Revenue

Sabtu, 08 Oktober 2011

SIMBOLISASI KUTIPAN

"Kaspar! Makan!"

Itu adalah kalimat pertama dari novel pertama pengarang Inggris keturunan Polandia, Joseph Conrad (1857–1924)  - Almayer’s Folly: A story of an Eastern River. Buku yang pertama kali terbit pada tahun 1895 itu memang ada kaitannya dengan dunia Melayu. Ya, novel ini bersettingkan hutan Borneo atau Kalimantan pada abad ke-19.
            Tokoh utamanya adalah Kaspar Almayer. Ia adalah pedagang Belanda keturunan campuran, Belanda-Inggris. Ia sejak muda dibawa usaha oleh seorang kapten kaya raya yang bernama Captain Lingard. Sebegitu jauh, Kaspar malah menikahi anak angkat Captain Lingard yang seorang perempuan pribumi Kalimantan atau Melayau. Hal ini dilakukan Kaspar agar mendapat harta warisan dari Capatain Lingard, bila ia meninggal. Selain itu, Kaspar juga disuruh menjalankan usaha Captain Lingard di Sambir, yang termasuk wilayah Borneo.
Sementara itu usaha Kaspar terus-menerus mengalami kegagalan. Bahkan saat ia membangun bangunan untuk perdagangan yang diberi-nama "Almayer's Folly," tidak ada satupun transaksi perdagangan yang dilakukan di bangunan tersebut.
Dengan istri pribumi tersebut, Kaspar mempunyai seorang anak perempuan yang diberi-nama Nina. Selanjutnya novel tersebut berkutat dengan keinginan serta keprihatinan Kaspar atas nasib yang menimpanya. Selain itu juga, rasa cintanya kepada anak semata wayangnya, Nina. Bahkan Kaspar menghalang-halangi pengaruh ibunya Nina yang dianggap Kaspar “buruk dan “tidak beradab”.
Kemudian datanglah Dain, seorang pangeran Melayu. Ia tiba ke Sambir. Kaspar meminta bantuan Dain untuk menemukan harta karun yang telah lama dicari oleh Lingard. Namun, Dain malah menikah dengan Nina dan mereka berdua melarikan dari Sambir. Akibatnya, merasa kehilangan harta karun yang diidam-idamkannya sekaligus anak sematang wayangnya, Kaspar akhirnya jadi gila.

***
Kembali ke kutipan di atas. Kutipan di atas saya pikir menarik untuk dikaji dari sisi semiotika, terutama bila kita memakai pendekatan semiotika Piercian yang digagas oleh Charles Sanders Pierce (1839–1914).
            Salah satu konsep Piercian yang saya kira pas untuk membaca dan memahami kutipan dari novel Almayer’s Folly itu adalah konsep symbol. Konsep ini mengacu pada tanda yang hubungan maknanya sudah terbentuk secara konvensional. Maksudnya, tanda itu mengacu pada sesuatu yang telah mendapat kesepakatan masyarakat. Misalnya, lampu merah menandakan berhenti, dan mengangguk menandakan menyetujui atau membenarkan (dalam Van Zoest, 1996: 8-9).
            Dalam konteks kutipan di atas, kita tahu bahwa kalimat di atas berjenis kalimat perintah, karena ditandai oleh tanda seru. Masing-masing tanda seru tersebut disimpan di akhir kata “Kaspar” dan kata “makan”. Kata “Kaspar” sebagaimana dari ringkasan novel yang saya berikan di awal tulisan, mengacu kepada Kaspar Almayer, tokoh utama tersebut. Sementara kata “makan” adalah salah satu kosakata yang diambil dari bahasa Melayu.
            Dari kenyataan tersebut, menerakan paling tidak menandakan bahwa posisi Kaspar sebenarnya bermasalah. Artinya, ia tidak dianggap sebagaimana layaknya seorang Eropa. Apalagi bila diletakkan pada konteks abad ke-19, ketika kekuasaan kolonialisme Belanda, demikian kukuh.
            Kata-kata “Kaspar” dan “makan” itulah buktinya. Kaspar tidak disebut dengan pembubuhan kata sapaan yang biasa digunakan oleh orang terkoloni kepada orang kulit putih. Biasanya, orang terkoloni menyebut orang kulit putih dengan sebutan “Tuan” atau dalam bahasa Belanda, “meneer”, atau dalam bahasa Inggris, “Mr”.
            Kata “makan” semakin jelas menandakan posisi rendah Kaspar. Ia diperintah untuk makan dengan bahasa yang langsung, tanpa dibubuhi kata penghalus. Misalnya dengan “silahkan makan” atau “makanan telah tersedia”. Namun yang terpenting adalah penggunaan bahasanya. Ya, kata “makan” tentu berasal dari bahasa Melayu. Dengan demikian, derajat Kaspar dengan kutipan tersebut berarti dipersamakan dengan orang Melayu.
            Hal tersebut menuntun kita kepada siapa kiranya yang “memerintahkan” Kaspar untuk makan dengan menggunakan bahasa Melayu? Di dalam novel kita dapat membaca satu nama tokoh, Hudig. Dialah yang oleh Kaspar disebut sebagai “the master” atau “sang tuan”. Hudig inilah yang memperlakukan Kaspar sebagaimana orang Melayu yang biasa diperintah oleh orang kulit putih. Padahal Kaspar sudah jelas adalah seorang blasteran Belanda-Inggris, yang sudah jelas berkulit putih.

***
Kutipan "Kaspar! Makan!" sebagai simbol sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pierce sebenarnya menuntun kepada pemahaman yang bersifat konvensional, yakni bahasa yang dipergunakan oleh orang yang memerintah dan orang yang mendengar perintah tersebut.
Bahasa yang konvensional tersebut menuntut keduanya berada dalam satu pengertian. Dalam arti, baik yang berbicara maupun yang mendengarkan sama-sama mengerti apa yang diucapkan masing-masing kedua orang tersebut. Karena bila tidak dimengerti, maka tidak akan terjadi apa yang menjadi titik tekan semiotika Piercian, yakni berlangsungnya komunikasi – satu pesan dimengerti baik oleh si pengirim dan penerimanya.
Namun yang terjadi dalam kutipan di atas justru ketimpangan. Meskipun Kaspar dan Hudig boleh jadi mengerti bahasa Melayu, namun di antara keduanya memiliki status yang berbeda. Hudig sebagai “tuan” dan Kaspar bias difahami sebagai “budak” Hudig meskipun keduanya sama-sama kulit putih.
Kunci ke arah sana adalah penggunaan tanda seru sebagai tanda kalimat perintah; kepada pengunaan nama depan “Kaspar” yang tanpa diimbuhi oleh sebutan penghormatan bagi seorang kulit putih di tengah jaman penjajahan Belanda di Nusantara pada abad ke-19; dan kepada kata “makan” yang digunakan oleh Hudig kepada Kaspar.
Akibatnya apa? Tentu saja kenangan buruk bagi Kaspar. Ini dia buktinya: “The well-known shrill voice startled Almayer from his dream of splendid future into the unpleasant realities of the present hour.  An unpleasant voice too.  He had heard it for many years, and with every year he liked it less.  No matter; there would be an end to all this soon.”

Daftar Pustaka:
Conrad, Joseph. 1915. Almayer’s Folly; A Story of an Eastern River. London: T. Fisher Unwin Ltd

Zoest, Aart Van. 1996. “Interpretasi dan Semiotika”, dalam Sudjiman, P dan Aart
Van Zoest (E.d). Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Oleh Atep Kurnia. Bergiat di Pusat Studi Sunda(PSS), Bandung. Dan menjadi pembina di Komunitas SASAKA.

Do you like this story?

Tulisan Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar