Revenue

Selasa, 11 Oktober 2011

MENCARI MAKAM BUNDA


/1/
lalu kau tuntun aku ke surga, sore itu. rumputan tegun
dan hanjuang sungsang mencerna merah gamismu.
langkahmu penuh, genggammu teguh: seolah mengajariku
agar kukuh pada tempuh. “demikian hidup,” katamu suatu kali,
“adalah ketabahan memenuhi janji.”

sementara jalanan dikukus kering: kampung tak lebih dari
jejer jemuran. orangorang serupa menolak halaman,
mungkin tak akrab lagi dengan penantian. gerimis telah
disangkal musim, namun matamu tetap bening.
maka aku terus merapat ke sampingmu:
langgar tinggal seinci, condong menuju sepi.

kau lantas mengalunkan barzanji. sementara aku iri:
mengapa anakmu tak pernah disebut namanya?
aku lalu meneguhkan hati, barangkali itulah caramu
memanggilku. “Tuhan tak bobo, nak,” katamu.
namun rupanya jemaatmu terlambat. mungkin benar,
iman itu serupa iuran, tergantung angka berapa
almanak menunjuknya.

sore menyorong senja ke sirna, pertanda jemaat
tak bakal mendekat. tapi kau sabar seperti megamega:
menekuni mushaf dari alif hingga ya. jendela harus
segera dirapat, pertanda jemaat urung menemu wasiat.
tapi kau tabah laiknya ayat: melipatlipat munajat
sampai ke sunyat. dalam kesendirianmu, kulihat takdirmu.

/2/
mungkin kau lupa, surga itu harus megah,
bukan langgar dengan gorden lusuh,
bedug ompong atau bilik bolong,
bukan reuni keluarga atau kolorkolor di jendela.
barangkali kau lupa bahwa selalu ada yang tak tetap
dalam fana, sebab yang kau tahu bahwa kesederhanaan
adalah iman tanpa bandingan.

mungkin kau khilaf, surga itu harus menggugah,
dengan kotak jariyah besar atau keramik mengkilat,
dengan jendelajendela berkacapatri kaligrafi,
dengan lampu mewah dan jadwal terperinci.
barangkali kau lupa bahwa surga juga tergantung
dana kampanye siapa, sebab yang kau tahu bahwa
janji dunia tak sepenuhnya bisa dipercaya.

/3/
magrib hangus ke isya, pengajian tak juga terlaksana.
tumpeng basi, telur dan kentang pasi: damar mengubur
bayangannya sendiri. kau lalu menutup kitab dan merapatkan
kening ke bumi.mungkin menginsyafi bahwa memang
hanya Tuhan saja yang selalu terjaga. jam delapan kurang sepuluh,
kauhabiskan tafakurmu. di langgar reyot itu, aku lalu bersaksi
bahwa tiada surga selain sukmamu. kau lalu menutup doa
dan langgar segera diheningkan.

tapi yang datang malah orangorang bermuka tegang.
aku dilempar ke balik pintu, kutatap, lehermu dicicip gergaji.
“dukun santet! dukun santet!” kudengar bisik keji itu:
kau jadi kedap, aku jadi pengap. perlahan langkahlangkah aus,
aku merayap di atas samak. ada basah berenang ke dada,
kugapai, kau sudah tanpa kepala.

/4/
empat belas tahun berlalu, aku tak pernah paham
mengapa jemaat tibatiba sirna. belasan tahun itu,
aku tak pernah tahu siapakah mereka yang datang
dengan kekejian. sungguh, tahuntahun tanpa isi:
aku tak pernah paham cara Tuhan menanammu
ke dalam ketiadaan.

/5/
kubakar kemenyan tiap malam selasa: membangkitkan
rinduku pada tujuhratus cara senyummu yang liku.
kusampirkan selendang itu ke pundakku,
kukhatamkan tadarusmu tentang bulan,
tentang wajah ayah yang lebih dulu undur tanpa usia.
langgar telah lama rubuh, tak ada lagi saksi selain
aku dan ingatan. aku terus berlari: menautkan tiap semoga
pada mungkin.

ah, sepertinya bunda lupa bahwa nyeri juga punya batas.
aku lalu menyerbu jalan dengan pedang bertali selendang:
beringas mencari riwayat kepalamu yang hilang.
lebaran seminggu lagi tiba, oh untuk kesekiankalinya,
aku harus ziarah ke sukma yang mana?
sungguh, aku terguncang.

Bandung, 10/05/2011

Oleh Faridz Yusuf. Alumni Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Mempunyai keinginan untuk melanjutkan studi S2.
Puisi ini muncul jadi pemenang dan puisi favorit "Cinta dan Kasih Ibu 2011" Bunda Hanna Fransisca, dari 4021judul puisi, dengan Juri lomba yang terhormat: Acep Zamzam Noor dan Joni Ariadinata.

Do you like this story?

Tulisan Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar