itu, aku menemukan perempuan-permpuan
yang tubuhnya dibungkus kain hitam. Tak ada bentuk payudara
atau bokong yang menyembul selain sepasang mata
yang mengawasi pasir-pasir di antara kedua kakinya yang tenggelam.
Aku mengira, mereka mirip seragam malaikat kematian.
Namun di laut itu, hitam menandai malam yang tak pernah terbakar
oleh matahari. Dan malam adalah di mana para kekasih menasbihkan
syair yang merindukan cahaya demi membuka kehidupan manusia
ketika segalanya nampak lelap; sejak matahari membakar seluruh api
dalam dada mereka. Dan hitam membungkus mataku
perlahan-lahan. Kupikir itu adalah kematian
menjadi sebuah peluru yang kini menembus bahuku!

Tiba-tiba, aku ingin melempar ketakutan dan membiarkannya rata
dengan butiran pasir, namun aku tak pernah tahu apa yang akan dibawa
oleh angin selatan. Jika saja keinginan manusia dibatasi
mungkin aku tahu kapan laut akan menghampiri negeriku.
Dan inilah yang kusaksikan: ombak selalu jadi nafas yang tak pernah
terampas, meskipun kucuri penghuninya berkali-kali.
Tapi di daratan, aku masih saja ketakutan dengan darah
yang meloncat-loncat dari bahuku, padahal inilah rencanamu
inilah hijrah pertamaku. Oh, sebenarnya apa yang kuinginkan?

Kerandaku telah sampai pada sebuah desa, yang sebenarnya di situ
aku semakin dilema tentang warna-warna. Adakah kematian
yang memberiku cerutu pelarut luka sampai aku tak lagi mengingat
apa yang kutakutkan? Di paru-paruku kini telah ada doa-doa
yang sebenarnya. Barangkali malaikatku yang sedari awal
termangu menatap lelapku, seperti ada kemiripan
dengan ibu gadis itu, yang tertidur dan tak pernah bangun lagi.


4

Anak-anak selalu penghias utama alamku.
Apa yang kupertahankan kini bukanlah benda-benda
yang mengkilap. Merah pipi mereka melebihi mutiara
kerang lautan. Segalanya menjadi nyata ketika aku sadar
ada lubang-lubang selain mulutku yang harus dipenuhi.
Apapun yang membuat mereka mengeluarkan air laut
dari matanya akan melukaiku seraya mengatakan
bahwa tak ada lagi yang berani mengotori matanya
selama aku memeluknya. Entah cinta atau diriku terlalu lama
bersama mereka dan merasa bahwa ada sesosok manusia kecil
yang keluar dari igaku dengan tangan meronta-ronta
seakan-akan milikku sepenuhnya. Inilah firman Tuhan paling indah
dari tangisan pertamanya, dan mampua melupakan siapa
yang harus membayar kadatangannya: kematiankukah?

Namun semakin lama tangisan itu memudar oleh matahari
yang selama ini menemaniku mencari apa yang akan membuatku
bertahan lebih lama dari kematian. Aku pun mengira kota cahaya itu
akan tumbuh sebesar alamku, tak ada lagi kekhawatiran.
Tak ada lagi mimpi-mimpimu itu. Ambisi hanya berdenyut
melintasi batas kelelahanku. Melintasi rumah batu yang lain.



2011

Galah Denawa. Lahir di Sukabumi, bersenang -senang di Bandung.

Do you like this story?

Tulisan Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar