Revenue

Minggu, 09 Oktober 2011

DI UJUNG PENANTIAN


Di antara sekian banyak rumah di kawasan perumahan padat penduduk di daerah Bandung ini, rumah Astri adalah salah satu rumah yang masih terang benderang. Dikelilingi rumah-rumah lain yang telah senyap dengan penghuni yang terlelap, kesibukan di rumah itu nampak belum mencapai tanda titik. Dari mulai ruang tamu sampai ujung dapur, orang-orang sibuk mengerjakan sesuatu untuk acara besok. Mulut mereka pun ikut sibuk, mengoceh ke sana kemari.
Jauh dari hingar bingar yang terjadi di rumahnya, Astri terdiam membisu di kamarnya yang telah berhiaskan kelambu pernikahan. Ya, besok adalah hari pentingnya. Tetapi malam ini, tak terlihat senyum bahagia di wajahnya, yang ada hanya tatapan kosong. Tatapan itu kemudian berganti menjadi hembusan nafas pelan yang membentuk sebuah senyum kecil. Tapi ia terdiam lagi dengan tatapan kosongnya.
Pintu kamarnya terbuka perlahan, membuat Astri terbangun dari lamunan kosongnya.  Dilihat orang itu tersenyum ke arahnya. Wajah kosong itu pun berseri.
“Kenapa sayang?” dibelainya kepala Astri lembut.
“Nggak, Bu. Astri Cuma lagi merenung aja.”
Ibu masih membelai Astri, anak sulungnya itu, dengan hangat. Senyumnya pun masih mengembang.
"Dulu, waktu ibu mau menikah dengan ayahmu, ibu merasakan hal yang sama dengan yang kamu rasakan saat ini."
Astri langsung menatap wajah ibunya, setengah bingung juga kaget. Dari mana ibu bisa tahu pikiranku?
"Ibu bukannya bisa baca pikiranmu, hanya saja dulu juga Ibu pernah menjalani apa yang anak Ibu ini pikirkan saat ini," tanpa menatap wajah anaknya ibu melanjutkan perkataannya.
Tuh kan, Ibu bisa baca pikiranku, bisik hatinya lagi.
"Mau mendengar sebuah cerita sayang?"
"Cerita apa, Bu?" wajah Astri menunjukkan rasa penasarannya.
Ibunya terdiam sesaat sebelum ia memulai ceritanya.

***

Ini adalah kisah 25 tahun lalu, sayang. Sebuah kisah antara seorang gadis remaja dengan seorang pria dewasa tanggung. Sejak pertama kali bertemu, tak ada hal yang istimewa antara kedua manusia yang berbeda ini, bahkan keduanya tak saling kenal. Perkenalan itu terjadi tanpa sengaja.
Kamu tahu sayang, dulu orang yang punya motor itu masih jarang bahkan motor bekas saja masih susah untuk didapat. Jadi untuk mencapai sekolahnya, gadis remaja itu harus naik angkutan umum. Sayangnya, pada hari itu angkutan umum yang menuju sekolahnya sedang mogok beroperasi, mereka sedang memprotes perubahan trayek.
Di saat kebingungan itu, ada motor butut yang lewat di hadapannya. Tanpa berpikir panjang, gadis itu pun menghentikan laju motornya.
“Kang, ke SMK ya. Udah kesiangan.” Ucapnya sembari langsung duduk di belakang.
“Cepetan, Kang. Aku kesiangan.”
Walau masih dengan wajah bingung, pemuda itu akhirnya menjalankan motornya. Tak ada yang berbicara karena yang satu merasa was-was, sedangkan satu lagi masih bingung. Emang mukaku tampang tukang ojeg ya? Mungkin itulah yang ada di pikirannya saat itu.

“Lalu, apa yang terjadi setelah itu, Bu?”
Ibu terdiam sesaat, mengingat ceritanya.

Seperti halnya kalo kamu habis naik kendaraan umum, gadis itu membayar uang jalan dan segera berlari ke dalam sekolahnya. Sedangkan pemuda itu, ia malah bingung melihat uang di tangannya. Dilihatnya gerbang sekolah yang memuat nama sekolah tempat gadis itu. Ditatapnya juga titik di mana gadis tadi menghilang. Ia kemudian berlalu melanjutkan perjalanan menuju tujuan yang ternyata tak jauh lagi dari tempatnya sekarang.
Setelah kejadian itu, untuk beberapa minggu mereka tak bertemu. Tak ada yang mencoba mencari satu sama lain. Apalagi si gadis hanya menganggapnya seorang tukang ojeg. Tetapi siapa tahu apa yang terjadi kemudian kecuali Tuhan, bukan?
Kira-kira sebulan kemudian mereka bertemu secara tidak sengaja lagi di sebuah gedung pementasan seni. Gadis itu nampak terkejut melihat ‘tukang ojeg’nya pun ada di sana. Walalupun agak malu, gadis itu menghampiri pemuda yang sibuk berbicara dengan teman-temannya.
“Maaf, Kang!” ditepuknya punggung pemuda itu berkali-kali untuk mendapatkan perhatiannya.
“Ya, ada apa?”
“Akang yang tukang ojeg waktu itu kan?”
Mendengar perkataan gadis itu, teman-temannya, walaupun pelan namun bisa terlihat dari wajahnya, kalau mereka menertawakan apa yang baru saja gadis itu katakan. Meskipun malu, gadis itu tetap diam di tempat, namun tersipu. Karena tidak ingin mempermalukan dan dipermalukan lebih jauh, pemuda itu menggiringnya menjauh dari teman-temannya.
“Maaf, Kang. Kenapa teman-temannya ngetawain? Ada yang salah ya?”
Sebelum menjawab, pemuda itu memperhatikan wajah sang gadis sesaat, mencoba mengingat kejadian yang telah lalu.
“Kamu yang waktu itu minta aku jadi ojeg ya?”
“Loh, bukannya Akang emang tukang ojeg?”
Pemuda itu tersenyum mendengar perkatannya, “Sebenarnya saya bukan tukang ojeg, saya mahasiswa tingkat 3 dan hari ini kebetulan jurusan saya yang mengadakan acara di sini.”
Mendengar penjelasan pemuda itu, wajah si gadis memerah karena malu. Mengingat kebodohannya hari itu, wajahnya semakin memerah.
“Aduh, maaf kalo gitu. Waktu itu …”
“Yaa.. sudahlah ga apa-apa. Itung-itung amal aja. Oh ya, uang yang waktu itu…, ini saya kembalikan.”
“Ga usah, Kang. Simpen aja. Anggep aja uang buat ganti bensinnya,” si gadis menolak saat pemuda itu mengembalikan uangnya, “Makasih ya, Kang.”
Ya ... pertemuan kedua itu pun berlalu begitu saja dan tak ada perkenalan lebih jauh. Si gadis itu pun hampir melupakan kejadian di gedung kesenian karena disibukkan dengan ujian yang sebentar lagi datang.

“Bagaimana hubungan mereka setalah itu, Bu?”
“Tak lebih baik ataupun buruk, mereka hanya sekedar kenalan biasa tanpa kemungkinan apapun. Tak terjadi komunikasi apapun, termasuk surat.” Ibu lagi-lagi diam termenung menggali memorinya.

***

Lagi-lagi Tuhan mempertemukan mereka dengan jalannya yang unik. Hari itu adalah hari kelulusan sang gadis dan pembagian rapot bagi anak-anak kelas 1 dan 2. Di sekolahnya akan diadakan pemotretan. Pemotretan atau pengambilan foto termasuk momen-momen langka saat itu dan gadis itu sangat bahagia memperoleh kesempatan langka ini.
Semua anak-anak telah bersiap-siap untuk berpose di depan  kamera, pun si gadis. Ia tengah bercengkrama dengan teman-temannya yang juga sangat ‘excited’ dengan pemotretan hari ini. Tawanya terhenti saat tak sengaja ujung matanya menangkap wajah yang tak asing. Orang itu membawa kamera di tangan kanannya dan tripod di tangan kirinya, tas besar ia selendangkan di bahu kirinya. Ya, tak salah lagi, pikirnya.
“Sebentar ya, ke sana dulu!” gadis itu beranjak dari kerumunan teman-temannya yang beceloteh.
Lagi-lagi, ia menepuk punggung pemuda yang membelakanginya. Saat membalikkan badan, gadis itu tengah menyunggingkan senyum ke arahnya.
“Eh, kamu lagi. Sedang apa di sini?”
“Akang lupa, saya kan emang sekolah di sini. Sekarang hari kelulusan saya.” Ucapnya sumringah.
“Oh kelas 3 ya? Kalau begitu, bisa bergabung dengan teman-teman lainnya? Kita akan ambil gambarnya.”
Gadis itu kembali ke kerumunan teman-temannya yang kini menatap ke arahnya.
“Siapa?”
“Yang dulu pernah nganterin,” jawabnya singkat.
Mereka hanya ber ‘ooh’ saja mendengar perkataan si gadis itu. Mendengar aba-aba dari juru potret di depan, semua langsung berpose yang terbaik untuk album sekolah mereka.
Beberapa hari kemudian, tanpa diduga dan tanpa merasakan pertanda apapun, pemuda itu datang ke rumah si gadis. Saat si pemuda datang, walau dengan tanda tanya, tamu itu dipersilahkannya masuk.
“Ibunya ada?” tanya pemuda itu sesaat setelah ia dipersilahkan masuk.
Si gadis malah tediam tak memberi tanggapan “Sebentar ya, Kang. Saya bawa minum dulu,” sambil menundukkan kepala ia menghilang ke arah dapur.
Meskipun bingung dengan sikap si gadis yang tiba-tiba berubah saat ditanyakan tentang orang tuanya, ia tak berpikir hal yang lebih jauh lagi. Saat menunggu dalam diam, seorang laki-laki yang berumur 30 tahunan keluar menemui pemuda itu. Setelah saling bersalaman dan berkenalan, lagi-lagi pemuda itu menanyakan keberadaa orang tua sang gadis.
“Maaf sebelumnya, sebenarnya orang tua kami sudah beberapa tahun lalu tiada,” ucap lelaki yang meruapakan kakak si gadis itu.
“Oooh…Maaf, Kang.”
“Tak apa, itu memang sudah kehendak Tuhan,” ucapnya bijaksana. “Sebenarnya, ada keperluan apa datang kemari?”
Merasa mendapatkan celah, pemuda itu mengutarakan maksud kedatangannya ke rumah sang gadis. Sungguh sebuah kejutan untuk si gadis dan kakaknya. Si gadis yang menguping dari ruang sebelah hampir saja menjatuhkan nampan yang dipegangnya, sedangkan kakaknya terpaku untuk sepersekian detik.
“Apa kamu sungguh-sungguh?”
“Saya sungguh-sungguh, walaupun hanya bertemu beberapa kali dalam beberapa kesempatan yang singkat saya yakin dengan keputusan saya.”
Dari sinilah kemudian mengalir cerita yang membuat si gadis tersipu dan sedikit kaget. Pemuda itu menceritakan bahwa sebenarnya sejak pertama mereka bertemu secara tidak sengaja di halte bis itu, ia merasakan sesuatu dalam dirinya. Memang tak ia tanggapi pada saat pertemuan pertama. Namun, setelah mereka bertemu untuk kedua kalinya perasaan itu muncul lagi dan membuat dirinya sendiri bertanya-tanya.
Ia sebenarnya sudah mengetahui sedikitnya bagaimana sifat dan sikap gadis ini dari berbagai sumber yang bisa dipercaya. Bukan untuk bermaksud buruk, hanya saja dia sendiri harus memantapkan diri dengan pilihannya serta meminta restu kedua orang tuanya sebelum bisa melangkahkahkan kaki dan menemui si gadis. Pilihannya semakin mantap mengingat gadis itu sekarang telah lulus sekolah.
“Ketika saya telah menetapkan pilihan, saya tidak main-main dan tidak mau membawa sebuah hubungan ke arah yang tidak jelas. Oleh karena itu Kang, saya lebih memilih hubungan ini,” pemuda itu menyudahi ceritanya.
Kakak si gadis menghembuskan nafas sesaat. Ada ekspresi kaget dan takjub yang terlukis di wajahnya.
“Mengenai masalah ini, semuanya saya serahkan pada adik saya yang akan menjalaninya. Tetapi sebenarnya, rencananya ia ingin melanjutkan sekolah lagi setelah ini. Mungkin ada baiknya kamu bicarakan dulu dengannya.”
“Kalau begitu, bolehkah saya mengajaknya bicara sambil jalan-jalan?”
“Tunggu sebenatar!”
Kakak si gadis masuk ke dalam dan mendapati adiknya tengah duduk mendengarkan di ruang itu. Wajahnya menunjukkan rasa kaget namun senang sekaligus bingung. Ditatapnya wajah sang kakak.
“Kak?”
“Keluarlah, temui dia!”
Walaupun masih sedikit shock, ia keluar menemui pemuda itu. Dilihatnya wajah lelaki ‘ojeg’nya yang kini tersenyum, tiba-tiba saja wajahnya memerah dan hatinya berdegup lebih kencang.
“Bisa kita keluar?”
Ia mengangguk tanpa bersuara. Kini ia jadi bingung dan salah tingkah.

“Lalu bagaimana setalah itu, Bu?”
“Ya, mereka berdua akhirnya kelaur dan melanjutkan pembicaraan yang laki-laki itu sampaikan pada kakak sang gadis,” jawab Ibu Astri.
“Apa yang gadis itu berikan sebagai jawaban?”
“Dia tidak memberikan langsung tapi dia malah balik bertanya, pertanyaan yang sebenarnya pernah menjadi pertanyaan si pemuda. Gadis itu bertanya ‘Apa kamu yakin dengan pilihanmu?’ Tapi pemuda malah tersenyum sesaat sebelum menjawab pertanyaan si gadis, ia pun menjawab …”
“Kamu tak akan pernah yakin jika tak berusaha meyakinkan dirimu. Langkahmu hanya akan terhenti di sana hingga akhirnya penyesalan datang menghampiri kehidupanmu. Dirimu tak akan berjalan begitu saja karena ada pilihan yang harus kau pilih untuk meneruskan kehidupan, hanya dengan meyakinkan diri bisa menjadi salah satu usaha untuk terus melanjutkan roda kehidupanmu. Jika kamu ingin berhenti di sini saja, lalu apa yang kau harapkan dari kehidupan? Tenggelam dalam ketidakyakinan?”
“Ayah!” Astri membalikkan badannya sedangkan sang ibu hanya tersenyum menatap suaminya yang muncul tiba-tiba.
“Kayaknya lagi ngomong serius?”
“Ibu hanya sedang bercerita saja, Yah.”
“Kenapa ayah tau kata-kata yang akan diucapkan pemuda itu?”
“Bagaimana ya…? Ayahmu ini kan orang hebat ha…ha…” goda ayahnya.
“Ayaaahh…”
Ibunya tersenyum melihat hal ini sedangkan Ayahnya tertawa melihat Astri yang merajuk.
“Kamu mau tahu yang sebenarnya?” tanya Ayahnya masih dengan sedikit menggoda.
“Sebenarnya anakku, pemuda itu adalah ayahmu ini dan gadis SMA itu adalah ibumu,” jawab sang Ibu masih dengan senyumnya.
Astri terdiam sesaat tak percaya dengan apa yang barusan meluncur dari mulut ibunya. Ia menatap sesaat pada ibunya dan berpaling ke arah ayahnya.
“Nggak nyangka ayah bisa berkata seperti itu,” ujar Astri sembari memeluk ayahnya, “Lalu, kemudian setelah itu apa?”
“Ayah dan ibumu ini menikah,” jawab ibunya.
“Detailnya?” Astri merajuk manja.

Setelah mendengar jawaban itu, si gadis dan pemuda itu pulang ke rumah si gadis, mungkin lebih baik kita sebutkan namanya. Gadis itu, Nining, langsung masuk ke dalam setelah berpamitan sebelumnya. Sebelum pergi, pemuda itu, Rustam, menemui kakak Nining, yaitu Om-mu.
Rustam menegaskan maksudnya dan akan segera datang setelah mendapatkan jawaban dari Nining. Kamu tahu sayang, mengambil keputusan seperti ini bukanlah perkara mudah. Ditambah lagi dirimu hanya seorang anak yang baru lulus sekolah SMA. Belum terpikirkan sebelumnya tentang dunia pernikahan dan warna warninya. Tapi, mengingat kata-kata yang ayahmu ucapkan waktu itu membuat Ibu menjadi yakin dengan pilihan Ibu.
Ibu tahu, sebenarnya ayahmu pun merasa kurang yakin dengan tindakannya mengingat saat itu dia masih seorang mahasiswa dan hanya memiliki kerja sampingan, belum permanen. Tapi keyakinan itu menguat saat mengingat gadis yang menjadikannya tukang ojeg.

Ayah dan ibunya menyudahi cerita itu, ditatapnya kedua orang tua yang telah membimbing dan merawatnya hingga dewasa. Mereka pun memikirkan apa yang ada di pikirannya saat ini. Yakinkah aku melangkah ke tahap ini?
Dipeluknya ayah dan ibunya bergantian, “Terima kasih, Yah. Terima kasih, Bu.” bisiknya.
“Ya sayang, kamu pun harus bersyukur memiliki Hendri sebagai calon suamimu. Dia tidak hanya bisa meyakinkanmu, tapi juga kami sebagai orang tuamu,” Ibu memeluknya lebih erat.
“Usiamu sudah lebih matang Nak dibandingkan ibumu yang saat itu berumur 19 tahun, Hendra pun begitu. Waktu ayahmu menikah dulu, telur di angka 20-nya baru pecah sedangkan Hendra, dia jauh lebih matang dan mapan di usianya yang pertengahan 20 ini. Apalagi kalian telah mengenal dengan baik satu sama lain” ujar ayahnya diselingi canda.
“Satu lagi Yah, apa yang membuat Ayah yakin memilih Ibu menjadi pasangan seumur hidup? Kalian kan hanya bertemu beberapa kali saja, sekitar tiga kali kan? Dan semuanya tidak sengaja,” Astri mengutarakan rasa penasarannya itu.
“Bagaimana ya…? Mungkin bisa dikatakan hal itu bukan terjadi oleh seberapa banyak kamu bertemu dan dengan cara apa. Yang terpenting apa yang kamu rasakan dan kamu lihat dari orang yang kamu pilih, sayang dan setelah sekian lama kamu bersamanya, kamu siap dan bersedia menerimanya. Mungkin dulu Nining itu hanya seorang gadis yang menjadikan Rustam seorang tukang ojeg tetapi jika perasaan dan keyakinan itu telah datang serta rencana Tuhan telah berbicara, apalagi yang bisa kamu berbuat selain menerima dan menjalaninya?” ucap Ayahnya diselingi canda.
“Ayah ini, masih saja bisa menggombal,” Ibu tersipu malu mendengar kata-kata itu.
Astri hanya tersenyum melihat tingkah kedua orang tuanya. Di malam akhir masa lajangnya, kedua orang tua Astri mendampingi. Bersama-sama mereka berdoa yang terbaik untuk anak pertama mereka, Astri pun menguatkan niatnya dan meyakinkan dirinya.

Oleh Efa Faozizyatussa’adah. Merupakan anak sulung dari empat bersaudara ini adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris kelahiran 21 tahun lalu di kota Bandung. Berkat hobi corat coretnya, cerpen ini bisa tercipta. Saat ini sedang berusaha menyelesaikan pendidikan S1-nya di Universitas Islam Negeri Bandung.


Do you like this story?

Tulisan Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar