Revenue

Jurnal SASAKA

Edisi Juni 2012

Haul to Chairil Anwar

Acara FAS (Forum Alternatif Sastra)

Komunitas Sasaka

Pungkit, Anto,Atep, Ema

Acara Godi Suwarna

Sedang menyimak

Diskusi

Kebersamaan tak lekang oleh waktuuuu

Dado dan Nira

MC Acara FAS

Pungkit, Ema dan Atep

kongko-kongko

Jurnal SASAKA

Coming Soon Edisi September 2012

Rabu, 27 Februari 2013

KONTRIBUSI SASTRA ISLAM TERHADAP SASTRA INGGRIS: SEBUAH PELACAKAN AWAL[1]


Berbicara mengenai Sastra Islam, khususnya bagi saya pribadi, masih menyisakan sejumput tanya yang mengharap segudang jawab. Mengapa demikian? Karena sejujurnya, istilah Sastra Islam merupakan sebuah istilah yang problematis. Di satu sisi, betul adanya bahwa apa yang kemudian hadir dalam kesusastraan Arab pasca kelahiran Islam (berikut perkembangan dan kejayaan kekhalifahannya di masa Umayyah dan Abbasiyah sampai masa sekarang), sedikit banyaknya sangat terpengaruh oleh Al-Quran, baik dari segi bentuk maupun isinya. Dalam konteks ini, maka istilah Sastra Islam dapat dengan mudah dilekatkan dan didefinisikan, karena Al-Quran sebagai sumber otentik ajaran Islam diturunkan oleh Allah dalam bahasa Arab. Namun, di sisi lain, ketika istilah Sastra Islam didefinisikan dalam kaitannya dengan kategorisasi sastra sebagai disiplin ilmu, maka istilah ini pun menguap, tidak jelas, hanya menyisakan titik-titik air yang tersebar di pikiran para sastrawan dan ahli sastra, tanpa adanya keterangan yang jelas. Ini misalnya terkait dengan pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah Sastra Islam itu adalah sastra Arab? Apakah Sastra Islam itu adalah sastra yang ditulis oleh orang Islam (Muslim) walaupun bukan berbahasa Arab? Ataukah Sastra Islam itu sastra yang berisi prinsip-prinsip dan ajaran universal Islam walaupun ditulis bukan oleh orang Islam dan bukan dalam bahasa Arab saja? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mengganggu saya ketika istilah Sastra Islam ini muncul dan banyak diperdebatkan oleh para sastrawan dan ahli sastra. Dalam hal ini, saya kemudian beralasan bahwa pertanyaan-pertanyaan itu tidak dapat dijawab serta merta karena juga disebabkan oleh sifat sastra itu sendiri yang universal. Biasanya universalime sastra tidak dapat dibatasi oleh ideologi tertentu. Ideologi tentunya dapat menjadi intisari sebuah karya, tetapi tidak bisa berubah menjadi penyekat sastra itu sendiri. Ideologi ada dan hadir di dalam karya dengan sifatnya yang inklusif; jelas, berbekas, tapi tetap laten.

Dalam ilmu sastra (setidaknya sampai saat tulisan ini dibuat), satu-satunya aspek yang bisa menjadi penyekat atau dinding pemisah antara sastra yang satu dengan yang lainnya adalah wilayah/Negara/bangsa. Sehingga kita mengenal adanya Sastra Indonesia, Sastra Sunda, Sastra Jawa, Sastra Melayu, Sastra Inggris, Sastra Jepang, Sastra Amerika, dan lain-lain, tapi tidak Sastra Liberal, Sastra Kapitalis, Sastra Komunis, Sastra Kristen, Sastra Hindu, atau Sastra Islam. Walaupun begitu, tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk memulai lagi dan/atau mencoba lagi merumuskan kesusastraan berbasis ideologi, termasuk pendefinisian Sastra Islam sebagai sebuah istilah yang ‘berterima’ (acceptable) dalam disiplin ilmu sastra. Dalam kajian kita kali ini, anggap saja dulu bahwa istilah Sastra Islam sudah kuat, kokoh, tak tergoyahkan dan ‘berterima’ sebagai sebuah kategori dalam ilmu sastra, atau paling tidak, kita acukan istilah Sastra Islam ini kepada pengertian yang pertama, yaitu sebagai kesusastraan Arab yang banyak dipengaruhi Al-Quran baik dalam bentuk maupun isinya.Sebagai sebuah pelacakan awal, tulisan ini tidak berpretensi untuk menjadi sebuah pengkajian yang komprehensif mengenai kontribusi Sastra Islam terhadap Sastra Inggris. Tulisan ini akan membatasi dirinya sendiri dalam hubungannnya dengan kehadiran bentuk-bentuk Sastra Islam sebagai suatu kesusastraan yang banyak dipengaruhi Al-Quran, dan beberapa pengaruhnya ke dalam kesusastraan Inggris.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Quran adalah karya sastra terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Nilai estetis Al-Quran terpancar dari setiap ayat yang hadir tidak hanya dalam bentuk puisi tetapi juga prosa dan drama sekaligus. Fenomena historis ‘Ijaz Al-Quran, tantangan Allah kepada siapa saja yang hendak menandingi kehebatan sastrawi Al-Quran (dan kenyataannya, sampai sekarang memang tak ada seorangpun dan dari sastra apapun yang dapat menandinginya,Subhanallah…!), membuktikan bahwa Al-Quran betul-betul merupakan karya sastra agung. Tanpa fenomena historis ini, maka mungkin saja kita akan ragu kalau Al-Quran adalah karya sastra agung yang kekuatannya dapat dan akan selalu mempesonakan, mengharukan, menggerakkan, menakutkan, dan bahkan menghancurkan. Dalam konteks kesusastraan Arab, Al-Quran mampu mencerai-beraikan semua norma keunggulan sastra yang pernah dikenal bangsa Arab sendiri. Setiap ayat Al-Quran sesuai dan memenuhi norma sastra yang pernah dikenal, dan bahkan mengunggulinya. Al-Quran bukanlah puisi, bukan, prosa, dan bukan drama, tapi semua unsur yang pernah dikenal bangsa Arab (dan oleh manusia secara umum) dalam bidang ilmu sastra mengenai puisi, prosa, dan drama ada dan hadir dalam Al-Quran sekaligus. Bahasa Al-Quran bisa diawali dengan puitik tapi bisa berakhir secara dramatik atau kedua-duanya. Dalam surat An-Nur, kita menemukan bahasa yang dramatis di awal-awal, tapi begitu puitis di tengah ketika mengungkapkan perumpamaan Allah dengan cahaya. Begitupun dengan prinsip Plot yang dikemukakan Aristoteles sebagai yang memiliki awal, tengah dan akhir, diruntuhkan oleh Al-Quran (misalnya terlihat dalam surat Al-Qashash) dengan menghadirkan cerita tidak dalam hubungannya dengan perjalanan kausalitas tetapi lebih didasarkan pada prinsip kelogisan sebuah cerita. Ini baru sebagian kecil dari keagungan bentuk, belum lagi yang berhubungan dengan keagungan isi. Universalitas manusia, HAM, hubungan keluarga, sains dan teknologi, ekonomi, perpolitikan, seni, kebudayaan, dan prinsip-prinsip rasional dalam melihat perkembangan kehidupan adalah juga hanya sebagian kecil dari isi kandungan Al-Quran yang begitu komprehensif mengatur kehidupan.

Dari sinilah maka, kesusastraan Arab pasca kelahiran Al-Quran (baca: Islam), begitu terpengaruh oleh gaya Al-Quran. Di sepanjang dunia Muslim maupun sejarah Muslim, Al-Quran menjadi ideal sastra yang tak tertandingi. Sebelum zaman kolonialisme dan imperialism Barat (baca: Eropa dan Amerika), ketika kekuatan asing memaksakan penggantian tulisan Arab dengan Latin dan mulai mempengaruhi selera sastra masyarakat Muslim, hampir semua karya sastra Muslim merefleksikan karakteristik tradisional Al-Quran. Beberapa karya itu diantaranya adalah: khutbah, risalah, maqamah (kisah pendek), qishash (cerita berisi pesan moral), qashidah (syair), danmaqalah (esei tentang satu gagasan tertentu). Pendek kata, semua Muslim berupaya memenuhi semua kriteria ini, karena kriteria ini berasal dari Al-Quran, contoh ideal. Pemenuhan kriteria ini merupakan ukuran keberhasilan, ukuran pemenuhan sastra, dan ukuran nilai estetis dari penulis dan pembaca.

Dilihat dari sisi Al-Quran inilah, maka saya kemudian melihat adanya kontribusi Sastra Islam terhadap kesusastraan Inggris, baik langsung maupun tidak langsung. Contohnya adalah bagaimana kesusatraan Inggris saat ini mengenal istilah apothegm, yaitu pernyataan tajam dan mengandung filosofi yang tinggi dalam bentuk puisi atau prosa. Apothegm ini pada awalnya tidak ada dalam kesusastraan Inggris, dan baru muncul setelah abad ke-18 (abad di mana Eropa sedang jaya-jayanya menguasai Asia dan Afrika, termasuk Negara-negara Arab). Dari sini, dapat kita “curigai” bahwa kemunculan apothegm sebagai genre sastra dipengaruhi oleh Sastra Islam dari bentuk (genre) khutbah, yang notabene merupakan suatu wasiat. Begitu pula dengan istilah essayyang pemaknaannya sama dengan istilah maqalah di sastra Arab, yang mengungkapkan satu gagasan tertentu. Contoh lain adalah parable yang bersanding sejajar dengan istilah qishash.

Selain itu, kita juga tidak bisa menyangkal kekuatan kisah Alfun laila wa laila (Seribu Satu Malam) yang banyak menginspirasi Sastra Inggris baik dalam bentuk maupun isi ceritanya. Bahkan, bagi sebagian besar sastrawan Muslim, Romeo and Juliet-nya William Shakespeare diyakini sebagai versi lain (kalau tidak mau dikatakan jiplakan) dari Layla Majnun-nya Syech Nizhami. Semua ini, walaupun terlalu dini juga mengatakan Sastra Inggris banyak dipengaruhi Sastra Islam, berhubungan dan dapat dikatakan sebagai kontribusi Sastra Islam terhadap Sastra Inggris.

[1] Handout disampaikan dalam acara diskusi reguler SASAKA (Sanggar Sastra Kampus), 13 Oktober 2010

[2] Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Minggu, 26 Agustus 2012

Indonesia Mudik




MUDIK adalah ciri khas kebudayaan Indonesia. Buktinya, Alan M. Stevens dan A. Ed. Schmidgall-Tellings, penyusun A Comprehensive Indonesian-English Dictionary (2010), tidak menemukan padanan yang tepat buat istilah mudik. Mereka hanya dapat menerjemahkannya menjadi “go back to one’s native village at Lebaran”. Alhasil, dalam urusan mudik, kamus dwibahasa (yang mencari padanan kata) pun terpaksa menyerupai kamus ekabahasa (yang menerangkan arti kata).

Pemakaian istilahnya saja unik nian. Terbentuk dari kata dasar udik, istilah mudiksesungguhnya informal. Verba yang baku seharusnya mengudik, tapi kata bentukan demikian tidak pernah terdengar. Betapapun, istilah informal itu dipakai dalam rapat kabinet, digunakan dalam rumusan kebijakan serta program birokrasi pemerintahan, dan diolah dalam media jurnalistik. Dengan kata lain, gejala mudik memperlihatkan betapa kegiatan informal dapat menguras perhatian tatanan formal. Tanpa perang saudara atau bencana alam, seluruh tatanan transportasi Indonesia bisa dibikin hibuk selama dua pekan sehabis Lebaran. 

Mungkin itu sebabnya orang sulit mencari bandingan mudik di luar Indonesia. Dari segi besarannya, kafilah Idul Fitri ini kiranya hanya dapat dibandingkan dengan migrasi kolektif dalam novel klasik The Grapes of Wrath karya John Steinbeck. Tentu, kaitan cerita Amerika itu berbeda, yaitu terusirnya warga desa oleh industrialisasi pertanian, hingga mereka bergerak di jalan raya buat mencari tempat baru. Dengan kata lain, rakyat Steinbeck meninggalkan udik, sedangkan rakyat Indonesia kembali ke udik —setelah tersedot industrialisasi kehidupan di kota. 

Uniknya pula, kata udik itu sendiri sudah jarang dipakai dalam perbincangan sehari-hari. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), kata itu bisa berarti “daerah di hulu sungai” atau “dusun”. Sungai dahulu kala adalah jalan raya hari ini. Dulu, tatkala sungai masih menjadi jalur transportasi utama, orang Nusantara pergi ke hilir dan kembali ke udik. Dari situlah, rupanya, timbulnya ungkapan hilir-mudik alias mondar-mandir yang biasa digunakan buat melukiskan keadaan lalu lintas. Kata udik tak lagi sering digunakan karena orang Indonesia sudah lama mengabaikan sungai.

Perhatian Indonesia hari ini terarah ke jalan raya, bukan ke sungai. Buktinya, rumah-rumah di bantaran kali umumnya membelakangi kali itu sendiri. Kali dan sungai akhirnya dijadikan ruang belakang tempat banyak orang membuang sampah, kotoran, dan sebagainya. Adapun jalan raya kemudian dijadikan ruang depan tempat banyak orang mempertaruhkan karier dan harkat dirinya. Jejak-jejak peradaban sungai di negeri ini hanya dapat dirasakan pada istilah dan rutinitas mudik. Mereka yang mudik tak ubahnya dengan ikan salmon yang kembali ke hulu pada waktu-waktu tertentu.

Bagi kawanan ikan salmon, hulu sungai adalah tempat yang baik buat mati dan melaksanakan regenerasi. Bagi jutaan orang Indonesia, dusun atau desa adalah tempat yang baik buat memperlihatkan sikap berani mati setahun sekali. Tidak mustahil hidup para pemudik berakhir di jalur pantura Jawa atau di jurang kelokan empat puluh empat Sumatra. Sepeda motor adalah simbolnya yang menonjol. Pasukan kavaleri manapun, tampaknya, tidak dapat menandingi patriot bermotor dalam hal keberanian, kecepatan, daya angkut, dan jarak tempuhnya.

Patut dicatat bahwa salah satu destinasi terpenting bagi para pemberani itu adalah kuburan. Meski Persis atau Muhammadiyah barangkali tidak menyukainya, muslim pemudik pada umumnya menjadikan kunjungan ke kuburan sebagai kegiatan penting. Mereka merambih ke makam leluhur atau anggota keluarga lainnya. Di situ bunga rampai ditaburkan dan air jernih dikucurkan ke atas pusara, juga doa dipanjatkan. Lebaran mendapatkan salah satu simbolnya dalam semacam air setaman.

Di situ pun terlihat watak Indonesia. Jika Idul Fitri di negeri ini dapat ditafsirkan sebagai kesempatan reuni, patut dicatat bahwa reuni itu tidak hanya melibatkan orang-orang yang masih hidup, melainkan juga melibatkan orang-orang yang sudah mati. Si hidup dan si mati berkumpul lagi dalam suasana Idul Fitri. Leluhur dan kaum kerabat yang telah tiada seakan tidak benar-benar mati, melainkan tetap ikut mempengaruhi suasana hati dan gerak-gerik keluarga yang masih hidup.

Pentingnya orang-orang yang telah tiada dalam kehidupan orang Indonesia tergambarkan dalam The Potent Dead (2002) suntingan Henri Chambert-Loir dan Anthony Reid. Buku ini menyajikan sejumlah telaah mengenai aspek-aspek spiritual orang Indonesia, antara lain orang Jawa, Dayak, dan Bugis. “The potent dead, as this book demonstrates, are omnipresent in modern Indonesia,” tulis penyunting buku itu dalam bagian pendahuluan.

Demikianlah, melalui rutinitas mudik yang bersifat informal, dengan segala risikonya, orang Indonesia merealisasikan gerak batin ke tempat asal, ke lingkungan leluhur, di mana kebersamaan sepertinya diteguhkan kembali.***

Oleh Hawe Setiawan. Budayawan dan Kritikus Sastra.

Selasa, 10 Juli 2012

KISAH SI PERIANG 1

Mushtofa
Dari timur langit, matahari beranjak
Pada ketinggian yang paling mashur

Pada keramaian yang tak mengenal kata asing
Meski hanya dinyatakan lewat kebisuan

Di sana, di ruang pengembaraan burung-burung
Di mana angan-angan manusia telah bersayap
Dan menelanjangi dirinya dalam kebebasan

Kudengar hiruk pikuk para penghuni dusun
Menggotong sorak sorai kegembiraan yang fana

Melebihi kemasabodohan terik matahari
Yang menginjak-nginjak benak kepalaku

Hanya satu titik yang termaktub dalam kepala.
Engkau kekasihku, yang memulai kekhusuan baru
Dan memupus senja di jejak kenanganku
                                                                             
Tiba-tiba teriakan dewasamu
Bergema menembus perasaanku yang bimbang
Terhadap jendela kebijaksanaan malam
Yang harus aku lewati dari sini

Dari ruang waktu tak bertepi,
Yang menyimpan kisah kasih si periang
.
Maka kuingatlah pesan-pesan sang rembulan;.

Tentang penghuni malam sunyi.
Tentang penunggang mimpi-mimpi tak bersayap
Yang menjadi muasal peristiwa terhizabnya langit
.
Langit bagai laut, angin bagai ombak-ombak
Yang menghantam anganku bagai buih-buih

Rembulan kenanganku, maafkan aku
Yang menenggelamkan bayanganmu

Maka dingin air jamuanmu seolah langsung
Menusuki rongga-rongga selaput tubuhku

Aku ambruk dan terkubur dalam amuknya


 .
Tapi suara demi suaramu menyelinap lagi
Ke dalam jantung dan menjadi tungku-tungku
Yang menghangatkan dingin suka cita

Lalu yakinlah bumi untuk tidak memimpikan
Bintang-bintang. semalampun

Sang rembulan tersenyum,
Keramahanpun dirasakan bumi dan langit

Dari barat langit, matahari sembunyi dan bertapa
Pada kedalaman surga rembulan yang lebih mashur


2011


Musthofa Nayadirga. Lahir di Bandung. Mahasiswa Tafsir Hadits UIN SGD Bandung. Eksponen Komunitas Sasaka. Tukang puisi dan  penyembah wanita. 

Minggu, 08 Juli 2012

PANJALU SATU














Bila taqdir kematian pikiran yang tersimpan dalam keberadaanku ini 
Terhitung dengan seberapa banyak kuterlupa tentangmu     

Alangkah siksa-siksa yang paling menyakitkan ini, akan berupa sesuatu
Yang memutuskan perasaanku dengan perasaanku yang lainnya
Seumpama memenggal helaan napas satu
Dengan helaan yang lainnya, gila!

Seumpama kekeruhan dari sumber mata cahaya yang memerihkan mata;
kehilangan jejak-jejak dan isyarat-isyarat wujud asal muasal penciptaanku

Atau semungkin aroma-aroma dan kelezatan tuak tuak,yang tak mungkin
Kunikmati lewat bentuk kenangan yang rikuh sekalipun, maka

Kekhawatiranku ini tetap saja takan tenggelam dalam kepingan rasa
Yang tak bisa kau duga

Sampaikah pertemuan itu tiba, dan dijamu iring-iringan waktu yang janggal ?
Dengan sesajian sihir sayap sembilan puluh sembilan hati kelelawar dewasakah ?

Maka aku telah terbiasa dengan tumpukan catatan kelam perayaan-perayaan
Dan penguburan manusia-manusia prematur di kening terhitamku

Ah pikiranku, mungkin kau adalah sayap-sayap samar atau jembatan-jembatan gelap,

Tapi, hari ini aku ingin mengajakmu untuk menepi pada satu jazirah
Yang tersimpan di nadiku, maka akankah ungkapan kerinduan ini
Membuat binatang-binatang malam cemburu dan tersinggung karenanya,

 lalu dengan upacara apa kuwujudkan semunya itu mengelilingiku bagai ikan-ikan?

Setelah ini kuharap malaikat-malaikat air akan menanggalkan pakaian kepanaanku
Dan mengubur pandanganku untuk buta terhadap gurun-gurun pikiran yang gersang

Sebagaimana waktu menerjemahkan tubuh gerimis di antara lekukan lembah-lembah
Sebagaimana kekhusuan ditelanjangi pembakaran kemenyan
Yang dijilati lidah-lidah istirahmu

Memburu sesuatu yang ajaib dari kaburnya khusu terhadapmu,
Adalah jeram-jeram penantian dan singasana yang terbuat dari liang lahat menganga,
Ah lempung dan tanah yang merah
Seperti kujang-kujang tanpa sarung, yang siap menusuk kecemasan panas deritaku

Maka siapa yang akan kedinginan dalam cuaca panas yang runcing,
Jawablah olehmu sendiri !

Maka siapa yang akan kebisingan dalam kesunyian yang lengkap
Jawablah olehmu sendiri !

Wahai manusia pencipta tanya dan pencari kedamaian yang bijak !

Karena mata air keyakinan ini takan terbit di antara ruas keheningan yang ringkas
Karena suasana yang lebih ajaib ini takan terjalin di setiap sudut kesanggupan
Jiwa yang kerdil

Seandainya kemesraan pagi bukan tangan kemurahan alam
Yang bisa menutup sakitnya cuaca malam
Dan kecemasan cuaca malam bukan telapak pembebas Keaiban
Dosa-dosa cuaca siang yang gerah

Tentu kenistaan manusia akan mudah ditentukan dengan lentik telunjuk langit
Yang memihak kemujuran nasib dan memihak keberpihakan objek pikir yang pana !

Lalu apa yang terjadi atas rindu yang dikepung dan digelayuti jutaan kesabaran?

Mungkin seumpama pergantian malam dan siang hari
Yang tercipta dengan benih-benih cinta yang terbelah,
Tapi semestinya di situlah persemaian kesabaran tumbuh bertunas,
Tapi semestinya dari situlah pucuk-pucuk rasa sukur bermunculan

Lantas telaga apakah yang bisa mengubah lidahku tetap lembab dan terlipat ?
Bahkan keterpakuan norma-norma apakah yang mampu menjamu pernikahan malam
Dan tersibaknya mushap-mushap di angkasa, memberkatiku

Dari sabtu yang tak bisa kupanggul; dari negeri asalku,
Aku kembali mendekati negeri ajaliku,
Dengan dua lambaian tangan purba dan jerit perahu-perahu yang ramping,
Dalam sayap-sayap kasar yang tergantung di ranting-ranting pohon masa lalu

O, raja manusia, o raja yang menguasai masa lalu dan kekinianku,adipati-adipati
Pemilik hukum dan kebijakan, o, para aulia yang bersembunyi mengintipku,
Dekaplah aku

Bekalilah aku kehebatan hati, jiwa dan desauan ruhmu
Untuk mengecap setiap rasa cahaya yang tersimpan dalam tapa brata jiwa telaga
Dalam nama-nama rindu baru yang terlindung,
Dalam pesanggrahan kramat yang ma'rifat

Kamar-kamar pengap ini, kuburan-kuburan tua ini,
Adalah bidak-bidak perahu waktuku yang oleng

Maka perjalanan singkat ini harus kuawali dan kuakhiri
Pada jenjang tubuh halus alam-alam kebendaanmu

Seperti ruang dunia yang tak siap aku masuki,
Ah kau yang tergopoh-gopoh dan berkalbu retak
Yang akhirnya hanya kau sendirilah yang akan menuai martir penyesalanmu

;Mungkin adalah birahi matahari yang lebih tua
 Atau mungkin sifat rembulan yang pesolek

Tapi adalah hawa yang kau jadikan tuhanmu
Hanyalah bongkahan sahwat yang sesaat lagi terkulai !

Maka bila nasib mujur merangkulmu,
Apa yang akan kau tanam sehabis waktu menggilingmu,ah

Kecuali pohon-pohon permintaan dan buah-buah jatuh, prasangka
Seburuk kotoran saja yang selalu kau bawa di lambungmu !

Anjing-anjing menjilat babi, Babi-babi menghasut buaya,
Buaya-buaya merayu anjing dan anjing-anjingpun mengendus Ke arahku !
Kelelawar tanpa mata ! jangan kembali pada pagi

Maka hanyalah jantungmu,sumber napas rohani dan tetesan jiwa
Kedasyatan zam-zam yang melimpah, semuanya ke mataku saja !

Tak sanggup kata-kataku mengangkat mutiara merah dan marjan
Yang tersembunyi di balik dadamu
Tak mampu tulisan-tulisanku memangkas seluruh hutan-hutan perawan
Yang tertanam di atas pahamu
Tapi berhentilah menangisi cinta yang kau tinggalkan

Karna bentangan jalan-jalan ini adalah tempat yang akan mempertemukan
Dua laut kesakitan hati, untukmu, dengarlah telagaku,
Untukmu dengarlah lautku
Dengarlah! wahai jiwa yang bersemayam dalam darah merahku

Debu-debu rumah waktuku adalah engkau
Yang menyelimuti sela-sela tubuh nusa dermagaku

Gema-gema gemerincing tombak ini adalah engkau
Yang merawat jari kelingking dan jamrud ingatanku

Adalah kesaksian pesangerahan nusa dan keharuan air mataku yang tak lazim,
;Kampungku, kenapa kau sembunyikan keyakinanmu dalam simbol-simbol
Iman yang ditunggangi budaya dan mitos-mitos

Di mana keindahan kharisma parasmu seperti dipertaruhkan
Dengan wajah-wajah tua yang rawan

Mungkin kekosongan adalah riak sejati telaga ini,
Karena adalah kita; yang tak lebih suci dan berisi
Dari helaian riak-riak telaga dan lelehan lumpur yang dijilatinya

Embun-embun pikiran tetap bertapa dan merahasiakan harta-harta misteri
Dari kelezatan setetes kesabaran, Keheningan mengalir dan merampas
Topeng-topeng dunia dari wajah-wajah molek manusia

Adalah hakekat telaga Yang harus kuterjemahkan lagi di kemudian hari

Seperti engkau yang mengalir ke jantungku,
Engkau setitik mata air zam-zam yang kuibaratkan
Sebagai ruh bagi kehadiran lautan dan ikan-ikan yang menghindari
Jaring-jaring dosaku

Atau justru engkaulah setitik nila yang kan kujadikan cermin
Sekaligus tiang penyangga dan tujuanku, tapi tetaplah bertapa
Sebelum kau keluarkan kata-kata apapun dari lidah pualammu

Balairung yang kecoklatan, dermaga nusa yang tersenyum semanis dewi-dewi
Iris-irisan riak ombak kecil dan senja hari yang mengalun bagai gamelan
Yang tersusun dan hadir melebihi perjalanan yang kurencanakan

Tapi nyanyikanlah kidung-kidung bathin ini
sepenuh angin yang membelah malam
Agar dingin hari tidak menjadi perniagaan gelap
Yang membandingkan cahaya matamu dengan kesementaraan

Lihat tanah-tanah penjelajahan telah terbakar udara panas
Dan janggutku yang terbakar ! tapi biarlah orang-orang tetap berangkat
Untuk membicarakan apa yang tak kuimani !

Dari sepertiga usia sayapku mimpi-mimpi telah merebut jejak kakiku untuk bumi
Dari sepertiga usiaku ternyata bumipun hanya mencemburui
Sayap-sayap kecil pinjamanku

Perahu-perahu yang melukis dermaga dan dermaga yang menjemput gelombang
Berputar-putar bagai baling-baling, upacara nyangku yang sumringah dalam hening
Diabadikan sebuah tangis dewasa dan pagi yang tiba menghampiri matamu

Dan harapan-harapan baru ditandai sepenuh napas layar-layar yang menunggumu

Perahu yang tak usai berkembang, nusa yang ringkih tersenyum
Apakah semua ini pirasat-pirasat yang memanggilku tadi malam ?

Tapi aku dan burung-burung malam,akan menggali kuburan sendiri
Dalam aroma mistik tanah ini

Sebatang telaga hijau, auman harimau, setangkai arus kekosongan
Yang melayang bersama sayap kelelawar sunyi
Tampak semakin berderu seperti kumparan remang-remang ingatanku
Yang dibentur batu-batu, seperti gemuruh gema langkahmu,
Yang mempercepat kehancuran rawannya waktu,

Lalu karamlah keniscayaan ini dari kebutaanku

Dari rintangan yang telah kita pangkas dan jalan-jalan baru yang melambai
Kelegaan mengiringi lembaran cuaca

Untuk maghrib terakhir yang telah mengilhami telaga dan hutan-hutan ini

Di pinggir jalan-jalan masa laluku Kehampaan menelanjangi dirinya sendiri
Dan kabarmu menjajakan separuh bentuk Usia angin yang tak sempat kujelajahi

Mungkin pada jalan lengang dingin inilah waktu dan angin
Akan menyembunyikan tubuhnya padamu

Pada batas-batas rasa antara telaga dan laut pengetahuan
Pada Batas-batas antara sukacita dan dukacita, napsu
Yang seringkali menyerupai bayangan yang paling kelabu

Tak terasa waktu terjulur Pada ketakpastian bayangannya
Kenangan menjadi celah Yang robek tertancap tombak-tombak cahaya

Ingatanku mengambang di angkasa rasa perihku yang mengalir ke muara
Menciptakan negeri-negeri pikiran biru yang kemerahan

Apa yang telah kuberikan padamu ternyata itulah kesombonganku
Apa yang pernah kuraih darimu Ternyata itulah jalan keputus asaanku

Bila berkah orang-orang suci selalu dikibarkan dari tempat yang lebih tinggi

Maka perumpamaan lain dari genangan baru atau telaga
Yang tak bisa menggenangi tempat itu
Adalah perumpamaan kesombongan yang tak bisa disentuh kerendahan cahaya

Tetapi bila berkah orang-orang suci dinyalakan dari tempat-tempat
Yang lebih gelap, maka alasan untuk membenci orang-orang
Yang kita anggap Lebih kotor

Adalah alasan yang dinyalakan kebodohan !


2012

Ilafat Salamandra lahir di Panjalu  15 Sya'ban tahun Kalong. Minat Seni Rupa dan Ulin ka Laut Cibeureum.

Senin, 11 Juni 2012

OMBAK YANG MELINTAS DAN ANAK-ANAK YANG BERLARI

1

Kota yang berdenyut, melintasi batas kelelahan manusia.
Lampu-lampu menyeruak ke seluruh koridor dan trotoar
seakan membakar jasadku!
Tak ada denyut terakhir selain denyut jantung beton
yang telah memuai di pusara kota ini. Kesadaranmu
barangkali hanya kepada seorang gadis tuli tanpa ibu.
Dari jemarinya aku tahu betapa kokohnya sebuah bahasa.
Diam-diam, dadaku menyimpan ombak biru
gelombang pembawa pesan dari luasnya kenyataan laut.
Kutukan bagi siapapun yang melubangi tanah ini dengan peradaban
yang tak mungkin menyisakan terumbu karang
mahkota masa depan anak-anakku.

Aku telah mengira: tak mudah mencapai langit
membangun sebuah kota cahaya. Namun aku tak lebih dari manusia.
Setelah semuanya terjadi, dimulai dari lampu-lampu yang menyeruak
seperti menggodaku untuk menghabiskan samudra atau memeras matahari.
Mungkin aku tak sadar bahwa kota ini tak hanya untuk kepuasanku
terbahak-bahak di bawah lelahnya matahari. Ada beberapa orang
yang harus kupertahankan demi sebuah hasrat yang telah dilepas
ke udara. Namun, keuntungan apa yang didapat
saat sejarah nenek moyangku terhanyut bersama samudra?
Barangkali kota itu tak menerima anak tuli yang menggunakan  sepuluh jarin
untuk mengatakan bahwa yang berani berdiri
dan mencakar siapapun akan kembali abadi di laut ini.
Laut yang telah menghanyutkan ibu dan aku.

Gadis itu berpura-pura tak tahu kenapa jasad ibunya membeku.
Kenapa ia rela berbagi tubuh pada gemerlap kota selama 301 hari.
Gadis itu menyebut apa yang telah kau lakukan pada kota ini
sehingga sesajen waktu, pasir laut selatan, atau segala macam ritual
dengan sisa darah yang menjelma segala bentuk balung menjauh.
Barangkali, mimpiku lari-lari, tanpa memperdulikan desah kota
yang hanya akan meninggalkan sebuah ingatan.


2

Di ketukan ketiga, pintu terbuka.

Hanya angin
matahari larut
bagimu, laki-laki.

Seorang lelaki tua memikul matahari, menuju hutan batu.
Selatan Maroko tergambar jelas pada wajah tandusnya
negeri yang masih menyisakan keluarga gembala
di antara bukit-bukit yang melepuh. Lelaki tandus itu
bercerita tentang punggungnya yang dijumpai orang asia
menghadiahi 299 magasin. Ayah gembala menawarnya
dengan seekor kambing dan 501 dirham, meminta hadiah itu
menjaga kutukan hutan untuk daging-daging keluarganya.
Dengan memperlihatkan sisa gigi si lelaki tandus
menunggu mereka menyulap tawaran kambing itu
menjadi 500 dirham. Namun di luar, pada batu
dia bersepakat mengangkat kembali matahari.

Tiga magasin berebut batu dengan angin.

Apa yang memberkatimu
selain doa dan matahari?

Magasin-magasin dan taman kambing itu menumpuk
di atas kepala anak tertua gembala, menghantam batu-batu dan bukit.
Ya, yang tua selalu ingin pertama. Namun di situ, batulah
yang menentukan anak gembala muda sebagai pejinak magasin
pelubang angin. Ayah gembala tak pernah tahu kata apa
yang pantas bagi anak-anaknya. Lelaki tandus itu
menaruh kembali magasin dengan bijaksana.

Kata apa yang mampu mengikat
semua yang terlihat?

Di samping rumah batu yang lain, tempat ayah gembala
menyimpan iba dari perawan hutan. Anak tertua gembala
membuka pagar kambing, mengeluarkan daging keluarganya
untuk diawetkan di atas hutan. Inilah pekerjaan anak gembala
penakluk matahari. Namun, yang muda selalu liar:
si penjinak angin ini melepas hasrat ke udara
melewati celah batu. Di balik penyimpanan iba
perawan hutan membiarkan pejinak angin itu
menikmati cokelat tubuh dan sepasang klakson
yang menandai aba-aba bagi matahari
barangkali nantinya menerkam keluarga gembala.
O, sanjunglah penguasa hutan ini: anak tertua gembala
menggusur matahari dari tengkuk adiknya.

Ribuan kambing, seperti meleleh di bibir tebing.

Perempuan adalah bentuk liar
dari matahari.

Kutukan hutan yang mengendus daging-daging itu
dan si penjinak angin tak bisa menusukkan magasin
pada bulu-bulu kutukan itu. Kokang dilepas
tak ada yang tewas. Si pejinak angin malas
dan menggerutu, menghampiri kaki batu
duduk dan menunggu tiga unta di telan bukit
memijat senapan lelaki dan paha kananya
dengan nafas bertalu-talu.

Kedua anak itu memainkan matahari
sayap-sayap api.

Anak gembala selalu tahu
kebenaran manusia sejati
penakluk matahari.

Anak tertua gembala merasa dadanya seluas jidat kambing
bangkit dan sekali lagi menusukkan magasin pada bukit-bukit
membuat kepul, mengotori telinga si pejinak angin yang bergegas
ke arah kakaknya dengan nafas lebih tertahan. Si pejinak angin
merebut kebodohan kakaknya, menggerakan batu di bukit itu.
Namun, anak tertua gembala tak mengakui jika kebodohannya
sepanjang 31 kilometer. Di tempat yang lebih tinggi
dia meminta adiknya menggaris kebodohannya itu di kaki bukit
dan membiarkannya bercampur dengan butiran pasir.
Anak tertua gembala berdiri lebih tinggi;
magasin terlihat ditelan angin; tak menjerit.
Si pejinak angin murung, tubuhnya sekecil kotoran kambing.

Kedua anak dan ribuan kambing itu
seperti lahar pasir menuju rumah batu.

Tak ada manusia yang sudi lari
kecuali saat dirinya pencuri.

Ibu gembala dan perawan hutan datang
menanyakan kenapa daging-daging itu lebih cepat dibawa pulang.
Ibu gembala itu menyuruh mencuci kemalasan mereka sendiri
dan kembali membawa daging-dagingnya ke bukit itu.
Tapi apa yang lebih kuat dari ketakutan manusia meskipun
menghadapi ibu mereka? Ibu gembala, dengan tatapan
kepada pejinak angin di antara sepasang hitam mata
anak tertua gembala, yang masih meninggalkan senapan lelaki
di kaki batu, di bukit itu.

Memungut sisa hari-hari
menghitung langkah ayah gembala.
Langit, tak lagi menyala.

Kemalangan selalu singgah
pada ketakutan dan retak tanah.

Di depan tungku, keluarga itu melahap daging di nampan
ayah gembala dengan perjalannya yang dihadang berita
tentang darah seorang wanita. Serigala-serigala Maroko
menanyai apakah mereka adalah pemilik magasin itu.
Di sudut kiri, anak tertua gembala menatap pejinak angin.

Anak-anak lari di shubuh hari, membawa magasin utara.

Hanya angin
jejak terlupakan
jejak laki-laki.


3

Manusia selatan pesisir, memadamkan mimpi-mimpi
yang tak pernah berakhir. Mengusir api di kepalaku
dengan butiran pasir mampu meneggelamkan segala kemegahannya
hadiah dari laut yang lain. Ombak, ombak yang mencakar
ketika angin membuka tutupnya tepat di mungil tanganku.
Sebab kita sedang di lautan pasir yang segalanya
harus melewati dahaga, menyisakan matahari di ubun-ubun.

Di laut itu, aku menemukan perempuan-permpuan
yang tubuhnya dibungkus kain hitam. Tak ada bentuk payudara
atau bokong yang menyembul selain sepasang mata
yang mengawasi pasir-pasir di antara kedua kakinya yang tenggelam.
Aku mengira, mereka mirip seragam malaikat kematian.
Namun di laut itu, hitam menandai malam yang tak pernah terbakar
oleh matahari. Dan malam adalah di mana para kekasih menasbihkan
syair yang merindukan cahaya demi membuka kehidupan manusia
ketika segalanya nampak lelap; sejak matahari membakar seluruh api
dalam dada mereka. Dan hitam membungkus mataku
perlahan-lahan. Kupikir itu adalah kematian
menjadi sebuah peluru yang kini menembus bahuku!

Tiba-tiba, aku ingin melempar ketakutan dan membiarkannya rata
dengan butiran pasir, namun aku tak pernah tahu apa yang akan dibawa
oleh angin selatan. Jika saja keinginan manusia dibatasi
mungkin aku tahu kapan laut akan menghampiri negeriku.
Dan inilah yang kusaksikan: ombak selalu jadi nafas yang tak pernah
terampas, meskipun kucuri penghuninya berkali-kali.
Tapi di daratan, aku masih saja ketakutan dengan darah
yang meloncat-loncat dari bahuku, padahal inilah rencanamu
inilah hijrah pertamaku. Oh, sebenarnya apa yang kuinginkan?

Kerandaku telah sampai pada sebuah desa, yang sebenarnya di situ
aku semakin dilema tentang warna-warna. Adakah kematian
yang memberiku cerutu pelarut luka sampai aku tak lagi mengingat
apa yang kutakutkan? Di paru-paruku kini telah ada doa-doa
yang sebenarnya. Barangkali malaikatku yang sedari awal
termangu menatap lelapku, seperti ada kemiripan
dengan ibu gadis itu, yang tertidur dan tak pernah bangun lagi.


4

Anak-anak selalu penghias utama alamku.
Apa yang kupertahankan kini bukanlah benda-benda
yang mengkilap. Merah pipi mereka melebihi mutiara
kerang lautan. Segalanya menjadi nyata ketika aku sadar
ada lubang-lubang selain mulutku yang harus dipenuhi.
Apapun yang membuat mereka mengeluarkan air laut
dari matanya akan melukaiku seraya mengatakan
bahwa tak ada lagi yang berani mengotori matanya
selama aku memeluknya. Entah cinta atau diriku terlalu lama
bersama mereka dan merasa bahwa ada sesosok manusia kecil
yang keluar dari igaku dengan tangan meronta-ronta
seakan-akan milikku sepenuhnya. Inilah firman Tuhan paling indah
dari tangisan pertamanya, dan mampua melupakan siapa
yang harus membayar kadatangannya: kematiankukah?

Namun semakin lama tangisan itu memudar oleh matahari
yang selama ini menemaniku mencari apa yang akan membuatku
bertahan lebih lama dari kematian. Aku pun mengira kota cahaya itu
akan tumbuh sebesar alamku, tak ada lagi kekhawatiran.
Tak ada lagi mimpi-mimpimu itu. Ambisi hanya berdenyut
melintasi batas kelelahanku. Melintasi rumah batu yang lain.



2011

Galah Denawa. Lahir di Sukabumi, bersenang -senang di Bandung.