Revenue

Jurnal SASAKA

Edisi Juni 2012

Haul to Chairil Anwar

Acara FAS (Forum Alternatif Sastra)

Komunitas Sasaka

Pungkit, Anto,Atep, Ema

Acara Godi Suwarna

Sedang menyimak

Diskusi

Kebersamaan tak lekang oleh waktuuuu

Dado dan Nira

MC Acara FAS

Pungkit, Ema dan Atep

kongko-kongko

Jurnal SASAKA

Coming Soon Edisi September 2012

Minggu, 26 Agustus 2012

Indonesia Mudik




MUDIK adalah ciri khas kebudayaan Indonesia. Buktinya, Alan M. Stevens dan A. Ed. Schmidgall-Tellings, penyusun A Comprehensive Indonesian-English Dictionary (2010), tidak menemukan padanan yang tepat buat istilah mudik. Mereka hanya dapat menerjemahkannya menjadi “go back to one’s native village at Lebaran”. Alhasil, dalam urusan mudik, kamus dwibahasa (yang mencari padanan kata) pun terpaksa menyerupai kamus ekabahasa (yang menerangkan arti kata).

Pemakaian istilahnya saja unik nian. Terbentuk dari kata dasar udik, istilah mudiksesungguhnya informal. Verba yang baku seharusnya mengudik, tapi kata bentukan demikian tidak pernah terdengar. Betapapun, istilah informal itu dipakai dalam rapat kabinet, digunakan dalam rumusan kebijakan serta program birokrasi pemerintahan, dan diolah dalam media jurnalistik. Dengan kata lain, gejala mudik memperlihatkan betapa kegiatan informal dapat menguras perhatian tatanan formal. Tanpa perang saudara atau bencana alam, seluruh tatanan transportasi Indonesia bisa dibikin hibuk selama dua pekan sehabis Lebaran. 

Mungkin itu sebabnya orang sulit mencari bandingan mudik di luar Indonesia. Dari segi besarannya, kafilah Idul Fitri ini kiranya hanya dapat dibandingkan dengan migrasi kolektif dalam novel klasik The Grapes of Wrath karya John Steinbeck. Tentu, kaitan cerita Amerika itu berbeda, yaitu terusirnya warga desa oleh industrialisasi pertanian, hingga mereka bergerak di jalan raya buat mencari tempat baru. Dengan kata lain, rakyat Steinbeck meninggalkan udik, sedangkan rakyat Indonesia kembali ke udik —setelah tersedot industrialisasi kehidupan di kota. 

Uniknya pula, kata udik itu sendiri sudah jarang dipakai dalam perbincangan sehari-hari. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), kata itu bisa berarti “daerah di hulu sungai” atau “dusun”. Sungai dahulu kala adalah jalan raya hari ini. Dulu, tatkala sungai masih menjadi jalur transportasi utama, orang Nusantara pergi ke hilir dan kembali ke udik. Dari situlah, rupanya, timbulnya ungkapan hilir-mudik alias mondar-mandir yang biasa digunakan buat melukiskan keadaan lalu lintas. Kata udik tak lagi sering digunakan karena orang Indonesia sudah lama mengabaikan sungai.

Perhatian Indonesia hari ini terarah ke jalan raya, bukan ke sungai. Buktinya, rumah-rumah di bantaran kali umumnya membelakangi kali itu sendiri. Kali dan sungai akhirnya dijadikan ruang belakang tempat banyak orang membuang sampah, kotoran, dan sebagainya. Adapun jalan raya kemudian dijadikan ruang depan tempat banyak orang mempertaruhkan karier dan harkat dirinya. Jejak-jejak peradaban sungai di negeri ini hanya dapat dirasakan pada istilah dan rutinitas mudik. Mereka yang mudik tak ubahnya dengan ikan salmon yang kembali ke hulu pada waktu-waktu tertentu.

Bagi kawanan ikan salmon, hulu sungai adalah tempat yang baik buat mati dan melaksanakan regenerasi. Bagi jutaan orang Indonesia, dusun atau desa adalah tempat yang baik buat memperlihatkan sikap berani mati setahun sekali. Tidak mustahil hidup para pemudik berakhir di jalur pantura Jawa atau di jurang kelokan empat puluh empat Sumatra. Sepeda motor adalah simbolnya yang menonjol. Pasukan kavaleri manapun, tampaknya, tidak dapat menandingi patriot bermotor dalam hal keberanian, kecepatan, daya angkut, dan jarak tempuhnya.

Patut dicatat bahwa salah satu destinasi terpenting bagi para pemberani itu adalah kuburan. Meski Persis atau Muhammadiyah barangkali tidak menyukainya, muslim pemudik pada umumnya menjadikan kunjungan ke kuburan sebagai kegiatan penting. Mereka merambih ke makam leluhur atau anggota keluarga lainnya. Di situ bunga rampai ditaburkan dan air jernih dikucurkan ke atas pusara, juga doa dipanjatkan. Lebaran mendapatkan salah satu simbolnya dalam semacam air setaman.

Di situ pun terlihat watak Indonesia. Jika Idul Fitri di negeri ini dapat ditafsirkan sebagai kesempatan reuni, patut dicatat bahwa reuni itu tidak hanya melibatkan orang-orang yang masih hidup, melainkan juga melibatkan orang-orang yang sudah mati. Si hidup dan si mati berkumpul lagi dalam suasana Idul Fitri. Leluhur dan kaum kerabat yang telah tiada seakan tidak benar-benar mati, melainkan tetap ikut mempengaruhi suasana hati dan gerak-gerik keluarga yang masih hidup.

Pentingnya orang-orang yang telah tiada dalam kehidupan orang Indonesia tergambarkan dalam The Potent Dead (2002) suntingan Henri Chambert-Loir dan Anthony Reid. Buku ini menyajikan sejumlah telaah mengenai aspek-aspek spiritual orang Indonesia, antara lain orang Jawa, Dayak, dan Bugis. “The potent dead, as this book demonstrates, are omnipresent in modern Indonesia,” tulis penyunting buku itu dalam bagian pendahuluan.

Demikianlah, melalui rutinitas mudik yang bersifat informal, dengan segala risikonya, orang Indonesia merealisasikan gerak batin ke tempat asal, ke lingkungan leluhur, di mana kebersamaan sepertinya diteguhkan kembali.***

Oleh Hawe Setiawan. Budayawan dan Kritikus Sastra.

Selasa, 10 Juli 2012

KISAH SI PERIANG 1

Mushtofa
Dari timur langit, matahari beranjak
Pada ketinggian yang paling mashur

Pada keramaian yang tak mengenal kata asing
Meski hanya dinyatakan lewat kebisuan

Di sana, di ruang pengembaraan burung-burung
Di mana angan-angan manusia telah bersayap
Dan menelanjangi dirinya dalam kebebasan

Kudengar hiruk pikuk para penghuni dusun
Menggotong sorak sorai kegembiraan yang fana

Melebihi kemasabodohan terik matahari
Yang menginjak-nginjak benak kepalaku

Hanya satu titik yang termaktub dalam kepala.
Engkau kekasihku, yang memulai kekhusuan baru
Dan memupus senja di jejak kenanganku
                                                                             
Tiba-tiba teriakan dewasamu
Bergema menembus perasaanku yang bimbang
Terhadap jendela kebijaksanaan malam
Yang harus aku lewati dari sini

Dari ruang waktu tak bertepi,
Yang menyimpan kisah kasih si periang
.
Maka kuingatlah pesan-pesan sang rembulan;.

Tentang penghuni malam sunyi.
Tentang penunggang mimpi-mimpi tak bersayap
Yang menjadi muasal peristiwa terhizabnya langit
.
Langit bagai laut, angin bagai ombak-ombak
Yang menghantam anganku bagai buih-buih

Rembulan kenanganku, maafkan aku
Yang menenggelamkan bayanganmu

Maka dingin air jamuanmu seolah langsung
Menusuki rongga-rongga selaput tubuhku

Aku ambruk dan terkubur dalam amuknya


 .
Tapi suara demi suaramu menyelinap lagi
Ke dalam jantung dan menjadi tungku-tungku
Yang menghangatkan dingin suka cita

Lalu yakinlah bumi untuk tidak memimpikan
Bintang-bintang. semalampun

Sang rembulan tersenyum,
Keramahanpun dirasakan bumi dan langit

Dari barat langit, matahari sembunyi dan bertapa
Pada kedalaman surga rembulan yang lebih mashur


2011


Musthofa Nayadirga. Lahir di Bandung. Mahasiswa Tafsir Hadits UIN SGD Bandung. Eksponen Komunitas Sasaka. Tukang puisi dan  penyembah wanita. 

Minggu, 08 Juli 2012

PANJALU SATU














Bila taqdir kematian pikiran yang tersimpan dalam keberadaanku ini 
Terhitung dengan seberapa banyak kuterlupa tentangmu     

Alangkah siksa-siksa yang paling menyakitkan ini, akan berupa sesuatu
Yang memutuskan perasaanku dengan perasaanku yang lainnya
Seumpama memenggal helaan napas satu
Dengan helaan yang lainnya, gila!

Seumpama kekeruhan dari sumber mata cahaya yang memerihkan mata;
kehilangan jejak-jejak dan isyarat-isyarat wujud asal muasal penciptaanku

Atau semungkin aroma-aroma dan kelezatan tuak tuak,yang tak mungkin
Kunikmati lewat bentuk kenangan yang rikuh sekalipun, maka

Kekhawatiranku ini tetap saja takan tenggelam dalam kepingan rasa
Yang tak bisa kau duga

Sampaikah pertemuan itu tiba, dan dijamu iring-iringan waktu yang janggal ?
Dengan sesajian sihir sayap sembilan puluh sembilan hati kelelawar dewasakah ?

Maka aku telah terbiasa dengan tumpukan catatan kelam perayaan-perayaan
Dan penguburan manusia-manusia prematur di kening terhitamku

Ah pikiranku, mungkin kau adalah sayap-sayap samar atau jembatan-jembatan gelap,

Tapi, hari ini aku ingin mengajakmu untuk menepi pada satu jazirah
Yang tersimpan di nadiku, maka akankah ungkapan kerinduan ini
Membuat binatang-binatang malam cemburu dan tersinggung karenanya,

 lalu dengan upacara apa kuwujudkan semunya itu mengelilingiku bagai ikan-ikan?

Setelah ini kuharap malaikat-malaikat air akan menanggalkan pakaian kepanaanku
Dan mengubur pandanganku untuk buta terhadap gurun-gurun pikiran yang gersang

Sebagaimana waktu menerjemahkan tubuh gerimis di antara lekukan lembah-lembah
Sebagaimana kekhusuan ditelanjangi pembakaran kemenyan
Yang dijilati lidah-lidah istirahmu

Memburu sesuatu yang ajaib dari kaburnya khusu terhadapmu,
Adalah jeram-jeram penantian dan singasana yang terbuat dari liang lahat menganga,
Ah lempung dan tanah yang merah
Seperti kujang-kujang tanpa sarung, yang siap menusuk kecemasan panas deritaku

Maka siapa yang akan kedinginan dalam cuaca panas yang runcing,
Jawablah olehmu sendiri !

Maka siapa yang akan kebisingan dalam kesunyian yang lengkap
Jawablah olehmu sendiri !

Wahai manusia pencipta tanya dan pencari kedamaian yang bijak !

Karena mata air keyakinan ini takan terbit di antara ruas keheningan yang ringkas
Karena suasana yang lebih ajaib ini takan terjalin di setiap sudut kesanggupan
Jiwa yang kerdil

Seandainya kemesraan pagi bukan tangan kemurahan alam
Yang bisa menutup sakitnya cuaca malam
Dan kecemasan cuaca malam bukan telapak pembebas Keaiban
Dosa-dosa cuaca siang yang gerah

Tentu kenistaan manusia akan mudah ditentukan dengan lentik telunjuk langit
Yang memihak kemujuran nasib dan memihak keberpihakan objek pikir yang pana !

Lalu apa yang terjadi atas rindu yang dikepung dan digelayuti jutaan kesabaran?

Mungkin seumpama pergantian malam dan siang hari
Yang tercipta dengan benih-benih cinta yang terbelah,
Tapi semestinya di situlah persemaian kesabaran tumbuh bertunas,
Tapi semestinya dari situlah pucuk-pucuk rasa sukur bermunculan

Lantas telaga apakah yang bisa mengubah lidahku tetap lembab dan terlipat ?
Bahkan keterpakuan norma-norma apakah yang mampu menjamu pernikahan malam
Dan tersibaknya mushap-mushap di angkasa, memberkatiku

Dari sabtu yang tak bisa kupanggul; dari negeri asalku,
Aku kembali mendekati negeri ajaliku,
Dengan dua lambaian tangan purba dan jerit perahu-perahu yang ramping,
Dalam sayap-sayap kasar yang tergantung di ranting-ranting pohon masa lalu

O, raja manusia, o raja yang menguasai masa lalu dan kekinianku,adipati-adipati
Pemilik hukum dan kebijakan, o, para aulia yang bersembunyi mengintipku,
Dekaplah aku

Bekalilah aku kehebatan hati, jiwa dan desauan ruhmu
Untuk mengecap setiap rasa cahaya yang tersimpan dalam tapa brata jiwa telaga
Dalam nama-nama rindu baru yang terlindung,
Dalam pesanggrahan kramat yang ma'rifat

Kamar-kamar pengap ini, kuburan-kuburan tua ini,
Adalah bidak-bidak perahu waktuku yang oleng

Maka perjalanan singkat ini harus kuawali dan kuakhiri
Pada jenjang tubuh halus alam-alam kebendaanmu

Seperti ruang dunia yang tak siap aku masuki,
Ah kau yang tergopoh-gopoh dan berkalbu retak
Yang akhirnya hanya kau sendirilah yang akan menuai martir penyesalanmu

;Mungkin adalah birahi matahari yang lebih tua
 Atau mungkin sifat rembulan yang pesolek

Tapi adalah hawa yang kau jadikan tuhanmu
Hanyalah bongkahan sahwat yang sesaat lagi terkulai !

Maka bila nasib mujur merangkulmu,
Apa yang akan kau tanam sehabis waktu menggilingmu,ah

Kecuali pohon-pohon permintaan dan buah-buah jatuh, prasangka
Seburuk kotoran saja yang selalu kau bawa di lambungmu !

Anjing-anjing menjilat babi, Babi-babi menghasut buaya,
Buaya-buaya merayu anjing dan anjing-anjingpun mengendus Ke arahku !
Kelelawar tanpa mata ! jangan kembali pada pagi

Maka hanyalah jantungmu,sumber napas rohani dan tetesan jiwa
Kedasyatan zam-zam yang melimpah, semuanya ke mataku saja !

Tak sanggup kata-kataku mengangkat mutiara merah dan marjan
Yang tersembunyi di balik dadamu
Tak mampu tulisan-tulisanku memangkas seluruh hutan-hutan perawan
Yang tertanam di atas pahamu
Tapi berhentilah menangisi cinta yang kau tinggalkan

Karna bentangan jalan-jalan ini adalah tempat yang akan mempertemukan
Dua laut kesakitan hati, untukmu, dengarlah telagaku,
Untukmu dengarlah lautku
Dengarlah! wahai jiwa yang bersemayam dalam darah merahku

Debu-debu rumah waktuku adalah engkau
Yang menyelimuti sela-sela tubuh nusa dermagaku

Gema-gema gemerincing tombak ini adalah engkau
Yang merawat jari kelingking dan jamrud ingatanku

Adalah kesaksian pesangerahan nusa dan keharuan air mataku yang tak lazim,
;Kampungku, kenapa kau sembunyikan keyakinanmu dalam simbol-simbol
Iman yang ditunggangi budaya dan mitos-mitos

Di mana keindahan kharisma parasmu seperti dipertaruhkan
Dengan wajah-wajah tua yang rawan

Mungkin kekosongan adalah riak sejati telaga ini,
Karena adalah kita; yang tak lebih suci dan berisi
Dari helaian riak-riak telaga dan lelehan lumpur yang dijilatinya

Embun-embun pikiran tetap bertapa dan merahasiakan harta-harta misteri
Dari kelezatan setetes kesabaran, Keheningan mengalir dan merampas
Topeng-topeng dunia dari wajah-wajah molek manusia

Adalah hakekat telaga Yang harus kuterjemahkan lagi di kemudian hari

Seperti engkau yang mengalir ke jantungku,
Engkau setitik mata air zam-zam yang kuibaratkan
Sebagai ruh bagi kehadiran lautan dan ikan-ikan yang menghindari
Jaring-jaring dosaku

Atau justru engkaulah setitik nila yang kan kujadikan cermin
Sekaligus tiang penyangga dan tujuanku, tapi tetaplah bertapa
Sebelum kau keluarkan kata-kata apapun dari lidah pualammu

Balairung yang kecoklatan, dermaga nusa yang tersenyum semanis dewi-dewi
Iris-irisan riak ombak kecil dan senja hari yang mengalun bagai gamelan
Yang tersusun dan hadir melebihi perjalanan yang kurencanakan

Tapi nyanyikanlah kidung-kidung bathin ini
sepenuh angin yang membelah malam
Agar dingin hari tidak menjadi perniagaan gelap
Yang membandingkan cahaya matamu dengan kesementaraan

Lihat tanah-tanah penjelajahan telah terbakar udara panas
Dan janggutku yang terbakar ! tapi biarlah orang-orang tetap berangkat
Untuk membicarakan apa yang tak kuimani !

Dari sepertiga usia sayapku mimpi-mimpi telah merebut jejak kakiku untuk bumi
Dari sepertiga usiaku ternyata bumipun hanya mencemburui
Sayap-sayap kecil pinjamanku

Perahu-perahu yang melukis dermaga dan dermaga yang menjemput gelombang
Berputar-putar bagai baling-baling, upacara nyangku yang sumringah dalam hening
Diabadikan sebuah tangis dewasa dan pagi yang tiba menghampiri matamu

Dan harapan-harapan baru ditandai sepenuh napas layar-layar yang menunggumu

Perahu yang tak usai berkembang, nusa yang ringkih tersenyum
Apakah semua ini pirasat-pirasat yang memanggilku tadi malam ?

Tapi aku dan burung-burung malam,akan menggali kuburan sendiri
Dalam aroma mistik tanah ini

Sebatang telaga hijau, auman harimau, setangkai arus kekosongan
Yang melayang bersama sayap kelelawar sunyi
Tampak semakin berderu seperti kumparan remang-remang ingatanku
Yang dibentur batu-batu, seperti gemuruh gema langkahmu,
Yang mempercepat kehancuran rawannya waktu,

Lalu karamlah keniscayaan ini dari kebutaanku

Dari rintangan yang telah kita pangkas dan jalan-jalan baru yang melambai
Kelegaan mengiringi lembaran cuaca

Untuk maghrib terakhir yang telah mengilhami telaga dan hutan-hutan ini

Di pinggir jalan-jalan masa laluku Kehampaan menelanjangi dirinya sendiri
Dan kabarmu menjajakan separuh bentuk Usia angin yang tak sempat kujelajahi

Mungkin pada jalan lengang dingin inilah waktu dan angin
Akan menyembunyikan tubuhnya padamu

Pada batas-batas rasa antara telaga dan laut pengetahuan
Pada Batas-batas antara sukacita dan dukacita, napsu
Yang seringkali menyerupai bayangan yang paling kelabu

Tak terasa waktu terjulur Pada ketakpastian bayangannya
Kenangan menjadi celah Yang robek tertancap tombak-tombak cahaya

Ingatanku mengambang di angkasa rasa perihku yang mengalir ke muara
Menciptakan negeri-negeri pikiran biru yang kemerahan

Apa yang telah kuberikan padamu ternyata itulah kesombonganku
Apa yang pernah kuraih darimu Ternyata itulah jalan keputus asaanku

Bila berkah orang-orang suci selalu dikibarkan dari tempat yang lebih tinggi

Maka perumpamaan lain dari genangan baru atau telaga
Yang tak bisa menggenangi tempat itu
Adalah perumpamaan kesombongan yang tak bisa disentuh kerendahan cahaya

Tetapi bila berkah orang-orang suci dinyalakan dari tempat-tempat
Yang lebih gelap, maka alasan untuk membenci orang-orang
Yang kita anggap Lebih kotor

Adalah alasan yang dinyalakan kebodohan !


2012

Ilafat Salamandra lahir di Panjalu  15 Sya'ban tahun Kalong. Minat Seni Rupa dan Ulin ka Laut Cibeureum.

Senin, 11 Juni 2012

OMBAK YANG MELINTAS DAN ANAK-ANAK YANG BERLARI

1

Kota yang berdenyut, melintasi batas kelelahan manusia.
Lampu-lampu menyeruak ke seluruh koridor dan trotoar
seakan membakar jasadku!
Tak ada denyut terakhir selain denyut jantung beton
yang telah memuai di pusara kota ini. Kesadaranmu
barangkali hanya kepada seorang gadis tuli tanpa ibu.
Dari jemarinya aku tahu betapa kokohnya sebuah bahasa.
Diam-diam, dadaku menyimpan ombak biru
gelombang pembawa pesan dari luasnya kenyataan laut.
Kutukan bagi siapapun yang melubangi tanah ini dengan peradaban
yang tak mungkin menyisakan terumbu karang
mahkota masa depan anak-anakku.

Aku telah mengira: tak mudah mencapai langit
membangun sebuah kota cahaya. Namun aku tak lebih dari manusia.
Setelah semuanya terjadi, dimulai dari lampu-lampu yang menyeruak
seperti menggodaku untuk menghabiskan samudra atau memeras matahari.
Mungkin aku tak sadar bahwa kota ini tak hanya untuk kepuasanku
terbahak-bahak di bawah lelahnya matahari. Ada beberapa orang
yang harus kupertahankan demi sebuah hasrat yang telah dilepas
ke udara. Namun, keuntungan apa yang didapat
saat sejarah nenek moyangku terhanyut bersama samudra?
Barangkali kota itu tak menerima anak tuli yang menggunakan  sepuluh jarin
untuk mengatakan bahwa yang berani berdiri
dan mencakar siapapun akan kembali abadi di laut ini.
Laut yang telah menghanyutkan ibu dan aku.

Gadis itu berpura-pura tak tahu kenapa jasad ibunya membeku.
Kenapa ia rela berbagi tubuh pada gemerlap kota selama 301 hari.
Gadis itu menyebut apa yang telah kau lakukan pada kota ini
sehingga sesajen waktu, pasir laut selatan, atau segala macam ritual
dengan sisa darah yang menjelma segala bentuk balung menjauh.
Barangkali, mimpiku lari-lari, tanpa memperdulikan desah kota
yang hanya akan meninggalkan sebuah ingatan.


2

Di ketukan ketiga, pintu terbuka.

Hanya angin
matahari larut
bagimu, laki-laki.

Seorang lelaki tua memikul matahari, menuju hutan batu.
Selatan Maroko tergambar jelas pada wajah tandusnya
negeri yang masih menyisakan keluarga gembala
di antara bukit-bukit yang melepuh. Lelaki tandus itu
bercerita tentang punggungnya yang dijumpai orang asia
menghadiahi 299 magasin. Ayah gembala menawarnya
dengan seekor kambing dan 501 dirham, meminta hadiah itu
menjaga kutukan hutan untuk daging-daging keluarganya.
Dengan memperlihatkan sisa gigi si lelaki tandus
menunggu mereka menyulap tawaran kambing itu
menjadi 500 dirham. Namun di luar, pada batu
dia bersepakat mengangkat kembali matahari.

Tiga magasin berebut batu dengan angin.

Apa yang memberkatimu
selain doa dan matahari?

Magasin-magasin dan taman kambing itu menumpuk
di atas kepala anak tertua gembala, menghantam batu-batu dan bukit.
Ya, yang tua selalu ingin pertama. Namun di situ, batulah
yang menentukan anak gembala muda sebagai pejinak magasin
pelubang angin. Ayah gembala tak pernah tahu kata apa
yang pantas bagi anak-anaknya. Lelaki tandus itu
menaruh kembali magasin dengan bijaksana.

Kata apa yang mampu mengikat
semua yang terlihat?

Di samping rumah batu yang lain, tempat ayah gembala
menyimpan iba dari perawan hutan. Anak tertua gembala
membuka pagar kambing, mengeluarkan daging keluarganya
untuk diawetkan di atas hutan. Inilah pekerjaan anak gembala
penakluk matahari. Namun, yang muda selalu liar:
si penjinak angin ini melepas hasrat ke udara
melewati celah batu. Di balik penyimpanan iba
perawan hutan membiarkan pejinak angin itu
menikmati cokelat tubuh dan sepasang klakson
yang menandai aba-aba bagi matahari
barangkali nantinya menerkam keluarga gembala.
O, sanjunglah penguasa hutan ini: anak tertua gembala
menggusur matahari dari tengkuk adiknya.

Ribuan kambing, seperti meleleh di bibir tebing.

Perempuan adalah bentuk liar
dari matahari.

Kutukan hutan yang mengendus daging-daging itu
dan si penjinak angin tak bisa menusukkan magasin
pada bulu-bulu kutukan itu. Kokang dilepas
tak ada yang tewas. Si pejinak angin malas
dan menggerutu, menghampiri kaki batu
duduk dan menunggu tiga unta di telan bukit
memijat senapan lelaki dan paha kananya
dengan nafas bertalu-talu.

Kedua anak itu memainkan matahari
sayap-sayap api.

Anak gembala selalu tahu
kebenaran manusia sejati
penakluk matahari.

Anak tertua gembala merasa dadanya seluas jidat kambing
bangkit dan sekali lagi menusukkan magasin pada bukit-bukit
membuat kepul, mengotori telinga si pejinak angin yang bergegas
ke arah kakaknya dengan nafas lebih tertahan. Si pejinak angin
merebut kebodohan kakaknya, menggerakan batu di bukit itu.
Namun, anak tertua gembala tak mengakui jika kebodohannya
sepanjang 31 kilometer. Di tempat yang lebih tinggi
dia meminta adiknya menggaris kebodohannya itu di kaki bukit
dan membiarkannya bercampur dengan butiran pasir.
Anak tertua gembala berdiri lebih tinggi;
magasin terlihat ditelan angin; tak menjerit.
Si pejinak angin murung, tubuhnya sekecil kotoran kambing.

Kedua anak dan ribuan kambing itu
seperti lahar pasir menuju rumah batu.

Tak ada manusia yang sudi lari
kecuali saat dirinya pencuri.

Ibu gembala dan perawan hutan datang
menanyakan kenapa daging-daging itu lebih cepat dibawa pulang.
Ibu gembala itu menyuruh mencuci kemalasan mereka sendiri
dan kembali membawa daging-dagingnya ke bukit itu.
Tapi apa yang lebih kuat dari ketakutan manusia meskipun
menghadapi ibu mereka? Ibu gembala, dengan tatapan
kepada pejinak angin di antara sepasang hitam mata
anak tertua gembala, yang masih meninggalkan senapan lelaki
di kaki batu, di bukit itu.

Memungut sisa hari-hari
menghitung langkah ayah gembala.
Langit, tak lagi menyala.

Kemalangan selalu singgah
pada ketakutan dan retak tanah.

Di depan tungku, keluarga itu melahap daging di nampan
ayah gembala dengan perjalannya yang dihadang berita
tentang darah seorang wanita. Serigala-serigala Maroko
menanyai apakah mereka adalah pemilik magasin itu.
Di sudut kiri, anak tertua gembala menatap pejinak angin.

Anak-anak lari di shubuh hari, membawa magasin utara.

Hanya angin
jejak terlupakan
jejak laki-laki.


3

Manusia selatan pesisir, memadamkan mimpi-mimpi
yang tak pernah berakhir. Mengusir api di kepalaku
dengan butiran pasir mampu meneggelamkan segala kemegahannya
hadiah dari laut yang lain. Ombak, ombak yang mencakar
ketika angin membuka tutupnya tepat di mungil tanganku.
Sebab kita sedang di lautan pasir yang segalanya
harus melewati dahaga, menyisakan matahari di ubun-ubun.

Di laut itu, aku menemukan perempuan-permpuan
yang tubuhnya dibungkus kain hitam. Tak ada bentuk payudara
atau bokong yang menyembul selain sepasang mata
yang mengawasi pasir-pasir di antara kedua kakinya yang tenggelam.
Aku mengira, mereka mirip seragam malaikat kematian.
Namun di laut itu, hitam menandai malam yang tak pernah terbakar
oleh matahari. Dan malam adalah di mana para kekasih menasbihkan
syair yang merindukan cahaya demi membuka kehidupan manusia
ketika segalanya nampak lelap; sejak matahari membakar seluruh api
dalam dada mereka. Dan hitam membungkus mataku
perlahan-lahan. Kupikir itu adalah kematian
menjadi sebuah peluru yang kini menembus bahuku!

Tiba-tiba, aku ingin melempar ketakutan dan membiarkannya rata
dengan butiran pasir, namun aku tak pernah tahu apa yang akan dibawa
oleh angin selatan. Jika saja keinginan manusia dibatasi
mungkin aku tahu kapan laut akan menghampiri negeriku.
Dan inilah yang kusaksikan: ombak selalu jadi nafas yang tak pernah
terampas, meskipun kucuri penghuninya berkali-kali.
Tapi di daratan, aku masih saja ketakutan dengan darah
yang meloncat-loncat dari bahuku, padahal inilah rencanamu
inilah hijrah pertamaku. Oh, sebenarnya apa yang kuinginkan?

Kerandaku telah sampai pada sebuah desa, yang sebenarnya di situ
aku semakin dilema tentang warna-warna. Adakah kematian
yang memberiku cerutu pelarut luka sampai aku tak lagi mengingat
apa yang kutakutkan? Di paru-paruku kini telah ada doa-doa
yang sebenarnya. Barangkali malaikatku yang sedari awal
termangu menatap lelapku, seperti ada kemiripan
dengan ibu gadis itu, yang tertidur dan tak pernah bangun lagi.


4

Anak-anak selalu penghias utama alamku.
Apa yang kupertahankan kini bukanlah benda-benda
yang mengkilap. Merah pipi mereka melebihi mutiara
kerang lautan. Segalanya menjadi nyata ketika aku sadar
ada lubang-lubang selain mulutku yang harus dipenuhi.
Apapun yang membuat mereka mengeluarkan air laut
dari matanya akan melukaiku seraya mengatakan
bahwa tak ada lagi yang berani mengotori matanya
selama aku memeluknya. Entah cinta atau diriku terlalu lama
bersama mereka dan merasa bahwa ada sesosok manusia kecil
yang keluar dari igaku dengan tangan meronta-ronta
seakan-akan milikku sepenuhnya. Inilah firman Tuhan paling indah
dari tangisan pertamanya, dan mampua melupakan siapa
yang harus membayar kadatangannya: kematiankukah?

Namun semakin lama tangisan itu memudar oleh matahari
yang selama ini menemaniku mencari apa yang akan membuatku
bertahan lebih lama dari kematian. Aku pun mengira kota cahaya itu
akan tumbuh sebesar alamku, tak ada lagi kekhawatiran.
Tak ada lagi mimpi-mimpimu itu. Ambisi hanya berdenyut
melintasi batas kelelahanku. Melintasi rumah batu yang lain.



2011

Galah Denawa. Lahir di Sukabumi, bersenang -senang di Bandung.

Sabtu, 09 Juni 2012

SASTRA TRANSFORMATIF - TRANSENDENTAL


Emha Ainun Najib pernah menyatakan bahwa karya-karya Kuntowijoyo, setelah ia sembuh dari sakit, merepresentasikan kematangan dan kedalaman. Karya-karyanya lebih bersifat kontemplatif dan reflektif. Bagi Emha, saat-saat Kunto dirundung sakit adalah seperti masa tapa, saat berkepompong, dan setelah sembuh, Kunto menjelma menjadi seekor kupu-kupu. Tetapi, bila kita melihat cerpen terbarunya yang berjudul “Jl Kembang Setaman, Jl Kembang Boreh, Jl. Kembang Desa, Jl Kembang Api”, maka lontaran pernyataan Emha itu tidak tepat jika dialamatkan kepada Kuntowijoyo. Karya terbarunya itu (Kompas, 28 April 2002), justru memproklamirkan kembalinya Kunto ke gaya penulisannnya di tahun 70 ssmpai tahun 80-an—saat-saat ketika ia menghasilkan kumpulan cerpennya, “Dilarang Mencintai Bunga-bunga,” atau kumpulan puisinya yang berjudul “Suluk Awang Uwung.” Cerpennya yang paling mutakhir itu saya anggap sebagai titik kembalinya Kuntowijoyo kepada paradigma transendentalnya yang selama ini ia perjuangkan. Sedangkan karyanya sebelum itu, misalnya novel yang berjudul “Mantra Pejinak Ular,” justru saya anggap sebagai anomali dari jalur kreatif Kunto. Dalam novel itu, Kunto cenderung lebih verbal dan lebih “hijau” ketika menyuarakan nilai-nilai transendentalnya. Memang ia masih memadukan—juga mempertentangkan—nilai-nilai tradisi dan modernitas, tetapi “kematangan” sebagaimana yang diungkapkan Emha, tidak kita temukan. 
Memang, sejak awal Kuntowijoyo berusaha untuk melesakkan nilai-nilai transendental dalam setiap karyanya, baik yang fiksi maupun non fiksi. Transendentalisme telah menjadi paradigma kreatifnya. Ia misalnya menulis dalam sebuah makalah bahwa saat ini, “kita memerlukan sebuah ‘sastra transendental’”. Kunto mengemukakan gagasannya itu karena melihat bahwa “aktualitas tidak dicetak oleh roh kita, tetapi dikemas oleh pabrik, birokrasi, kelas sosial, dan kekua-saan, sehingga kita tidak menemukan wajah kita yang otentik. Kita terikat pada yang semata-mata kongkret dan empiris yang dapat ditangkap oleh indera kita. Kesaksian kita kepada aktualitas dan sastra adalah sebuah kesaksian – jadi sangat terbatas. Maka pertama-tama kita harus membebaskan diri kita dari aktualitas, dan kedua, membebaskan diri kita dari peralatan inderawi”. (DKJ, 1984: 154). Tujuan dari sastra trensendental yang dikemukakan Kunto adalah humanisasi.
Tujuan dari sastra transendental itu akan lebih jelas kita pahami apabila kita melihat juga paradigma ilmu sosial yang ditawarkan Kunto. Dalam bukunya Paradigma Islam, Kunto menggagas suatu paradigma ilmu sosial yang berdasarkan pada nilai-nilai religi. Dia mengatakan bahwa, “kita membutuhkan ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tapi mengubah berdasarkan cita-cita dan etik dan profetik tertentu.” (Kuntowijoyo, 1993: 288).
Secara garis besar ada tiga tahapan yang diperkenalkan dalam ilmu sosial profetik, humanisasi/emansipasi, liberasi dan transendensi. Bagi Kunto, humanisasi dan luberasi tidak bisa dipisahkan dari transendensi. Keduanya harus mengarah pada nilai tansendental. (Kuntowijoyo, 1993: 338).
Dari gagasannya tentang sastra transendental serta ilmu sosial profetik, kita bisa membaca bahwa Kunto mengangankan terwujudnya sebuah sastra transformatif yang transendental. Transformatif dalam arti bahwa sastra dijadikan sebagai unsur pengubah dalam masyarakat. Dan transendental berarti bahwa perubahan yang terjadi dalam masyarakat mengarah pada perwujudan nilai-nilai transendensi. Jadi, melihat dari paradigma ilmu sosial dan karya-karya sastra yang dihasilkannya, Kunto tidak hanya mengangankan terwujudnya sebuah sastra yang transendental, tetapi lebih dari itu ia juga harus bersifat transformatif.
Kunto berupaya untuk mewujudkan gagasannya itu lewat karya sastra. Dalam beberapa cerpennya kita bisa melihat konsistensi Kuntowijoyo. Sebagian besar dari karyanya merupakan perwujudan dari keinginannya untuk membebaskan manusia dari kungkungan benda-benda, dogma-dogma, ideologi dan dari pseudo-spiritual. Tulisan ini akan mencoba menelusuri jejak-jejak strukturalisme transendental yang digagas oleh Kuntowijoyo dalam karya-karya fiksinya.

Kritik atas Manusia Modern
            Herbert Marcuse, seorang filsuf mazhab Frankfurt, mengemukakan bahwa manusia modern telah kehilangan dimensi spiritualnya. Yang tinggal dari manusia modern hanyalah dimensi material. Oleh sebab itu Marcuse menjuluki manusia modern sebagai manusia satu dimensi (one dimentional man). Dalam bahasa Kunto, manusia menjadi elemen yang mati dalam proses produksi. Modernitas telah memperbudak manusia sekedar menjadi otomat dari proses produksi. (Kuntowijoyo, 1993: 161).
            Pandangan-pandangan Kunto tentang manusia modern jelas tergambar dalam cerpen-cerpen yang terdapat dalam kumpulan Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (selanjutnya ditulis DMB). Cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”, menggambarkan adanya pertentangan antara dimensi material dan dimensi transendental. Tokoh ayah dalam cerpen itu merupakan tipikal khas manusia modern. Ia seorang pekerja keras. Seluruh hidupnya hanya untuk kerja. Wujud pertentangan antara material dan transendental bisa kita lihat lewat pandangan si anak tentang ayahnya, “Aku mulai segan bertemu dengan ayah…..pasti ayah akan datang dengan baju bergemuk. Kotor, seluruh badan berlumur minyak hitam. (DMB:10). Ketika sang anak ditanya tentang gunanya tangan dan si anak tidak menjawab, tokoh ayah menjawabnya sendiri, “Untuk kerja! Engkau laki-laki. Engkau seorang laki-laki. Engkau mesti kerja. Engkau bukan iblis atau malaikat, buyung…cuci tanganmu untuk kotor kembali oleh kerja.” (DMB:12). Semuanya untuk kerja. Persis seperti yang digambarkan dalam cerpen “Kuda itu Seperti Manusia Juga”, dalam kumpulan cerpen terbarunya. Manusia tak ubahnya seperti kuda, yang nilai gunanya hanya untuk diperas tenaganya. Tokoh ayah dalam DMB memandang kesempurnaan hidup bisa didapatkan dalam kerja. (DMB: 21).
            Melalui cerpen ini Kunto ingin mengemukakan bahwa hidup tidak hanya untuk kerja. Energi kehidupan ini tak bisa dihabiskan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi. Hidup juga membutuhkan ketenangan batin. Tak ada yang lebih baik dari ketenangan jiwa. (DMB:12). Tokoh kakek, dalam cerpen ini, membedakan antara manusia satu dimensi dengan manusia berdimensi ganda. “Di luar matahari membakar. Hilir mudik kendaraan. Orang berjalan ke sana-ke mari memburu waktu. Pabrik-pabrik berdentang. Mesin berputar. Di pasar, orang bertentang tentang harga. Mereka semua menipu diri sendiri. hidup ditemukan dalam ketanangan. Bukan dalam hiruk pikuk dunia.” (hlm. 12).
Tapi bagi Kunto, seorang anak kecil tetaplah anak kecil. Ia tidak bisa dipaksa untuk menjadi dewasa. Menjadi bijak. Ia boleh saja bersikap bijak. Tapi seorang anak harus tetap memiliki kepolosan, kesucian, bahkan dunianya adalah dunia main-main. Dunia khayal dan imajinasi. Kita akan ikut tersenyum ketika Kunto menggambarkan tokoh anak tersenyum reflektif melihat teman-temannya bermain layang-layang. Atau, kita akan merasa heran. Keheranan, bahkan mungkin marah akan timbul ketika kita menjadi seorang ibu dan si kecil kita bertanya, “Ibu, katakanlah. Apa yang lebih baik dari ketenangan jiwa dan keteguhan batin?” (DMB:14). Tampak sekai bahwa Kunto sangat memahami dunia anak-anak. Dan ia ingin membiarkan seorang anak tetap menjadi anak-anak. Maka, Kunto menutup ceritanya dengan gumaman sang anak: “Bagaimanapun, aku adalah anak dari ayah dan ibuku.” (DMB:22).
Pertentangan antara hiruk pikuk dunia dan ketenangan jiwa, dapat kita lihat juga dalam cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon.” Kunto mengawali cerpennya dengan menggambarkan situasi sebuah pasar. Ketika kembali membaca cerpen itu, penulis teringat esai Goenawan Mohamad, “Zarathustra di Tengah Pasar”. Dalam tulisan itu ia mengatakan bahwa pasar merupakan sebuah tempat di mana kesendirian sebenarnya justru hadir: kebersamaan yang semu, perjumpaan yang sementara dan hanya berlangsung di permukaan. Model sebuah pasar adalah tempat di mana orang di dekat kita adalah pesaing kita. Di dalam pasar, rasa iri bukan hal yang salah, rakus bisa jadi bagus, dan keduanya dilembagakan dalam sebuah sistem. (Kalam, No.7, 1996: 110). Heterogenitas yang ada di pasar bermuara pada satu tujuan: uang/materi. Kondisi semacam itulah yang ingin dikritik Kunto lewat cerpennya. Kondisi masyarakat satu dimensi.
Masyarakat semacam itu telah kehilangan satu hal yang sangat berharga: ketenangan dan ketentraman batin; spiritualitas. Ketentraman batin digambarkan oleh Kunto melalui persahabatan dua manusia, satu muda, satunya lagi tua. Kepolosaan dan kebijakan. Keduanya disatukan oleh kebahagiaan yang didapatkan dalam aktivitas bermain. Pemilihan judul “Burung Kecil Bersarang di Pohon”, menunjukkan bahwa inti dari jalinan peristiwa dalam cerpen ini terdapat dalam aktivitas bermain yang dilakukan oleh dua orang berbeda usia.
Ada beberapa kesamaan antara DMB dengan BKBdP. Masing-masing keduanya mempertentangkan antara hiruk pikuk dunia dan ketenangan jiwa. Dalam DMB Kunto menggunakan metafor bunga dan anak kecil untuk menggambarkan ketenangan jiwa. Dan dalam BKBdP, Kunto memilih burung kecil dan anak kecil serta aktivitas bermainnya.
Bermain, bagi Huizinga, merupakan unsur konstitutif dalam eksistensi manusia dan mencirikan siapa manusia itu sesungguhnya. Dalam kata pengantar bukunya, Homo Ludens, Fungsi dan Hakikat Permainan dalam Budaya, Prof. J. Huizinga mengatakan, julukan baru untuk manusia sebagai homo ludens (manusia bermain) sudah selayaknya perlu mendapatkan perhatian yang sama dengan sebutan-sebutan lain untuk manusia yang sudah ada sebelumnya.
Manusia suka bermain. Sebab bermain merupakan satu kegiatan yang khas manusiawi yang sifatnya universal. Dalam permainan, orang boleh—bahkan sering kali malah diharuskan—membangun sebuah dunia rekaan baru yang lain sama sekali dari kenyataan sehari-hari. Dengan demikian orang seakan harus pindah beralih dari kenyataan yang faktual ada menuju pada sebuah dunia lain yang bisa menjadikan sesuatu, seperti misalnya, kepuasan batin. (Mathias Haryadi, Basis, September, 1995: 338). Dalam cerpen BKBdP, tokoh mahaguru menemukan kepuasan batin, ketenangan dan ketentraman jiwa yang merupakan inti spiritualitas dalam aktivitas bermainnya bersama anak kecil.

Kesadaran Kolektif vs. Kesadaran Individu
            Modernitas, melalui proyek industrialisasinya, di samping telah memberikan berbagai kemudahan bagi manusia, juga telah menjebak manusia dalam budaya pop (mass culture). Budaya massa merupakan akibat dari proses massifikasi. Ini disebabkan karena dalam sektor budaya terjadi industrialisasi dan komersialisasi. Persis seperti yang diungkapkan oleh Kierkegaard di awal tulisan ini. Manusia modern telah menjelma menjadi manusia massa. Massifikasi dan kolektivisme menjadi hantu-hantu yang memusnahkan ketunggalan kepribadian manusia (Fuad Hassan, 1992:28.)
Dalam masyarakat modern, masyarakat komoditas, bagi Baudrilard, dorongan konsumsi bukanlah terutama kenikmatan atau kegunaan, melainkan keinginan untuk mengambil dan memamerkan “nilai tanda”. (Kalam, No. 7, 1996: 113). Massifikasi tidak hanya berpengaruh pada dimensi fisik-material saja, tapi juga berdampak pada pembentukan kesadaran massa. seseorang membeli sesuatu bukan karena membutuhkannya, tapi ia menginginkan citra yang sama dengan orang lain. Yang dia beli bukanlah nilai guna, tapi nilai citra (image value).
            Kuntowijoyo mengajukan dua cara yang bisa ditempuh untuk mengatasi massifikasi, yaitu dengan (1) privatisasi dan (2) spiritualitas. (Subandi, 1997: 55). Kesadaran kolektif, bagi Kunto, selalu tidak mewakili kesadaran pribadi. Kekuatan-kekuatan yang tak terlawan memaksa kita meninggalkan fitrah. Hanya pribadi yang mempunyai roh. Rohlah yang tidak terikat oleh aktualitas, dan merupakan potensi yang memerdekakan. (DKJ, 1984: 155).
            Pentingnya kesadaran pribadi untuk menghadapi massifikasi, di antaranya digambarkan Kunto dalam cerpen “Serikat Laki-laki Tua”. Cerpen itu menampilkan sosok Kojar yang bersikeras menolak kemauan teman-temannya yang lain untuk bersam-sama memakai topi. Tokoh Kojar berkata, “Aku hanya membela hak-hakku sebagai manusia merdeka. Persetan apakah kalian menuduh ini individualisme. Persetan istilah demagogi itu…” (DMB:107). Atau dalam bagian lain, Kunto menulis bahwa tidak baik mengikuti seseorang yang berjalan di depan kita, sedangkan kita tidak tahu hendak kemana dia. (DMB:108).

Pembebasan Diri dari Realitas Semu
Kesadaran kolektif akibat massifikasi yang menjadi konsekuensi modernitas secara tak langsung telah mempengaruhi sikap manusia dalam memandang sesuatu. Manusia cenderung merasa cukup melihat sesuatu hanya pada tataran artifisialnya. Cara pandang seperti itu bisa kita lihat dalam cerpen “Anjing”. Tokoh tetangga kami digambarkan sebagai seorang laki-laki yang hanya melihat perempuan dari sisi luarnya saja (artificial). Apa yang diperbuat oleh laki-laki tersebut mewakili nafsu yang menggebu. Kunto menyimbolkan nafsu itu dengan anjing—anjing sebagai simbol nafsu dapat kita lihat juga dalam cerpen-cerpen Kunto yang lain seperti, Segenggam Tanah Kuburan dan Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan—yang akhirnya dibunuh oleh tokoh tetangga.
Melalui tokoh tetangga dan tokoh istri, Kunto mencoba untuk mengkritik perilaku manusia modern. Tokoh tetangga mengawini gadis yang umurnya sepuluh tahun lebih muda karena cantik, luwes dan pandai mengaji. Rumah tangganya tidak bahagia (hlm. 46), karena sang istri tidak mau disetubuhi. Tokoh lain tipikal manusia modern adalah istri sang narator. Ia seorang perempuan yang cepat mengubah opininya ketika mendapatkan realitas yang lain. Ia, yang tadinya membenci tokoh tetangga, berubah memujinya hanya karena mendengar bahwa tetangganya itu pandai mengaji dengan suara yang bagus. (DMB, hlm. 39).
Kedua, cerpen di atas menggambarkan kondisi masyarakat konsumer. Kondisi yang di dalamnya hampir seluruh energi dipusatkan bagi pelayanan hawa nafsu—nafsu kebendaan, kekayaan, kekuasaan, seksual, ketenaran, popularitas, kecantikan, kebugaran, keindahan; sementara hanya sedikit ruang bagi penajaman hati, dan pencerahan spiritual.

Spiritualitas dan Pseudo Spiritual
Kondisi masyarakat semacam itu tidak hanya berpengaruh pada berubahnya pandangan masyarakat dalam bidang-bidang material. Budaya virtual, menurut Yasraf, telah melenyapkan batas antara spiritual dan spititual semu (pseudo spiritual). (Yasraf, 1998: 31). Masyarakat kontemporer mementingkan ibadah ritual dan melupakan ibadah sosial. Ritual yang dilaksanakannya pun hanya berkisar pada ritual kasar yang kasat mata, tidak dibarengi dengan ketangan jiwa dan kedekatan hati pada Tuhan.
Gambaran seperti itu dapat kita lihat pada cerpen yang berjudul “Anjing”. Dalam cerpen itu, Kunto mengkritik umat Islam yang berpijak hanya pada realitas artifisial. “Memelihara anjing, sepanjang pengetahuan tak dilarang oleh agama.” Kata sang suami. “Tidak dilarang tetapi patutkah kita memelihara najis” (jawaban si istri). (DMB: 32). Tokoh istri digambarkan sebagai seorang istri yang pintar, berpendidikan, taat pada suami dan bertetangga dengan baik. Tapi ia selalu memandang realitas hanya pada permukaannya saja. Begitu pula dalam beragama. Ia membenci anjing, karena najis. Juga karena tiap malam suka menggonggong dan menggganggu tidurnya (DMB: 31). Ia membenci tetangganya, karena tetangganya memiliki anjing. Tapi kemudian ia menyukai anjing itu setelah tahu pemiliknya pandai mengaji. (DMB: 39).
Kunto juga mengkritik religiusitas semu dalam cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon”. Kunto mengkritik tokoh-tokoh agama yang berrumah di atas angin. Pemuka-pemuka spiritual yang merasa paling suci. Serta kyai-kyai yang enggan bersentuhan dengan masyarakat yang dianggapnya berdosa. (DMB: 185). Ia juga mengkritik umat yang selalu melihat manusia dari ukuran luarnya saja. Ia mengkritik masyarakat awam yang sering melakukan kultus individu. (DMB: 197-198). Dengan cerpen ini, Kunto ingin berkata bahwa, nilai spiritual tidak hanya terletak pada rutinitas ritual kita. Religiusitas murni bisa kita dapatkan dalam hati yang tenang dan jiwa yang tentram. Tokoh mahaguru tauhid lebih memilih untuk menolong seorang anak kecil menangkap burung dan meninggalkan rutinitasnya sebagai khatib. Ia lebih menyukai ketentraman jiwa dan ketenangan hati.(DMB: 199).
Kunto tidak hanya melakukan kritik atas praktik beragama yang jelek. Ia juga mengajukan contoh tentang bagaimana beragama yang ideal. Kunto terlihat konsisten ketika menggarap cerpen “Sepotong Kayu untuk Tuhan”. Sesuai dengan gagasannya tentang sastra transendental, cerpen itu berusaha untuk memanusiakan manusia. Cerpen itu menjadi arus balik yang melawan dehumanisasi. Tokoh kakek digambarkan sebagai seorang tua bijak, pekerja keras dan taat beribadah. Apa yang dilakukannya untuk manusia, didasarkan atas keyakinan bahwa itu akan sampai pada Tuhan. Keikhlasan dan ketulusan telah menjadi barang langka ketika kebanggaan pada diri sendiri dan individualisme merajai dunia. Tokoh kakek merupakan gambaran manusia religius. “Kayu itu akan kita sumbangkan untuk pembangunan Rumah Tuhan, istriku.” Istrinya akan senang, memuji syukur. Pada saat-saat terakhir dari hidup mereka, masih sempat juga beramal. (DMB: 113). Kayu itu akan membuatnya tersenyum pada hari kematiannya. Ketika itu, boleh jadi tubuhnya telah hancur oleh tanah di kuburnya. (DMB: 115).

Kritik atas Mistisisme
Cerpen-cerpen Kunto menjadi gambaran nyata dari paradigma ilmu sosialnya yang berlandaskan tiga nilai, liberasi, emansipasi dan transendensi. Kunto ingin membebaskan manusia dari penjara-penjara, serta ikatan yang membelenggu. Ia tidak hanya mengkritik modernisme, tetapi juga melakukan kritik terhadap mistisisme. Hal itu bisa kita lihat dalam cerpen yang berjudul “Segenggam Tanah Kuburan”. Lagi-lagi, hawa nafsu telah menjadi pemicu utama manusia untuk melakukan tindak kejahatan. Memburu kesenangan jasmani. Mencampakkan nilai-nilai transendental. Karena ingin minum tuak sepuasnya, menyepikan diri bersama perempuan, dan bisa mengundang ledek untuk bernyanyi, sang maling dalam cerpen ini, merampok. (DMB: 58). Untuk mencapai tujuannya, sang maling menggunakan mistik (DMB: 49, 60, 61). Cerpen ini memiliki kesamaan tema dengan cerpen “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan”, cerpen terbaik KOMPAS. Keduanya mengkritik mistisisme yang digunakan sebagai alat untuk memuaskan hawa nafsu. Tapi dari sisi literal-estetis, AMK lebih baik dari STK. Metafor-metafor yang digunakan dalam AMK lebih mudah untuk dicerna.
Dalam STK, Kunto memilih tokoh orang tua untuk melawan kekuatan mistik yang dikerahkan oleh si maling. Uniknya, media yang digunakan untuk melawan mistik adalah nilai-nilai tradisional yang digambarkan dengan pelantunan kidung penolak tenung. Kidung yang dilantunkan dengan suara yang lembut, menggambarkan kondisi hati yang tentram, jiwa yang bersih, luput dari nafsu. Lewat cerpen ini, sekali lagi Kunto ingin mengatakan bahwa ketenangan dan ketentraman jiwa bisa mengalahkan amarah dan nafsu.
Dalam cerpen yang lain, “Ikan-ikan dalam Sendang”, Kunto seolah-olah berkata bahwa tempat-tempat magis, dan benda-benda keramat, semuanya hanyalah cerita yang dibuat-buat oleh manusia untuk kepentingan tertentu. Pada halaman 153 tertulis, “Orang kampung menganggap sendang itu sendang keramat. Itu cerita turun-temurun. Dan kebanyakan, dia sendiri yang menceritakan itu.” Berbeda dengan cerpen-cerpen yang lain, dalam cerpen IdS, orang tua digambarkan sebagai orang rakus dan ingin menang sendiri. (DMB: 157, 163-164).
Cerpen ini juga mengkritik masyarakat umum yang mempercayai sesuatu tanpa pernah menyelidikinya terlebih dahulu (DMB: 166). Juga mengkritik masyarakat yang meyakini mistik tanpa mengetahui hakikat yang ada di balik suatu benda. (DMB: 159). Mereka membanggakan sesuatu yang hampa dan tak bermakna. Mereka mengagungkan pohon beringin putih dan sendang keramat (DMB: 159).
Dalam cerpen lainnya, “Mengail Ikan di Sungai”, Kunto mengungkapkan bahwa penciptaan mitos yang dilakukan oleh manusia, telah mempengaruhi imajinasi anak-anak. Mereka menjadi kehilangan daya imajinasi dan kreasinya. Tokoh Romli digambarkan sebagai anak kecil yang terobsesi untuk memiliki kail keramat. (DMB: 175). Kesadaran kolektif yang diciptakan mitos, telah membuat Romli lebih mementingkan batang kail bekas pengukur mayat dibandingkan kesembuhan ayahnya. Ia membolos beberapa hari hanya untuk menunggu kematian ayahnya. (DMB: 178). Secara tak sadar, ia mengharapkan agar ayahnya mati, dan ia bisa mendapatkan batang kail keramat. (DMB: 178-179).
Tapi sebenarnya, apa yang dilakukan oleh Romli hanya untuk memuaskan hasratnya saja. Ia ingin mengalami apa yang dirasakan oleh Pak Kajin, seperti tokoh anak yang juga ingin merasakan mengail dengan batang kail keramat. (DMB: 175).

Penutup
            Sebagian besar cerpen Kuntowijoyo merupakan representasi dari pemikirannya mengenai Ilmu Sosial Prefetik dan sastra transendental. Pemikiran tentang liberasi, emansipasi dan transendensi, dapat kita temukan dalam cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”, “Anjing”, “Segenggam Tanah Kuburan”, “Ikan-ikan dalam Sendang”, “Mengail Ikan di Sungai”, “Burung Kecil Bersarang di Pohon”, dan “Serikat Laki-Laki Tua”. Sedangkan cerpen “Sepotong Kayu untuk Tuhan” dan “Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah”, merupakan gambaran ideal tentang hubungan antara manusia dengan manusia lain dan manusia dengan Tuhan-nya.
Ada anomali yang kita temukan dalam penokohan Kunto. Pada sebagian besar cerpennya, Kunto selalu memakai tokoh anak-kecil dan/atau orang tua (DMB, STK, SkuT, GiBdMR, BKBdP). Dalam semua cerpen itu, Kunto meggambarkan sosok orang tua sebagai seorang yang penuh dengan kebijakan, dan lemah lembut (DMB, BKBdP, GiBdMR), penuh pengalaman (DMB, BKBdP), serta memiliki visi yang jauh ke depan (DMB). Dan tokoh anak memiliki kepolosan, kadang juga bijak (DMB), kesucian (GiBdMR), dan kegembiraan (BKBdP).
Tapi dalam cerpen “Serikat Laki-Laki Tua” orang tua digambarkan sebagai—meminjam ungkapan Bung Karno—old established generation. Begitu juga dalam cerpen “Ikan-ikan dalam Sendang”. Orang tua seperti itu memiliki kecenderungan untuk banyak omong. Ia ingin menceritakan segala hal, bahkan tidak saja merasa tahu semua hal, tetapi juga merasa berjasa dalam hal apa saja. Ia tidak saja menempatkan diri sebagai tokoh pembuat sejarah, tetapi juga melakonkan diri sebagai tokoh pembuat sejarah. Perjalanan historis seakan baru berarti karena peran dan keterlibatannya.
Gambaran anak kecil dalam cerpen “Mengail Ikan di Sungai”, berbeda dengan gambaran anak kecil pada umumnya cerpen Kuntowijoyo. Dalam cerpen itu, kenakalan lebih ditonjolkan, dibanding kepolosannya. Imajinasi yang dimilikinya juga terlalu liar (mengharap kematian ayah hanya untuk mendapatkaan batang kail keramat).
Dari sisi estetika cerpen, Kunto, pada sebagian besar cerpennya, berhasil menggabungkan—meminjam ungkapn Kleiden—makna dengan peristiwa. Peristiwa yang dijalin dalam cerpennya, sarat makna. Dan pada DMB menjadi multi-interpretable. Sense, makna tekstual dan refference atau makna referensial, digarap dengan sangat bagus.
Makna-makna yang terkandung dalam cerpen-cerpennya, bisa kita dapatkan dari judul yang digunakan Kunto. Simbolisasi yang digunakan, pada sebagian besar cerpen, sangat bagus. Bunga dan burung kecil sebagai lambang kesucian dan ketenangan jiwa. Samurai, metafor dari kejantanan dan dominasi pria. Juga Anjing sebagai perlambang dari nafsu.
Dialektika makna-peristiwa, terjalin sangat bagus dalam cerpen DMB, SKuT, dan BKBdP. Jalinan makna-peristiwa, dalam cerpen lainnya kurang mendapat perhatian Kunto. Bahkan dalam cerpen STK, kita kehilangan makna, berbeda dengan “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan.” Juga dalam cerpen Serikat Laki-Laki Tua.

Dedi Ahimsa berprofesi sebagai Naib dan Sastrawan, dan beliau pernah menjadi dosen Bahasa dan Sastra Inggris.