Revenue

Minggu, 09 Oktober 2011

MEMBACA METAMORFOSA


Resensi Antologi Puisi Komunitas Siraru (Metamorfosa;2003) 
Seakan mati, September pergi
Seperti merayakan kesepian, di bawah bendera
Aku sunyi sendiri
( Jay Tamiang Ganda)

Delapan tahun sudah puisi di atas di tulis oleh Jay Tamiang Ganda, di Pygmalion 10 Oktober 2003 tepatnya jam 13;35 a.m. Nampaknya sebuah perekaman yang apik. Kenapa harus di rekam? Apakah kita akan mati ketika September pergi? lalu si “aku” lirik selalu sunyi sendiri, merayakan kesepian di bawah bendera. Dan haruskah puisi selalu mengungkapkan rima ;mati, pergi lalu sunyi, ah lengkaplah sudah penderitaan yang dilukiskan penyair tersebut.

Tentu saja kita akan sepakat dengan apa yang diungkapkan Jay, sebagai penulis puisi ia tentu akan mengatakan yang lain, di bawah bendera ia seperti ingin mengenang sesuatu. Yang mati ketika September pergi. Ya, begitulah puisi, bisa mengungkapkan atau akan langgeng apabila kita baca dan maknanya masih terasa segar. Yang ditulis Jay tentu bukan skripsi tapi ingat itu puisi, sebuah ungkapan yang ikhlas tanpa embel-embel, yang datang dari realitas; empirik, imaji dan metaphor, atau jangan-jangan puisi hanya untuk di kenang Jay, lalu mati. Ah, semoga tidak!

Itulah doa penulis ketika membaca kumpulan Antologi para penyair Komunitas Siraru yang di cetak sekitaran tahun 2003 yang diberikan pengantar oleh penyair yang kini menjadi kritikus sastra Bambang Q-Anees. Waw, sudah lama sekali, rentan waktu cukup lama, akan tetapi saya membaca dan mendapatkan buku tersebut di tahun 2011 dan tiba-tiba saya ingin mengutif puisinya Abda Ihsan yang berjudul Buah Pikiran, liriknya seperti ini; aku hadir di awal dan di akhir kehidupan manusia/ tapi abadi untuk diketahui, diantaranya/ pun ketika kau mengetahuinya /percuma jika aku tidak mempengaruhi/karena aku hadir untuk diketahui/.

Penggalan larik tersebut seperti menyoalkan keberadaan, meminjam istilah Descrates “aku berfikir, maka aku ada”, ya, bisa saja aku menulis puisi, maka aku ada. Mungkin karena ingin hadir untuk diketahui. Apa yang dikatakan Abda dalam puisinya memang sangat jelas sebuah karya sastra (Puisi) akan diketahui keberadaanya apabila dipublikasikan atau tidak juga, bisa menjadi artefak yang akan dikaji oleh kaum selanjutnya, dengan catatan setiap kehidupan (sejarah manusia) kita akan bisa melihat dari karya sastranya, wabilkhusus puisi, tapi yang lebih parah, jika tidak ada yang menulis karya, maka masyarakat tersebut akan sulit untuk ada dan terekam.

Sebelumnya saya menulis catatan ini atau resensi meminjam istilahnya, ingin sedikit mengenang sebuah karya yang sempat hadir di jurusan, komunitas sastra Inggris IAIN Bandung, sambil belajar mengaplikasikan ke ilmuan sastra dan tentunya menulis catatan ini tidak akan mendapat nilai, sebab tidak ada dalam silabus mata kuliah dan saya tidak hendak bermaksud ingin mendapat nilai “A” dari dosen sastra, ya memang menulis ini tidak masuk di kelas dan itu tidak menjadi soal, namun apa yang dikatakan Awang dalam puisinya yang berjudul Aku Ingin Percaya Evolusi, liriknya; Aku ingin percaya evolusi agar aku lebih baik /Aku tidak mau jadi udang atau rumput laut/ tapi aku ingin bisa makan udang atau rumput laut/.

Dalam puisi Awang tersebut si “aku” lirik ditarik agar percaya kepada evolusi, ya jika mengambil dari Charles Darwin yang sempat mengatakan tentang evolusi itu, agar terjadinya proses perubahan yang menurut saya akan perlu waktu dan secara perlahan bisa berangsur untuk menjadi seseuatu. Memang membutuhkan proses agar tidak menjadi udang atau rumput laut apalagi jika ingin memakannya, nampaknya Awang mengingatkan pembaca kepada simbolisasi wisata kuliner atau restoran Seafood, sepertinya tidak enak menjadi udang atau rumpu laut yang selalu di masak dan dimakan, lebih nikmat menjadi pemangsanya, atau jangan-jangan Awang suka udang dan rumput laut? Kelakar saya sambil mengingat rambutnya yang gondrong dan kini ia sedang menjadi mahasiswa sastra di UGM yang telah berkenalan dengan Bakhrati Mukhereje itu. 

Uniknya cita rasa tersebut ditegaskan dalam catatan pengantar yang ditulis oleh Bambang Q-Anees, ia menyebutkan, “puisi tak kurang sama dengan jambangan bunga, kue apem, gehu, gambar iseng di sampul buku, atau sumur yang dapat dibuat oleh siapapun. Isinya tergantung pada cita rasa, kau boleh memilih gehu atau kue apem tergantung pada air liur”.

**

Membaca antologi metamorfosa dari Komunitas Siraru itu, pembaca akan dibawa ke ranah alegoris, dari puisi yang menawarkan untuk menafsir seenaknya dan menawarkan perihal makna yang tersirat dari isi teks tersebut, tidak terjebak pada otoritas makna atau otoritas puisi sekali pun. Dengan demikian seperti yang dikatakan Barthes “The deat of Author” itu diasumsikan pada kelahiran pembaca, maka alegoris tersebut bisa memberikan makna yang lebih banyak, seperti yang dikatakan Arif Bagus Prasetyo dalam makalahnya.

Setelah membaca dan menafsirkan makna, sebaiknya dapat menulis puisi, alusi-alusi tercipta dari membaca, kemunculan inspirasi, intuitif dan selanjutnya tenaga creative berawal dari membaca. Dari itu apa yang dikatakan Aini, salah satu penyair perempuan menngungkapkan lariknya dalam puisi Lonte; Oneng-si perempuan kelas teri/ tertatih-tatih berjalan dalam gelap/ meraba-raba mencoba mencari arah/ untuk tentukan kemana harus melangkah/, dari makna membaca, kita tentunya tidak akan menjadi Lonte yang kehilangan arah untuk melangkah.

Oleh karenanya puisi (kata) sangat berelasi dengan kehidupan kita, kata-kata bisa dipungut dari realitas lalu diungkapkan kembali lewat karya, ruang mana yang tidak memakai kata, seakan-akan semesta ini dikerubuni dengan kata atau teks, simbolisasi kehidupan dikomunikasikan dengan bahasa, setiap manusia akan berkata-kata, maka apabila tidak menulis puisi atau jelasnya berkarya tidak ada alasan, kenapa? Sebab di dunia ini apa yang tidak dimulai dengan kata, pada mulanya adalah kata, begitulah ungkap Kitab Kejadian.

Kata dirangkai menjadi apa yang disebut puisi, meskipun secara nalar kita tentunya akan bisa menulis puisi dengan merangkai kata, bukankah puisi itu seni merangkai kata? Bahkan bisa lebih, Sutardji mengatakan dibalik kata, pasti ada kata, kredo mantranya mirip sekali dengan novelnya J.K Rowling yang berjudul Harry Potter, dunia imaji yang menggunakan sihir dengan kata, ya kata (mantra) itu dapat menyihir, begitu dahsyat kata, bisa “yang tertusuk padamu, berdarah padaku” (Sutardji).

Dari kata tersebut menawarkan hal yang lain, yang apa itu disebut dengan puisi. Lalu dari puisi itu akan menembus batas, seperti Gobak Sodor, puisi sonder, isi bermakna, yang penting ekspresi, berlari, berkeringat dan tertawa senang, begitulah tutur Bambang dalam pengantar antologi tersebut.

Pada titik itulah seharusnya dari kumpulan puisi tersebut, sebagaimana kehidupan akan selalu bermetamorfosa dan harus selalu dibaca, antologi ini layaknya diteruskan oleh manusia selanjutnya, selaiknya karya itu seperti anak-anak yang dilahirkan dan akan berjuang untuk mencari kehidupannya masing-masing meskipun terlahir dari jemari yang lusuh sekali pun, akan tetapi kita selalu di getarkan oleh apa yang dikatakan, diharapkan Siti leli Ulfah dalam puisinya berjudul Metamorfosa; tiba-tiba dari dalam air bermunculan/ ribuan pasang makhluk serupa/.

Begitulah sementara tulisan yang dihidangkan ini, saya rasa masih banyak kekurangan, untuk itu Beni A. Pamungkas dalam puisinya yang berjudul Ada Apa Di Balik Binar Matamu mengatakan; ketika kau memandangku/ kau membunuhku/ tapi jika tidak/ aku tidak bisa hidup/. Selamat bermetamorfosa!

Penulis, penikmat puisi dan sedang menulis skripsi, bergiat di Forum Alternatif Sastra (FAS) Bandung.

Do you like this story?

Tulisan Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar