Revenue

Rabu, 27 Februari 2013

KONTRIBUSI SASTRA ISLAM TERHADAP SASTRA INGGRIS: SEBUAH PELACAKAN AWAL[1]


Berbicara mengenai Sastra Islam, khususnya bagi saya pribadi, masih menyisakan sejumput tanya yang mengharap segudang jawab. Mengapa demikian? Karena sejujurnya, istilah Sastra Islam merupakan sebuah istilah yang problematis. Di satu sisi, betul adanya bahwa apa yang kemudian hadir dalam kesusastraan Arab pasca kelahiran Islam (berikut perkembangan dan kejayaan kekhalifahannya di masa Umayyah dan Abbasiyah sampai masa sekarang), sedikit banyaknya sangat terpengaruh oleh Al-Quran, baik dari segi bentuk maupun isinya. Dalam konteks ini, maka istilah Sastra Islam dapat dengan mudah dilekatkan dan didefinisikan, karena Al-Quran sebagai sumber otentik ajaran Islam diturunkan oleh Allah dalam bahasa Arab. Namun, di sisi lain, ketika istilah Sastra Islam didefinisikan dalam kaitannya dengan kategorisasi sastra sebagai disiplin ilmu, maka istilah ini pun menguap, tidak jelas, hanya menyisakan titik-titik air yang tersebar di pikiran para sastrawan dan ahli sastra, tanpa adanya keterangan yang jelas. Ini misalnya terkait dengan pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah Sastra Islam itu adalah sastra Arab? Apakah Sastra Islam itu adalah sastra yang ditulis oleh orang Islam (Muslim) walaupun bukan berbahasa Arab? Ataukah Sastra Islam itu sastra yang berisi prinsip-prinsip dan ajaran universal Islam walaupun ditulis bukan oleh orang Islam dan bukan dalam bahasa Arab saja? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mengganggu saya ketika istilah Sastra Islam ini muncul dan banyak diperdebatkan oleh para sastrawan dan ahli sastra. Dalam hal ini, saya kemudian beralasan bahwa pertanyaan-pertanyaan itu tidak dapat dijawab serta merta karena juga disebabkan oleh sifat sastra itu sendiri yang universal. Biasanya universalime sastra tidak dapat dibatasi oleh ideologi tertentu. Ideologi tentunya dapat menjadi intisari sebuah karya, tetapi tidak bisa berubah menjadi penyekat sastra itu sendiri. Ideologi ada dan hadir di dalam karya dengan sifatnya yang inklusif; jelas, berbekas, tapi tetap laten.

Dalam ilmu sastra (setidaknya sampai saat tulisan ini dibuat), satu-satunya aspek yang bisa menjadi penyekat atau dinding pemisah antara sastra yang satu dengan yang lainnya adalah wilayah/Negara/bangsa. Sehingga kita mengenal adanya Sastra Indonesia, Sastra Sunda, Sastra Jawa, Sastra Melayu, Sastra Inggris, Sastra Jepang, Sastra Amerika, dan lain-lain, tapi tidak Sastra Liberal, Sastra Kapitalis, Sastra Komunis, Sastra Kristen, Sastra Hindu, atau Sastra Islam. Walaupun begitu, tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk memulai lagi dan/atau mencoba lagi merumuskan kesusastraan berbasis ideologi, termasuk pendefinisian Sastra Islam sebagai sebuah istilah yang ‘berterima’ (acceptable) dalam disiplin ilmu sastra. Dalam kajian kita kali ini, anggap saja dulu bahwa istilah Sastra Islam sudah kuat, kokoh, tak tergoyahkan dan ‘berterima’ sebagai sebuah kategori dalam ilmu sastra, atau paling tidak, kita acukan istilah Sastra Islam ini kepada pengertian yang pertama, yaitu sebagai kesusastraan Arab yang banyak dipengaruhi Al-Quran baik dalam bentuk maupun isinya.Sebagai sebuah pelacakan awal, tulisan ini tidak berpretensi untuk menjadi sebuah pengkajian yang komprehensif mengenai kontribusi Sastra Islam terhadap Sastra Inggris. Tulisan ini akan membatasi dirinya sendiri dalam hubungannnya dengan kehadiran bentuk-bentuk Sastra Islam sebagai suatu kesusastraan yang banyak dipengaruhi Al-Quran, dan beberapa pengaruhnya ke dalam kesusastraan Inggris.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Quran adalah karya sastra terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Nilai estetis Al-Quran terpancar dari setiap ayat yang hadir tidak hanya dalam bentuk puisi tetapi juga prosa dan drama sekaligus. Fenomena historis ‘Ijaz Al-Quran, tantangan Allah kepada siapa saja yang hendak menandingi kehebatan sastrawi Al-Quran (dan kenyataannya, sampai sekarang memang tak ada seorangpun dan dari sastra apapun yang dapat menandinginya,Subhanallah…!), membuktikan bahwa Al-Quran betul-betul merupakan karya sastra agung. Tanpa fenomena historis ini, maka mungkin saja kita akan ragu kalau Al-Quran adalah karya sastra agung yang kekuatannya dapat dan akan selalu mempesonakan, mengharukan, menggerakkan, menakutkan, dan bahkan menghancurkan. Dalam konteks kesusastraan Arab, Al-Quran mampu mencerai-beraikan semua norma keunggulan sastra yang pernah dikenal bangsa Arab sendiri. Setiap ayat Al-Quran sesuai dan memenuhi norma sastra yang pernah dikenal, dan bahkan mengunggulinya. Al-Quran bukanlah puisi, bukan, prosa, dan bukan drama, tapi semua unsur yang pernah dikenal bangsa Arab (dan oleh manusia secara umum) dalam bidang ilmu sastra mengenai puisi, prosa, dan drama ada dan hadir dalam Al-Quran sekaligus. Bahasa Al-Quran bisa diawali dengan puitik tapi bisa berakhir secara dramatik atau kedua-duanya. Dalam surat An-Nur, kita menemukan bahasa yang dramatis di awal-awal, tapi begitu puitis di tengah ketika mengungkapkan perumpamaan Allah dengan cahaya. Begitupun dengan prinsip Plot yang dikemukakan Aristoteles sebagai yang memiliki awal, tengah dan akhir, diruntuhkan oleh Al-Quran (misalnya terlihat dalam surat Al-Qashash) dengan menghadirkan cerita tidak dalam hubungannya dengan perjalanan kausalitas tetapi lebih didasarkan pada prinsip kelogisan sebuah cerita. Ini baru sebagian kecil dari keagungan bentuk, belum lagi yang berhubungan dengan keagungan isi. Universalitas manusia, HAM, hubungan keluarga, sains dan teknologi, ekonomi, perpolitikan, seni, kebudayaan, dan prinsip-prinsip rasional dalam melihat perkembangan kehidupan adalah juga hanya sebagian kecil dari isi kandungan Al-Quran yang begitu komprehensif mengatur kehidupan.

Dari sinilah maka, kesusastraan Arab pasca kelahiran Al-Quran (baca: Islam), begitu terpengaruh oleh gaya Al-Quran. Di sepanjang dunia Muslim maupun sejarah Muslim, Al-Quran menjadi ideal sastra yang tak tertandingi. Sebelum zaman kolonialisme dan imperialism Barat (baca: Eropa dan Amerika), ketika kekuatan asing memaksakan penggantian tulisan Arab dengan Latin dan mulai mempengaruhi selera sastra masyarakat Muslim, hampir semua karya sastra Muslim merefleksikan karakteristik tradisional Al-Quran. Beberapa karya itu diantaranya adalah: khutbah, risalah, maqamah (kisah pendek), qishash (cerita berisi pesan moral), qashidah (syair), danmaqalah (esei tentang satu gagasan tertentu). Pendek kata, semua Muslim berupaya memenuhi semua kriteria ini, karena kriteria ini berasal dari Al-Quran, contoh ideal. Pemenuhan kriteria ini merupakan ukuran keberhasilan, ukuran pemenuhan sastra, dan ukuran nilai estetis dari penulis dan pembaca.

Dilihat dari sisi Al-Quran inilah, maka saya kemudian melihat adanya kontribusi Sastra Islam terhadap kesusastraan Inggris, baik langsung maupun tidak langsung. Contohnya adalah bagaimana kesusatraan Inggris saat ini mengenal istilah apothegm, yaitu pernyataan tajam dan mengandung filosofi yang tinggi dalam bentuk puisi atau prosa. Apothegm ini pada awalnya tidak ada dalam kesusastraan Inggris, dan baru muncul setelah abad ke-18 (abad di mana Eropa sedang jaya-jayanya menguasai Asia dan Afrika, termasuk Negara-negara Arab). Dari sini, dapat kita “curigai” bahwa kemunculan apothegm sebagai genre sastra dipengaruhi oleh Sastra Islam dari bentuk (genre) khutbah, yang notabene merupakan suatu wasiat. Begitu pula dengan istilah essayyang pemaknaannya sama dengan istilah maqalah di sastra Arab, yang mengungkapkan satu gagasan tertentu. Contoh lain adalah parable yang bersanding sejajar dengan istilah qishash.

Selain itu, kita juga tidak bisa menyangkal kekuatan kisah Alfun laila wa laila (Seribu Satu Malam) yang banyak menginspirasi Sastra Inggris baik dalam bentuk maupun isi ceritanya. Bahkan, bagi sebagian besar sastrawan Muslim, Romeo and Juliet-nya William Shakespeare diyakini sebagai versi lain (kalau tidak mau dikatakan jiplakan) dari Layla Majnun-nya Syech Nizhami. Semua ini, walaupun terlalu dini juga mengatakan Sastra Inggris banyak dipengaruhi Sastra Islam, berhubungan dan dapat dikatakan sebagai kontribusi Sastra Islam terhadap Sastra Inggris.

[1] Handout disampaikan dalam acara diskusi reguler SASAKA (Sanggar Sastra Kampus), 13 Oktober 2010

[2] Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Do you like this story?

Tulisan Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar