Revenue

Jurnal SASAKA

Edisi Juni 2012

Haul to Chairil Anwar

Acara FAS (Forum Alternatif Sastra)

Komunitas Sasaka

Pungkit, Anto,Atep, Ema

Acara Godi Suwarna

Sedang menyimak

Diskusi

Kebersamaan tak lekang oleh waktuuuu

Dado dan Nira

MC Acara FAS

Pungkit, Ema dan Atep

kongko-kongko

Jurnal SASAKA

Coming Soon Edisi September 2012

Rabu, 25 April 2012

Perempuan Pemimpi

Lelaki buruk rupa berdiri mematung di hadapan­ku. Aku yakin, ia orang yang akan menjadi sua­miku. Tidak salah lagi, meski baru bertemu dengannya, namun aku hapal seperti apa orang yang kelak akan menjadi suamiku. Melalui mimpi. Dalam mimpi itu, aku menikah dengan seorang lelaki berkulit hitam, kepala pelontos dengan hidung yang melesak ke dalam. Belum lagi teli­nganya: jebang. Seperti ciri-ciri lelaki ini.
Hanya dalam mimpi, aku bisa meramal masa depan. Seolah kejadian yang belum terjadi dalam hidup, akan tampak dalam mimpiku. Oleh karenanya, aku sangat yakin bahwa lelaki yang sedang aku lihat ini yang akan menjadi suamiku.
Aku tidak pernah salah dalam menafsirkan mimpi. Karena keajaiban mimpi itu, aku bisa bertemu dengannya di Stasiun Gambir. Dalam mimpiku itu diceritakan, bahwa ia berasal dari Surabaya, datangnya menggunakan kereta ekonomi, menge­nakan baju lusuh dengan peluh mengental di lehernya. Ternyata lelaki yang berada di hadapanku ini baru saja turun dari kereta. Aku langsung memeluk lelaki itu seperti sudah mengenalnya. Bagaikan seorang perem­puan yang menunggu kepulangan kekasihnya yang telah lama tak bertemu. Membuatnya terkejut mendapati dirinya dipeluk oleh perempuan yang tak ia kenal.
“Akhirnya kita bertemu juga...” aku berteriak histeris sambil meme­luknya, “Sudah lama aku menunggumu disini.”
Lelaki itu diam seje­nak memandangi wajahku, menatap lekat-lekat binar cahaya kedua mataku yang tampak berkaca-kaca karena bahagia. Dengan sedikit gelagapan ia tampak kikuk, “Maap, mbak kayanya salah orang, aku bukan orang yang mbak tunggu.” katanya. Lalu dipan­danginya orang-orang sekitar yang turun dari kereta, sepertinya tak ada orang yang mirip dengan­nya.
“Mana mungkin aku salah!” teriakku lagi. “Apa kau tidak mengenaliku?” aku bertanya, yang pasti jawabannya sudah dapat kutebak bila ia akan barkata, “Ya, aku tidak mengenalmu!”
Lelaki itu kembali angkat bicara, “Aku tidak punya kenalan disini, aku hanya perantau yang sedang liburan di kota ini.”
Tidak. Aku tidak salah orang. Aku telah hapal wajah orang yang akan menjadi suamiku yang dalam mimpiku orang itu berwajah buruk rupa dan menurutku, hanya orang inilah yang wajahnya paling buruk diantara ribuan wajah para penum­pang kereta di Stasiun Gambir.
“Sudah mbak jangan memelukku terus, aku tidak mengenal siapa mbak, mungkin orang yang mbak tunggu wajahnya mirip denganku?” lelaki itu kemudian mencoba membuka eratnya pelu­kanku, pastinya deka­panku membuatnya merasa tak nyaman.
“Jangan lepaskan pelukanku.” cegahku sambil terus memeluknya.
Ia kembali diam. Berdiri mematung dan menarik kepalanya kebe­lakang sedikit menjauh dari wajahku. Membuat dadanya yang bidang semakin keras menempel di dadaku. Ternyata kami memiliki tinggi tubuh yang sama. Sejajar dengan jendela kereta. Napas yang dikeluarkan dari hidungnya begitu sangat tak teratur. Aku tahu ia pasti sangat gugup. Mungkin baru pertama kali ini ia dipeluk oleh seorang perempuan. Dengan wajah buruk rupa itu, mana ada orang yang mau menjadi kekasihnya dan memeluknya erat-erat. Tapi kenyataanya seka­rang, seorang perempuan sepertiku mau meme­luknya. Sekadar untuk meyakinkan bahwa aku adalah istrinya nanti.
Tidak. Aku tidak salah memeluk orang. Kulit wajah lelaki yang sedang kupeluk ini benar-benar hitam. Tak ada bedanya dengan warna gerbong kereta tua yang telah berkarat. Namun bedanya,  lelaki ini masih muda meski terlihat tua. Ada tiga gerat menggumpal pada keningnya. Matanya semakin nyalang setengah terpicing. Kedua bulu alisnya saling beradu, menandakan ia mulai geram oleh tingkahku karena langsung menyam­bar tubuhnya itu dengan pelukan.
Melihat gelagatnya yang mulai risih dan melakukan sedikit perla­wanan, aku kembali bertanya, “Siapa nama­mu?” sambil melepaskan pelukan.
“Sudah saya katakan, mbak salah orang, bukti­nya mbak tidak tahu nama saya kan?” jawab­nya sedikit membentak.
“Aku belum tahu namamu, tapi wajahmu selalu ada dalam mim­piku.”
“Maksud mbak?” ia sekarang yang bertanya.
“Aku selalu bermimpi bahwa kau akan menikah denganku.” tegasku yang dibalasnya dengan gele­ngan kepala.
Meski telah kujelaskan perihal bahwa aku bisa meramal masa depan melalui mimpi, namun lelaki itu tidak percaya bila ia akan menikah denganku. Sudah setengah jam kami berdiri berha­dapan disitu, tanpa pernah menghitung berapa kereta yang datang dan pergi dari stasiun itu, atau merasakan tatapan aneh dari orang-orang yang lalu lalang karena melihat kami saling baradu mulut. Mungkin dalam pikirannya sekarang hanya terfokus pada satu titik: ia ingin pergi jauh-jauh dariku. Aku tidak akan mem­biarkannya kembali menaiki kereta yang akan membawanya menghilang. Tujuanku datang kesini, hanya untuk menjelaskan pada lelaki buruk rupa ini, bahwa ia akan men­jadi jodohku. Ditambah lagi harapanku untuk segera melangsungkan resepsi pernikahan. Namun ia selalu saja menggelengkan kepala tanda tidak setuju.
“Aku adalah istrimu nanti,” kataku lagi, “Di masa depan, kita adalah sepasang suami istri.”
“Berarti kita akan menikah?” ia kembali bertanya.
“Ya!” jawabku singkat sambil menyunggingkan senyum.
“Bagaimana kita akan menikah, sedangkan kita tidak pernah mengenal satu sama lain.” jawab­nya.
“Tapi aku telah menge­nalmu.”
“Dimana? Kita baru bertemu.”
“Setiap malam kita selalu bertemu melalui mimpi-mimpiku.” aku membantah.
“Mbak jangan meng­ada-ngada!” jawabnya dengan nada menggertak.
“Kaulah jodohku, kumohon percayalah…” aku merengek. Tetapi lelaki itu tetap tidak percaya sambil meng­gelengkan kepalanya berkali-kali. Padahal, hampir setiap malam, aku selalu bermimpi akan dinikahi oleh seorang lelaki berkulit hitam, kepala pelontos dengan hidungnya yang melesak ke dalam. Belum lagi telinganya: jebang. Aku yakin betul mimpi itu akan menjadi kenyataan.
Sudah lama aku memiliki kekuatan mera­mal masa depan hanya dengan tidur dan bermim­pi. Akibat kekukatan mimpi itu, orang-orang selalu bertanya padaku, mereka selalu bertanya entah itu masalah jodoh, bisnis, politik, bahkan masalah kematian seka­lipun. Aku bisa mera­malnya. Hasilnya selalu tepat.
Tak bisa disangsikan lagi, keakuratan ramalan mimpiku memang tidak pernah salah. Semuanya bermula ketika aku percaya bila mimpi itu bukan hanya sekadar bunga tidur. Semuanya bisa menjadi kenyataan bila aku mempercayai mimpi itu akan benar-benar terjadi. Bahkan seorang peramal pun bisa manfsirkan mimpi orang-orang dengan caranya masing-masing; entah itu lewat kartu tarot, garis tangan atau jalan cerita mimpi tersebut. Tetapi aku tidak perlu menaf­sirkan mimpiku, karena cerita mimpiku tidak absurd. Semuanya meng­alir begitu saja. Jalan cerita mimpiku akan sama dengan kejadian yang akan menimpa hidupku.
Tetapi, beberapa minggu yang lalu, aku selalu bermimpi tentang jodohku. Entah karena sebelum tidur aku selalu memikirkan siapa yang akan menjadi jodohku. Aku selalu percaya perka­taan kedua orang tuaku yang selalu memberikan nasihat, “kamu adalah apa yang kamu pikirkan, dan bila kamu selalu memikirkan tantang jodohmu sebelum tidur, maka kamu akan memim­pikan seperti apa jodohmu itu.” Hasilnya, setiap aku tidur, aku selalu bermimpi dinikahi seorang lelaki buruk rupa, seperti lelaki yang seka­rang ada di hadapanku. Apa mungkin dalam lubuk hatiku, aku ingin dinikahi oleh lelaki seperti itu? Yang pasti, aku begitu menikmati mimpi itu.
“Aku adalah istrimu nanti, kita adalah sepa­sang suami istri dimasa depan.” kataku yang berjanji tak akan mengu­langi ucapan itu lagi..
“Mbak itu perempuan gila, mana mungkin aku mau menikahi perempuan seperti mbak.”
“Kalau kau tidak percaya, tidurlah dengan­ku.” ajakku dengan senyum manja.
“Apa mbak seorang perek¹?”
“Aku istrimu di masa depan.”
“Terserah!” katanya ketus. Ia lalu melangkah pergi tanpa pernah meno­leh ke belakang.
Usahaku untuk menje­laskan apa yang aku alami dalam mimpi ternyata sia-sia, ia tetap tidak mempercayainya. Apakah karena aku terlalu jujur? Sehingga ia begitu kaget dan memanggilku orang gila yang mengada-ngada tentang apa yang aku katakan. Sebenarnya aku pun tidak ingin dinikahi olehnya.
***
KEMARIN hari yang begitu sangat men­jengkelkan bagiku. Le­bih tepatnya pada kebo­dohanku. Kenapa aku tidak menanyakan pada lelaki itu, “Kau tinggal dimana?” atau mungkin, “Kau mau tinggal dimana? Mungkin aku bisa men­carikanmu sebuah kon­trakan.” mengingat mim­piku semalam yang tidak begitu jelas. Aku memim­pikan lelaki itu tinggal di sebuah kontrakan kumuh yang padat penduduk. Mana mungkin aku mengetahui tempat tinggalnya, sedangkan hampir semua kontrakan di kota ini, memang seperti itu suasananya.
Statsiun ini masih sama seperti kemarin. Lalu lalang calon penum­pang kereta begitu men­deras. Langit tetap mendung. Guntur meng­gelegar setiap dua menit sekali. Tampaknya di bulan Desember ini, musim hujan masih belum berakhir. Begitu dingin. Merewet pada setiap kegelisahan orang-orang. Angin berkesiur memecah uraian rambutku. Begitu juga rok mini yang kuke­nakan; tergerai, terbuka setengah paha. Orang-orang sekilas menatapku. Mungkin di benak mereka mengumpat, “Dasar wanita zaman sekarang, musim dingin seperti ini memakai pakian seperti itu.” Ah biarkan saja, ini gaya hidupku. Tanpa rasa malu sedikitpun, aku akan tetap mununggu lelaki itu datang lagi.
Di dekat peron, aku masih menunggunya. Sebatang rokok yang terjepit di mulutku hampir habis. Lipstik sedikit luntur. Tiba-tiba dari arah jauh, seseorang mendatangiku. Wajahnya sangat kukenal. Tak asing lagi bagiku. Dengan postur tubuh yang pendek, berwajah gelap dan kepalanya pelontos. Aku tersadar ternyata ia lelaki kemarin.
“Akhirnya kau datang juga padaku.” teriakku.
Lelaki itu tersenyum, “Apa kau telah mempunyai kekasih?” aku menjawabnya dengan gelengan kepala, dan membalas senyumnya.
“Berarti calon suami pun tak punya?” ia kembali bertanya.
“Aku yakin kamulah suamiku!”
“Kalau begitu, aku akan melakukan kewajiban sebagai seorang suami sekarang juga.”
Lalu, aku dibawanya ke tempat sepi. Di bawah langit mendung, kami bergumul seperti sepasang suami istri. Kejadiannya begitu cepat. Setelah kami mengenakkan kembali pakaian, ia lantas melangkah pergi. Tampak terburu-buru. Aku pun mengejarnya. Setelah itu, ia menaiki sebuah kereta. Entah kemana.
Kemudian di menit yang sama, pada sebuah kereta yang lain, aku melihat seorang lelaki turun dari kereta. Wajahnya buruk rupa.


Cerpen Oleh : T.H. IHSAN, eksponen Sasaka

HU Haluan Padang, Minggu, 15 April 2012 00:54