Revenue

Jurnal SASAKA

Edisi Juni 2012

Haul to Chairil Anwar

Acara FAS (Forum Alternatif Sastra)

Komunitas Sasaka

Pungkit, Anto,Atep, Ema

Acara Godi Suwarna

Sedang menyimak

Diskusi

Kebersamaan tak lekang oleh waktuuuu

Dado dan Nira

MC Acara FAS

Pungkit, Ema dan Atep

kongko-kongko

Jurnal SASAKA

Coming Soon Edisi September 2012

Kamis, 22 Desember 2011

Hasan(the)isme


Oleh Bunyamin Fasya*

Prolog

Manusia modern menurut Gabriel Marcel, cenderung melihat manusia lain sebagai ‘engkau’ yang keberadaannya dianggap berguna hanya ketika memberikan manfaat dan keuntungan bagi ‘aku’. Inilah yang disebut oleh Marcel sebagai hubungan aku-engkau, suatu jenis hubungan subjek-objek. Hubungan yang seperti itu merupakan hubungan yang berbahaya karena hubungan tersebut akan menjadikan manusia-manusia yang individualis, tidak peduli pada orang lain di sekitar dirinya.

Kecenderungan memandang orang lain sebagai bagian—di luar dirinya ini, tidak hanya sebatas pada hubungan interaksi sosial melainkan sudah pada wilayah idealisme. Idealisme yang dimaksud adalah sebuah bentukan tradisi berkepercayaan terhadap Tuhan baik secara praktik maupun konsep berpikir, sebagaimana yang ditanamkan oleh leluhurnya. Ketika leluhurnya beragama Islam misalnya, maka idealisme atau keyakinan keturunannya harus berdasarkan dengan ajaran agama Islam.

Namun ajaran yang ditanamkan oleh leluhur itu tidak menjamin bahwa idealisme atau keyakinan itu akan dianut oleh si individu secara liniar. Bisa jadi seiring dengan perkembangan peradaban manusia, keyakinan itu bisa berubah sesuai dengan kehendak baru yang diyakininya. Faktor psikologis seseorang ketika bertemu atau menemukan realitas baru atau ganjil akan menentukan segalanya—ia bisa ke kanan dan ke kiri.

Pembicaraan di atas bisa ditemukan pada gambaran realitas manusia dalam teks sastra Roman Atheis karangan Achdiat K. Miharja. Di dalam Roman ini, menceritakan  tokoh Hasan seorang pemuda desa yang taat beragama, namun karena bergaul dengan orang-orang yang beraliran materialisme (kebendaan), kejiwaan Hasan menjadi terganggu—kepercayaannya terhadap Tuhan yang diyakininya menjadi pudar.

Sebelumnya Hasan dibesarkan dalam sebuah keluarga yang taat beragama yaitu Islam.Hasan adalah anak tunggal dari pensiunan manteri guru yang tinggal di lereng gunung Telaga Bodas. Sejak kecil Hasan dididik dengan cara Islam, Ayahnya Raden Wiradikarta menginginkan Hasan menjadi anak yang baik, sopan, berilmu dan berakhlak mulia. Oleh karena itu, walaupun Hasan masih kecil, tapi dia sudah menunjukkan pribadi Islam yang taat. Hasan selalu patuh kepada semua peraturan kedua orang tuanya.

Suatu hari, ia bertemu dengan Rusli, sahabat karib masa kecil Hasan. Rusli mempunyai sahabat perempuan, Kartini yang sangat memesona bagi Hasan. Saat Hasan mengetahui bahwa Rusli dan Kartini adalah seorang atheis, ia terkejut dan menjauhi mereka. Hal ini dilakukan agar ia tidak ikut terpengaruh menjadi seorang atheis seperti mereka. Namun, niat itu diurungkannya. Perlahan – lahan, Rusli dan Kartini memberikan pengaruh terhadap perkembangan iman Hasan, membuat dirinya yang seorang agamawan fanatik menjadi seorang atheis. Ditambah lagi, muncul seorang atheis fanatik bernama Anwar, sahabat Rusli. Lambat laun, ia menganggap menjalankan kewajiban agama sebagai suatu perbuatan yang terlarang.

Eksistensi Hasan Sebagai Manusia
Dunia manusia adalah dunia wacana. Mengutip Prof. Dr. Fuad hasan, kemampuan berpikir merupakan ciri keunggulan eksistensi manusia sebagai penghuni ‘a world of discourse’. Melalui kesanggupannya itu, manusia mengutarakan pikirannya dan pendapatnya (logos), gairah dan perasaannya (phatos), serta adab dan susilanya (ethos).

Eksistensi menurut Karl Jaspers (Syamsudin, 1997: 76), berdiri berhadapan dengan transendensi, sama dengan kebebasan yang diberi isi. Dengan begitu manusialah yang memberi arti dan isi kepada hidupnya sendiri. Manusia bukanlah kenyataan yang berkeping-keping, yang bergerak dari masa kini ke masa lainnya. Manusia adalah sekaligus masa lampau, masa kini dan masa datang. Manusia mempunyai “sikap” sejarah. Historisitas merupakan struktur konstitutif eksistensi manusia (W. Poespoprodjo, 1987: 8-9).

Sebagaimana di atas telah digambarkan bahwa keberadaan leluhur dalam beragama menjadi kriteria utama dalam keturunannnya. Hasan merupakan contoh historisitas struktur konstitutif eksistensinya sebagai  manusia. Historisitas itu dibentuk oleh orang tuanya yang taat beragama.

Keberadaan manusia (Hasan) sebagai hamba dan sebagai khalifah Allah di muka bumi, merupakan suatu kenyataan apriori (imani) bagi umat Islam. Posisi dilematis, bahkan paradoks tersebut (juga posisi manusia atas alam dan manusia lain) menjadi dasar ontologis keimanan dalam agama. Kemestian beribadah seorang manusia, sebagai contoh, didasarkan pada keyakinan akan posisinya sebagai hamba di hadapan Tuhan. Posisi ini, secara epistimelogis, mensyaratkan sikap apriori, tanpa reserve, untuk menghambakan dirinya pada Tuhan. Akan tetapi, di sisi lain, posisi manusia sebagai khalifah mensyaratkan kemerdekaan manusia untuk berkreasi, mengaktualisasikan seluruh potensi yang diberikan Tuhan pada dirinya. Yaitu, potensi indera, pikir, rasa, dan potensi-potensi lainnya untuk berkreasi.

Keberadaan manusia pada posisi itu, merupakan cerminan Hasan ketika dia mengalami dilematis mental setelah pertemuannya dengan Rusli dan Kartini. Rusli yang atheis mencoba meretakkan keimanan Hasan. Pada peristiwa ini Hasan membuktikan kemerdekaannya dalam berkreasi—ia mengikuti faham atheisme yang dianut Rusli. Secara umum kreasi Hasan dalam sikap tidak hanya digambarkan dalam tingkah lakunya saja yang sudah meninggalkan ibadah melainkan pada sikap tutur Hasan yang cenderung kontroversi.

”Baru sekali  ini aku bertengkar dengan orang  tua. Dan alangkah hebatnya pertengkaran  itu  pertengkaran  paham,  pertengkaran  pendirian,  pertengkaran kepercayaan. Tapi ah, mengapa aku tidak bersandiwara saja ? mengapa aku harus berterang-terangan  memperlihatkan  sikapku  yang  telah  berubah  itu  terhadap  agama?”

Secara eksistensial, Hasan berada dalam himpitan antara tekanan-tekanan primordialnya sebagai hamba Tuhan dan sebagai khalifah. Selanjutnya, secara ontologis, pluralitas Hasan sebagai makhluk biologis (sebagai bagian integral dari kenyataan alamiah), dan sebagai makhluk ruhaniah, telah menghadirkan dilema ontologis yang berimplikasi pada dilema epistemilogis pula.
Hasan yang mengalami dilematis diri itu tergambar pada perubahan psikisnya yang mulai merasakan kesalahan-kesalahan dirinya terhadap Tuhan, Kartini bahkan pada orang tuanya. Hasan teringat akan nasihat-nasihat yang diberikan orang tuanya.

”Aku mengucap beribu syukur alhamdulillah, bahwa aku hanya menjadi ”pembunuh” di dalam khayal. Mengucap syukur alhamdulillah, karena aku merasa sudah terlalu berat berdosa. Berdosa terhadap orang tua sendiri. Berdosa...juga terhadap Kartini, yang terlalu bengis kuperlakukan. Berdosa terhadap Tuhan Yang Mahakuasa. Ya, terhadap Tuhan yang selama ini sudah kuabaikan segala perintah-Nya.”

Dengan demikian, kehidupan manusia sangat ditentukan oleh cara pandangnya terhadap diri dan segala sesuatu di luar dirinya. Hal ini secara gamblang dijelaskan C.A. van Peursen dalam tiga tipologis mental budaya manusia, yaitu: pertama, mental mitis yang melahirkan manusia-manusia statis karena memasukkan dirinya dan menjadikan dirinya sebagai bagian integral dari wilayah imanen. Kedua mental ontologis yang melahirkan sikap mengambil jarak (eliminasi) antar manusia dengan segala sesuatu di luar dirinya. Mental ontologis ini memiliki kecenderungan untuk melakukan eksploitasi terhadap apa-apa yang ada di luar diri, sebagai objek. Dan, mental yang ketiga, adalah mental fungsional yang berusaha melakukan relasi antara dirinya dengan sesuatu di luar dirinya, relasi ini berpijak di atas prinsip-prinsip fungsional.

Ketiga mental tersebut merupakan gambaran manusia pada sisi eksistensinya sebagai manusia dalam prerilaku keberfungsiannya sebagai makhluk sosial yang bertitik pada psikologis dirinya. Psikologis ini, merupakan hasil kontak diri manusia (Hasan) dengan lingkungannya dan di luar dirinya—Tuhan, Kartini, Rusli, Anwar, Orangtuanya.

Epilog

Dalam konteks budaya, seorang manusia secara kodrati senantiasa berhadapan dan berada dalam masyarakatnya, homo socius. Masyarakat telah ada sebelum seorang individu dilahirkan dan masih akan ada sesudah individu tersebut mati. Lebih dari itu, di dalam masyarakatlah dan sebagai hasil proses sosial, individu menjadi sosok pribadi, ia memperoleh dan berpegang pada suatu identitas.

Manusia tidak akan eksis bila terpisah dari masyarakat. Dengan kata lain, bahwa masyarakat (sebagai kumpulan individu-individu manusia) diciptakan oleh manusia dan manusia merupakan produk dari masyarakat. Kedua hal tersebut menggambarkan adanya dialektika inhern dari fenomena masyarakat.
Proses dialektika fundamental tersebut, menurut Berger, terdiri dari tiga momentum, yaitu: internalisasi, eksternalisasi, dan objektivasi. Ketika seorang manuisa hidup dalam masyarakat, ia akan senantiasa menganggap dirinya sebagai bagian penting dari masyarakat tersebut. Keadaan dan proses inilah yang dikenal dengan eksternalisasi.

Dalam Atheis, Achdiat K. Miharja, menggambarkan ekternalisasi tersebut pada sosok Hasan yang berusaha kembali pada orang tuanya. Berusaha kembali pada rahim ibunya pada sarakannya, yang menjadi eksistensi diri Hasan yang sebenarnya. Meski harus menempuh jalan kematian yang tak disengaja.

Tiba-tiba… tar tar tar aduh
“Hasan  jatuh  tersungkur.  Darah  menyerobot  dari  pahanya.  Ia  jatuh pingsan.  Peluru  senapan  menembus  daging  pahanya  sebelah  kiri.  Darah mengalir dari lukanya, meleleh di atas betisnya. Badan yang lemah itu berguling-guling  sebentar  di  atas  aspal,  bermandikan  darah.  Kemudian  dengan  bibir melepas kata...”Allahu Akbar”, tak bergerak lagi….
Wallahu ‘alam bi al-shawab.

* Penyair, aktif di FAS (Forum Alternatif Sastra) Bandung.

Minggu, 11 Desember 2011

IMAJI HUJAN



sore ini api lilin indah
di luar hujan mengintai 
tapi surut pandang cahayanya lemah di bakar kobar wajahmu
dan aku tahu, kita adalah tawanan di tubuh yang sama

                                                                                    syamsi 12, at 16.36 pm

oleh Asep Gunawan mahasiswa sastra Inggris, yang sedang belajar menyastra

Selasa, 06 Desember 2011

Modernitas dalam Novel Hamka “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk” (Resensi Diskusi di komunitas Sasaka novel Hamka “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk”)


Oleh Asep Gunawan

Dalam dunia kesusastraan Indonesia pra kemderdekaan semua tentunya mengenal novel “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk” karya seorang intelektual Hamka. Novel tersebut dicetak sekitaran 1936, tentunya ini termasuk karya sastra klasik yang begitu dahsyat. Yang termaktub dalam khazanah kesusastraan Indonesia sampai saat ini.

Ketika kita membaca karya Hamka yang satu ini, praktis imaji kita akan dibawa pada romantisme kondisi Indonesia pra merdeka. Setting yang diambil pada karyanya yang satu ini bercerita tentang tanah Minang, tanah yang sangat kental akan lokalitas budayanya, terutama paham matriarki yang dianutnya. Dan Hamka sedikitnya mengambil titik pijak narasinya dengan adat ini, terbukti ketika di awal cerita kita akan disuguhkan mengenai konflik antara Sutan Pandekar dengan Mamaknya Yang berujung dengan diusir dan dipenjaranya Sutan Pandekar di Cilacap setelah dengan tidak sengaja membunuh Mamaknya.
Selain landsekap tanah Minang, Hamka juga cukup pandai dalam mendeskripsikan tanah Mengkasar, yang jadi tanah pijakan kedua bagi Sutan Pandekar, sampai dia menikah dan memiliki anak di sana.

Zainudin, si anak campuran darah mengkasar dan Minang itu, mesti menerima kenyataan pahit bahwasannya leluhur ayahnya di Minang tidak pernah mengakui dirinya sebagai seorang keturunan Minang. Karena adat dan tradisi di sana yang beranggapan bahwa orang Minang haruslah beristrikan orang lokal. Selain juga budaya matriarki yang dipegang kuat di padang Panjang ini. Hingga membuat kisah cinta Zainudin dengan Hayati tak kesampain lantaran adat yang menjadi tembok pemisah keduanya. selain pada akhirnya, lagi – lagi zainudin harus menelan pil pahit, mengingat Hayati lebih memilih untuk menikah dengan Aziz yang secara ekonomi lebih mapan dibanding Zainudin.

Wacana modernitas

Kelahiran suatu karya memang pada dasarnya dibidani oleh keadaan social pengarangnya. Di mana banyak phenomena – phenomena yang melatarbelakangi kelahiran karya sastra dan sedikit banyaknya direflesikan oleh sang pengarang dalam karyanya. Karena pada dasarnya karya sastra merupakn pencerminan keadaan masyarakat pada saat tertentu. (Ian Watt dalam Faruk: 2010)

Begitupun Hamka, yang mendeskripsikan adanya gejala – gejala modernitas yang merasuk pada tatanan pranata social pada orang – orang Indonesia. Paling tidak ada dua aspek yang cukup terlihat pada ceritanya yang satu ini. Yang pertama mungkin, semakin lunturnya nilai – nilai moral dan religious yang menjadi pondasi kuat bangsa Indonesia, terutama Minang. Dan yang kedua, munculnya sikap materialism pada setiap individu, yang dengan mudahnya menanggap bahwa materilah yang menjadi kebutuhan mendasar bagi setiap orang.(I. Bambang Sugiharto: 1996).

Kedua gejala tersebut cukup berhasil direfresentasikan pada kedua tokohnya, Aziz dan Hayati. Aziz yang notabene, berasal dari keluarga elit yang telah bersinggungan dengan modernitas, yang dicirikan dengan pola hidupnya yang cenderung matrealistis dan menjurus pada kehidupan hedonis, hingga berakhir tragis. Sedang, Hayati tentunya tak lepas dari judgment yang sama, keputusannya untuk memilih menikah dengan Aziz selain dorongan dari kelurganya,  materi pulalah yang dijadikan pertimbangan olehnya, mengingat Aziz merupakan orang yang “ada”.

Modernitas, memang salah satu unsur yang diperkenalkan oleh bangsa Barat yang secara melalui kolonialismenya. Melalui modernitas seolah bangsa kita diajak untuk lebih berfikir maju dan logis, sehingga kadang melupakan budaya primordial kita. Namun lagi – lagi ketidaksiapan mental Indonesia dalam memaknai modernitas, nampaknya menjadi boomerang bagi kita. Karena memang, bangsa Indonesia bisa dibilang saat itu, sedang mengalami masa transisi dari pola hidup tradisional menuju pola hidup modern.

Budaya lokal tentu saja akan selalu menjadi lawan bagi budaya global yang masuk. Namun mungkin Hamka ingin memberikan gambaran akan sebuah ketidaksiapan mental jika memang terlalu terbuka menyerap semua unsur modernitas yang diterapkan barat pada Indonesia khusunya, akan berakhir dengan sebuah ketragisan. Tak mengherankan, mindset seperti ini memang sudah menjadi wacana global bagi semua negara – negara pasca kolonial untuk meniru si penjajah atau kalau meminjam istilah Homi. K. Bhaha, Mimikri. Semua produk Barat baik sikap, pemikiran atau life style, akan menjadi bahan acuan bagi bangsa terjajah hingga bermuara pada sebuah wujud peniruan, yang salah satunya tentang modernitas.

Namun Hamka, dengan pandai membungkusnya dengan model narasi yang tidak terlalu fulgar menceritakan wacana itu, hingga yakni tema cintalah yang seolah muncul ke permukaan. Tentunya, hamka tidak serta merta memberikan gambaran itu jika tidak merujuk pada phenomena sosial yang sedang terjadi kala itu. Persentuhan Barat dan local melahirkan perubahan paradigma yang kadang mengancam budaya local hingga bisa mengakibatkan tercerabutnya nilai lokalitas yang sejak dulu tertanam.

Peran Akar Primordial

Di dalam sebuah karya tentunya mengandung ideology pengarang. Ideology – ideology yang ingin disampaikan terhadap para pembacanya. Jika melirik background Hamka yang seorang Buya, atau seorang tokoh Islam, tentunya nilai – nila islamilah yang ingin dia sampaikan, namun tidak terlepas dari akar primordial bangsa Indonesia. Paling tidak kedua hal itulah yang harus dijadikan pijakan utama bagi bangsa Indonesia dalam memaknai modernitas atau globalitas secara umum.

Pada kontek kekinians, modernitas semakin buas terlihat dan tanpa ampun menghempaskan nilai lokalitas bangsa kita. Nilai moral dan religious semakin berbanding terbalik dengan pola pikir ke-Baratan yang semakin menguat. Walhasil, sikap hidup yang selalu diorientasikan pada materilah yang laku bagi setiap pendirian seseorang. Hingga setiap orang harus selalu bersaing satu sama lain dalam meraih materi, walaupun harus ada yang “dikorbankan”, sebuah sikap masyarkat yang cenderung tidak manusiawi, hingga tidak aneh kalau krisis multi dimensi di Indonesia tak pernah menemui titik akhirnya.

Paling tidak secara implisit Hamka ingin mengutarakan bahwa globalitas apapun itu bentuknya tak harus membuat kita tercerabut dari nilai – nilai local yang kita anut. Karena hal itulah yang menjadi satu – satunya identitas di dalam dunia global yang semakin menghapus batasan – batasan budaya antar bangsa. Baiknya secara bijak kita menyambut modernitas itu dengan penuh pertimbangan, bukan malah dengan tangan terbuka hingga menyerap dan menerapkannya secara total dalam kehidupan kita. untuk itu sikap kritis sangatlah dibutuhkan agar bangsa kita tidak menjadi bangsa yang tergerus budaya global. Dan tentunya dengan tetap menjaga citra sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai religious dan akar primordial kita.

Penulis, Mahasiswa Sastra Inggris UIN Bandung, bergiat di Komunitas Sasaka