Revenue

Jumat, 14 Oktober 2011

KUNANG-KUNANG KEMATIAN


Di kampungku—yang lokasinya berada di daerah jawa, bila ada salah satu warga yang mati, maka pada malam kematiannya secara tiga malam berturut-turut kunang-kunang akan berkeliaran mengudara. Entah kebetulan atau tidak, mereka selalu beterbangan memijarkan cahaya kerlap-kerlip berwarna putih pucat atau ada juga yang kehijauan. Sebentar bercahaya sebentar redup. Seperti itulah kunang-kunang. Kata warga kampung, mereka percaya bahwa kunang-kunang itu jelmaan dari kuku orang yang mati. Cahayanya yang selalu redup itu berbentuk seperti bekas cakaran, mungkin ingin mencoba mencakar kegelapan menjadi terang oleh kuku orang mati. Namun anehnya, hanya kematian dari orang baik saja kunang-kunang tidak pernah berkeliaran.

“Apa orang yang baik tidak butuh cahaya? Apakah cahaya sudah ada melalui amal baiknya? Sedangkan yang tidak baik masih membutuhkan cahaya, bukan melalui amal baik malah dari cahaya kunang-kunang?” tanya salah seorang warga, beberapa hari yang lalu.

“Cahaya kunang-kunang itu berasal dari zat luciferin, mungkin ada hubungannya dengan Lusifer para setan neraka.” jawab Pak RT.

“Berarti bila kita mati nantinya akan menjadi iblis toh?” ia kembali bertanya.
“Bila sampean mati membawa amal buruk pasti bakalan seperti itu.” timpal yang lain.
“Tidak baik percaya sama tahayul.” bantah seseorang yang tidak setuju.
“Sampean tak percaya? Kualat loh!”
“Manusia dan iblis itu beda, tapi sama-sama mahluk ciptaan Gusti Allah!”
“Mbuh!”

Pada waktu itu aku tidak ikut melibatkan diri dalam obrolan-obrolan mereka, padahal mereka selalu sibuk membicarakannya bila ada warga yang mati. Dan entah sejak kapan mitos itu ada di kampungku, mungkin pada zaman dulu para leluhur jawa kuno selalu mengingatkan untuk melakukan amal baik terhadap sesamanya ketika hidup, dan bila matinya meninggalkan amal buruk maka kukunya akan menjelma kunang-kunang untuk mencari cahaya setelah dikubur. 

Dan sekarang hampir semua warga—dari mulai anak kecil, dewasa, hingga para orang tua—sudah tidak asing lagi untuk mengetahuinya.
Malam ini di luar nampak rembulan telah matang, langit semakin gosong, di sana ada ribuan bintang bercahaya seperti segerombolan kunang-kunang beterbangan di pekarangan rumahku, seolah ada yang mengundang kedatangan mereka. Lantas siapakah orang itu? “Apakah sekarang ada warga yang mati dengan buku catatan amal di tangan kirinya?” tanyaku dalam hati.

Kunang-kunang itu masih berkeliaran di antara pepohonan, tanah tandus yang di penuhi rimbun semak, bahkan ada satu kunang-kunang yang hinggap di jendela kamarku, lalu ke tanganku, sepertinya ia menyukaiku, atau akan menjemputku pada kematian. Pasalnya, selain mempercayai mitos kunang-kunang jelmaan kuku orang mati, orang-orang juga percaya bila ada salah satu warga yang dihinggapi kunang-kunang maka ia akan mati. Kunang-kunang itu penjemput kematian.

            Aku tidak begitu percaya pada yang namanya mitos. Tahayul. Mungkin karena sewaktu kecil aku rajin mengaji, ilmu yang pernah aku dapat bahwa orang yang mati arwahnya langsung ditempatkan oleh Tuhan, entah dimana, aku lupa lagi, sebab sudah sepuluh tahun aku tidak menuntut ilmu agama. Aku malu pada namaku yang selalu di sebut-sebut sebagai jawara kampung tak terkalahkan di usiaku sekarang yang masih berumur 27 tahun. Hingga namaku kian santer terdengar ke kampung-kampung lain.

Yadi Jopang, begitulah mereka menyebut namaku. Ketika nama itu disebut, orang-orang yang mendengarnya pasti bakal menutup pembicaraan mereka lalu pergi dari orang yang menyebut namaku. Atau mengunci rapat-rapat pintu rumah mereka bila aku berteriak-teriak di sekitar kampung pada larut malam yang tengah menikmati minuman memabukan. Di telinga mereka, suaraku bagaikan aungan singa jantan yang hendak berburu karena kelaparan.

Mereka mulai segan dan takut padaku ketika pada suatu hari di kampungku pernah terjadi sebuah bentrokan warga antar kampung. Kala itu kampungku diserang warga kampung sebelah. Mereka datang dengan membawa berbagai parang ditangannya. Penyebabnya berawal ketika Taryo, salah seorang warga kampungku yang kepergok sedang bergumul dengan istri warga kampung sana, dan bukan untuk pertama kalinya ia melakukan hal itu. Aku sebagai sahabat Taryo tentu membelanya, dengan cara melawan warga kampung sebelah dan bisa mengalahkan mereka yang membawa kapak atau sebilah belati hanya dengan tangan kosong.

Ternyata senjata mereka tidak bisa melukakiku, hanya rasa gatal saja ketika para jawara kampung lain pernah menancapkannya ke leherku. Kenapa? Sebab sudah lama aku menuntut ilmu kanuragan pada salah seorang dukun. Ia bilang, tubuhku akan tahan senjata apapun asal tiap malam menyulut kemenyan di bawah jendela kamar dan beberapa syarat lainnya; jangan pernah menyebut atas nama Tuhan, menjauhi Tuhan, dan memuja kepada setan. Bila mematuhi semua syarat itu, maka hanya dengan membacakan mantra “Yaahu jabardas-jabardis yartatas keris Soleman, den keya keris mengkana landhepe tangan ingsun” lalu tangan kanan menggebrak tanah, seketika itu puluhan lawan akan terpelanting, kocar-kacir tak karuan.

Lamunanku dikejutkan oleh Joko, sahabatku yang berbadan gemuk dengan di penuhi tato menjarah di kedua lengannya. Ia datang dari balik jendela dengan raut muka yang pucat menjadi seperti warna lampu neon kamarku. Langkahnya yang terburu-buru dan napasnya masih terengah-engah, aku tahu ia pasti membawa kabar buruk.

“Yadi, kampung kita digegerkan dengan kematian Taryo.” katanya yang berdiri di ambang jendela terbuka.
“Apa! Taryo mati? Tapi mengapa kematiannya begitu menggemparkan warga kampung?” tanyaku dengan mata melotot dan terkejut.
“Kematiannya itu telah mengundang banyak kunang-kunang, mereka takut dijemput kematian.” jawab Joko.
            “Ia mati kenapa?” tanyaku lagi.
            “Dikeroyok warga kampung sebelah karena selalu menjaili wanita sana,” jawab Joko. Lalu ia melanjutkan ucapannya, “Sebagai sahabatnya, apa yang harus kita lakukan?”
“Entahlah,” jawabku yang masih tak percaya keadaan ini.

Jadi perihal kunang-kunang yang berkeliaran malam ini di sebabkan karena Taryo mati, orang yang butuh cahaya, orang yang kurang beramal. Aku tak habis pikir kenapa kunang-kunang itu hinggap ke tanganku? Apa benar tentang mitos kunang-kunang jelmaan kuku orang mati dan yang dihinggapinya akan ikut mati? Soalnya kemarin ada kunang-kunang yang menempel di punggungnya. Ah, aku masih tetap tak percaya. Tapi bila itu jelmaan Taryo, berarti ia meminta tanganku membalaskan dendam pada warga kampung sebelah. Itu sebabnya kunang-kunang hinggap di tanganku. Pikirku.
“Lebih baik kita bunuh saja warga kampung sebelah, kita harus balas dendam!” katanya lagi antusias.
“Kau saja, aku takut seperti Taryo!”
“Kau takut mati? Bukankah kau tidak bisa dibunuh!” tanya Joko kembali.
            “Tadi ada kunang-kunang hinggap di tanganku, aku takut kunang-kunang itu penjemput kematianku.”
“Ha ha... Goblok! Mati itu di tangan Tuhan, bukan melalui kunang-kunang!”
            “Jangan bicara Tuhan, hanya mengingatkanku pada kematian!” kataku dengan nada menggertak. Lalu ia beralasan:

“Bukankah tubuhmu kebal terhadap senjata? Dulu pun kau bisa mengalahkan sepuluh jawara yang membawa parang hanya dengan tangan kosong.”
Aku tidak menjawab. Aku hanya tersenyum kecut lalu menengadahkan kepala  ke atas dengan menggertakan gigi, dan mengepalkan tangan.
***

Siang yang panas, cuaca begitu terik membuat wajah orang-orang menjadi seperti pantat kunang-kunang yang bercahaya, dan rawa-rawa telah lama mengering. Tapi tidak pada suasana rumah Taryo yang sedang berkabung. Isak tangis, derai air mata, masih mengalir dari para keluarganya. Ia yang semasa hidupnya lekat dengan dosa, kini telah berpulang meninggalkan dunia. Aku berada di rumah kecil itu bersama Joko, sekadar mengucapkan kalimat bela sungkawa, dan mengamati para pelayat dengan wajah yang di sedih-sedihkan. Aku tahu kesedihan mereka bukan karena kematian Taryo, melainkan karena kegelisahannya terhadap kunang-kunang. Bahkan secara tak sengaja kami mendengar dari salah seorang pelayat mengatakan bahwa kematian Taryo hanya penyebar kunang-kunang.
“Nanti malam pasti kunang-kunang akan semakin banyak berkeliaran, mengingat kelakuan Taryo yang tidak baik, pasti ia membutuhkan banyak cahaya, semoga tidak hinggap pada kita saja, kunang-kunang itu penjemput maut.” kata pelayat itu.

“Lebih baik kita musnahkan saja mereka, biasanya mereka bersarang di tempat-tempat yang tandus dan berawa.” jawab yang lain.
“Tapi alangkah baiknya bila kita berdoa untuk Taryo, kasihan!” aku menimpal obrolan mereka. Namun sepertinya ucapanku itu tak dihiraukannya.

 Jujur, aku sedikit emosi, apalagi setelah mendengar dari omongan seluruh warga, ternyata mereka telah sepakat nanti malam akan menangkap semua kunang-kunang yang berkeliaran. Lantas bagaimana acara tahlilan dan yasinan? Bukankah warga kampung mempunyai tradisi setiap malam mendoakan orang yang mati supaya arwahnya merasa tenang? Apakah menangkap kunang-kunang lebih penting ketimbang mendoakan Taryo? Bila mitos kunang-kunang itu memang benar, dan tak ada yang berkeliaran, mungkin ia akan kekurangan cahaya di alam sana.
“Setuju...”
“Kami semua setuju…”
“Malam ini kita harus menangkap semua kunang-kunang!” teriak semua warga bersamaan.
            “Basmi...”
“Bunuh...”
“Basmi semua hingga tak tersisa. Kami tidak ingin mati!”

Aku mendengar kerumunan warga yang berteriak di lapangan. Sepertinya kunang-kunang sudah mereka anggap sebagai Tuhan, mereka pikir kematian bukan lagi kehendak Tuhan, mereka sudah terlalu mempercayai mitos itu. Namun satu pertanyaanku, bila kunang-kunang berhasil dimusnahkan, apakah mereka bakal terhindar dari kematian? Bakal hidup abadi? Mereka menganggap Tuhan sudah mati. Bahkan Taryo yang telah mati pun mereka anggap sampah; penyebar bencana; pembawa sial; dan itu yang membuatku benci kunang-kunang. Aku tidak akan mati meski dihinggapinya. Hidup dan matiku kehendak Tuhan.

***
            Malamnya aku datang membalaskan dendam pada kampung sebelah, melakukan kerusuhan dengan melemparkan api ke rumah-rumah warga kampung itu yang terbuat dari bilik kayu dan mudah terbakar, membuat kampung itu menjadi merah, seperti neraka, api di mana-mana, dan tentunya hati mereka pun terbakar dengan mengacung-acungkan ancam sebuah parang ke arah kami.
“Tangkap mereka…”
“Kita bunuh mereka…” teriak seluruh warga.

Mereka berlari mengejar kami, seperti halnya warga kampungku yang sekarang sedang menangkap semua kunang-kunang yang berkeliaran. Melihat situasi seperti itu, raut muka Joko menjadi pucat, bahkan aku sendiri pun langsung berlari menjauhinya, dan melesapkan diri di balik semak tak jauh dari sana. Entah kenapa kekuatanku tidak lagi melindungiku, hanya darah yang bercucuran di mana-mana: kepala, tangan, dan baju yang aku kenakan pun robek terkena sayatan sebuah belati.
“Apa karena siang tadi aku menginginkan warga kampungku supaya mendoakan Taryo? Tentunya meminta kepada Tuhan.” bisikku dalam hati. Tanpa sadar aku telah melanggar pantangan dari dukun itu dan kembali mengingat Tuhan.

Di balik semak-semak itu aku hanya bisa mendengar suara Joko yang melolong kesakitan meminta pertolongan: Aduh, ampun, sakit, hentikan, dan terakhir ia berteriak memanggil namaku. Dan setelah itu hening, tak ada suara. Sial. Kenapa di saat seperti ini kekuatanku malah lenyap. Aku hanya bisa bersembunyi ketika sahabatku dikeroyok, mungkin hingga tewas. Kurasakan lututku bergetar, mungkin aku juga takut, pastinya setelah ini giliranku yang menjadi santapan para warga yang geram dengan parang tajam di tangan mereka. Sekelimunan orang masih mencari tempat persembunyianku. Aku membayangkan apa jadinya bila aku tertangkap? Mungkin tubuhku diseret, pentungan dan parang tajam akan mendarat ke tubuhku—bernasib sama seperti Taryo dan Joko—mati di tangan amukan massa.

“Apakah aku akan mati di tangan mereka?”
“Apakah kematianku telah di jemput kunang-kunang?”

Seperti itulah pertanyaan-pertanyaan yang sekarang sedang berkecamuk di pikiranku. Aku berharap mitos itu hanya bualan belaka. Aku tidak ingin mati. Kini yang aku bisa hanya meminta perlindungan Tuhan, bukan pada kekuatan yang tiba-tiba hilang. Aku mengintip mereka melalui celah semak-semak, jumlahnya sangat banyak, mungkin ada puluhan orang yang membawa parang serta pentungan yang siap di arahkan pada tubuhku. Inikah yang di rasakan Taryo dan Joko? Menikmati saat terakhir menghela napas dengan penuh dosa. Kini selain aku percaya pada perlindungan Tuhan, aku juga percaya pada mitos kunang-kunang. Aku telah di hinggapinya. Dan bila aku mati disini, semoga tidak ada kunang-kunang yang berkeliaran di malam kematianku.

Sumedang, 19 Juli 2011

Oleh Ihsan Taufik Hidayat. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris. Menulis puisi dan cerpen. Bergiat di Komunitas SASAKA

Do you like this story?

Tulisan Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar