Bila taqdir
kematian pikiran yang tersimpan dalam keberadaanku ini
Terhitung dengan seberapa banyak kuterlupa tentangmu
Alangkah
siksa-siksa yang paling menyakitkan ini, akan berupa sesuatu
Yang memutuskan perasaanku dengan perasaanku yang lainnya
Seumpama memenggal helaan napas satu
Dengan
helaan yang lainnya, gila!
Seumpama
kekeruhan dari sumber mata cahaya yang memerihkan mata;
kehilangan
jejak-jejak dan isyarat-isyarat wujud asal muasal penciptaanku
Atau
semungkin aroma-aroma dan kelezatan tuak tuak,yang tak mungkin
Kunikmati lewat bentuk kenangan yang rikuh sekalipun, maka
Kekhawatiranku
ini tetap saja takan tenggelam dalam kepingan rasa
Yang tak bisa kau duga
Sampaikah
pertemuan itu tiba, dan dijamu iring-iringan waktu yang janggal ?
Dengan
sesajian sihir sayap sembilan puluh sembilan hati kelelawar dewasakah ?
Maka aku
telah terbiasa dengan tumpukan catatan kelam perayaan-perayaan
Dan
penguburan manusia-manusia prematur di kening terhitamku
Ah
pikiranku, mungkin kau adalah sayap-sayap samar atau jembatan-jembatan gelap,
Tapi, hari
ini aku ingin mengajakmu untuk menepi pada satu jazirah
Yang tersimpan di nadiku, maka akankah ungkapan kerinduan ini
Membuat binatang-binatang malam cemburu dan tersinggung karenanya,
lalu dengan upacara apa kuwujudkan
semunya itu mengelilingiku bagai ikan-ikan?
Setelah ini
kuharap malaikat-malaikat air akan menanggalkan pakaian kepanaanku
Dan mengubur
pandanganku untuk buta terhadap gurun-gurun pikiran yang gersang
Sebagaimana
waktu menerjemahkan tubuh gerimis di antara lekukan lembah-lembah
Sebagaimana
kekhusuan ditelanjangi pembakaran kemenyan
Yang dijilati lidah-lidah istirahmu
Memburu
sesuatu yang ajaib dari kaburnya khusu terhadapmu,
Adalah
jeram-jeram penantian dan singasana yang terbuat dari liang lahat menganga,
Ah lempung
dan tanah yang merah
Seperti
kujang-kujang tanpa sarung, yang siap menusuk kecemasan panas deritaku
Maka siapa
yang akan kedinginan dalam cuaca panas yang runcing,
Jawablah olehmu sendiri !
Maka siapa
yang akan kebisingan dalam kesunyian yang lengkap
Jawablah olehmu sendiri !
Wahai
manusia pencipta tanya dan pencari kedamaian yang bijak !
Karena mata
air keyakinan ini takan terbit di antara ruas keheningan yang ringkas
Karena suasana
yang lebih ajaib ini takan terjalin di setiap sudut kesanggupan
Jiwa yang kerdil
Seandainya
kemesraan pagi bukan tangan kemurahan alam
Yang bisa menutup sakitnya cuaca malam
Dan
kecemasan cuaca malam bukan telapak pembebas Keaiban
Dosa-dosa cuaca siang yang gerah
Tentu
kenistaan manusia akan mudah ditentukan dengan lentik telunjuk langit
Yang memihak
kemujuran nasib dan memihak keberpihakan objek pikir yang pana !
Lalu apa
yang terjadi atas rindu yang dikepung dan digelayuti jutaan kesabaran?
Mungkin
seumpama pergantian malam dan siang hari
Yang tercipta dengan benih-benih cinta yang terbelah,
Tapi
semestinya di situlah persemaian kesabaran tumbuh bertunas,
Tapi semestinya dari situlah pucuk-pucuk rasa sukur bermunculan
Lantas
telaga apakah yang bisa mengubah lidahku tetap lembab dan terlipat ?
Bahkan keterpakuan norma-norma apakah yang mampu menjamu pernikahan malam
Dan tersibaknya mushap-mushap di angkasa, memberkatiku
Dari sabtu
yang tak bisa kupanggul; dari negeri asalku,
Aku kembali mendekati negeri ajaliku,
Dengan dua
lambaian tangan purba dan jerit perahu-perahu yang ramping,
Dalam sayap-sayap kasar yang tergantung di ranting-ranting pohon masa lalu
O, raja
manusia, o raja yang menguasai masa lalu dan kekinianku,adipati-adipati
Pemilik
hukum dan kebijakan, o, para aulia yang bersembunyi mengintipku,
Dekaplah aku
Bekalilah
aku kehebatan hati, jiwa dan desauan ruhmu
Untuk
mengecap setiap rasa cahaya yang tersimpan dalam tapa brata jiwa telaga
Dalam
nama-nama rindu baru yang terlindung,
Dalam pesanggrahan kramat yang ma'rifat
Kamar-kamar
pengap ini, kuburan-kuburan tua ini,
Adalah bidak-bidak perahu waktuku yang oleng
Maka
perjalanan singkat ini harus kuawali dan kuakhiri
Pada jenjang tubuh halus alam-alam kebendaanmu
Seperti
ruang dunia yang tak siap aku masuki,
Ah kau yang tergopoh-gopoh dan berkalbu retak
Yang
akhirnya hanya kau sendirilah yang akan menuai martir penyesalanmu
;Mungkin
adalah birahi matahari yang lebih tua
Atau mungkin sifat rembulan yang pesolek
Tapi adalah
hawa yang kau jadikan tuhanmu
Hanyalah
bongkahan sahwat yang sesaat lagi terkulai !
Maka bila
nasib mujur merangkulmu,
Apa yang akan kau tanam sehabis waktu menggilingmu,ah
Kecuali
pohon-pohon permintaan dan buah-buah jatuh, prasangka
Seburuk kotoran saja yang selalu kau bawa di lambungmu !
Anjing-anjing
menjilat babi, Babi-babi menghasut buaya,
Buaya-buaya merayu anjing dan anjing-anjingpun mengendus Ke arahku !
Kelelawar tanpa mata ! jangan kembali pada pagi
Maka
hanyalah jantungmu,sumber napas rohani dan tetesan jiwa
Kedasyatan zam-zam yang melimpah, semuanya ke mataku saja !
Tak sanggup
kata-kataku mengangkat mutiara merah dan marjan
Yang tersembunyi di balik dadamu
Tak mampu
tulisan-tulisanku memangkas seluruh hutan-hutan perawan
Yang tertanam di atas pahamu
Tapi
berhentilah menangisi cinta yang kau tinggalkan
Karna
bentangan jalan-jalan ini adalah tempat yang akan mempertemukan
Dua laut
kesakitan hati, untukmu, dengarlah telagaku,
Untukmu dengarlah lautku
Dengarlah!
wahai jiwa yang bersemayam dalam darah merahku
Debu-debu
rumah waktuku adalah engkau
Yang menyelimuti sela-sela tubuh nusa dermagaku
Gema-gema gemerincing tombak ini adalah engkau
Yang merawat jari kelingking dan jamrud ingatanku
Adalah kesaksian
pesangerahan nusa dan keharuan air mataku yang tak lazim,
;Kampungku,
kenapa kau sembunyikan keyakinanmu dalam simbol-simbol
Iman yang ditunggangi budaya dan mitos-mitos
Di mana
keindahan kharisma parasmu seperti dipertaruhkan
Dengan wajah-wajah tua yang rawan
Mungkin
kekosongan adalah riak sejati telaga ini,
Karena adalah kita; yang tak lebih suci dan berisi
Dari helaian
riak-riak telaga dan lelehan lumpur yang dijilatinya
Embun-embun
pikiran tetap bertapa dan merahasiakan harta-harta misteri
Dari
kelezatan setetes kesabaran, Keheningan mengalir dan merampas
Topeng-topeng dunia dari wajah-wajah molek manusia
Adalah
hakekat telaga Yang harus kuterjemahkan lagi di kemudian hari
Seperti
engkau yang mengalir ke jantungku,
Engkau setitik mata air zam-zam yang kuibaratkan
Sebagai ruh
bagi kehadiran lautan dan ikan-ikan yang menghindari
Jaring-jaring dosaku
Atau justru
engkaulah setitik nila yang kan kujadikan cermin
Sekaligus
tiang penyangga dan tujuanku, tapi tetaplah bertapa
Sebelum kau keluarkan kata-kata apapun dari lidah pualammu
Balairung
yang kecoklatan, dermaga nusa yang tersenyum semanis dewi-dewi
Iris-irisan
riak ombak kecil dan senja hari yang mengalun bagai gamelan
Yang tersusun dan hadir melebihi perjalanan yang kurencanakan
Tapi
nyanyikanlah kidung-kidung bathin ini
sepenuh angin yang membelah malam
Agar dingin
hari tidak menjadi perniagaan gelap
Yang membandingkan cahaya matamu dengan kesementaraan
Lihat
tanah-tanah penjelajahan telah terbakar udara panas
Dan janggutku yang terbakar ! tapi biarlah orang-orang tetap berangkat
Untuk membicarakan apa yang tak kuimani !
Dari
sepertiga usia sayapku mimpi-mimpi telah merebut jejak kakiku untuk bumi
Dari
sepertiga usiaku ternyata bumipun hanya mencemburui
Sayap-sayap
kecil pinjamanku
Perahu-perahu
yang melukis dermaga dan dermaga yang menjemput gelombang
Berputar-putar
bagai baling-baling, upacara nyangku yang sumringah dalam hening
Diabadikan
sebuah tangis dewasa dan pagi yang tiba menghampiri matamu
Dan
harapan-harapan baru ditandai sepenuh napas layar-layar yang menunggumu
Perahu yang
tak usai berkembang, nusa yang ringkih tersenyum
Apakah semua
ini pirasat-pirasat yang memanggilku tadi malam ?
Tapi aku dan
burung-burung malam,akan menggali kuburan sendiri
Dalam aroma mistik tanah ini
Sebatang
telaga hijau, auman harimau, setangkai arus kekosongan
Yang melayang bersama sayap kelelawar sunyi
Tampak semakin berderu seperti kumparan remang-remang ingatanku
Yang dibentur batu-batu, seperti gemuruh gema langkahmu,
Yang mempercepat kehancuran rawannya waktu,
Lalu
karamlah keniscayaan ini dari kebutaanku
Dari
rintangan yang telah kita pangkas dan jalan-jalan baru yang melambai
Kelegaan
mengiringi lembaran cuaca
Untuk
maghrib terakhir yang telah mengilhami telaga dan hutan-hutan ini
Di pinggir
jalan-jalan masa laluku Kehampaan menelanjangi dirinya sendiri
Dan kabarmu
menjajakan separuh bentuk Usia angin yang tak sempat kujelajahi
Mungkin pada
jalan lengang dingin inilah waktu dan angin
Akan menyembunyikan tubuhnya padamu
Pada
batas-batas rasa antara telaga dan laut pengetahuan
Pada
Batas-batas antara sukacita dan dukacita, napsu
Yang
seringkali menyerupai bayangan yang paling kelabu
Tak terasa
waktu terjulur Pada ketakpastian bayangannya
Kenangan
menjadi celah Yang robek tertancap tombak-tombak cahaya
Ingatanku
mengambang di angkasa rasa perihku yang mengalir ke muara
Menciptakan
negeri-negeri pikiran biru yang kemerahan
Apa yang
telah kuberikan padamu ternyata itulah kesombonganku
Apa yang
pernah kuraih darimu Ternyata itulah jalan keputus asaanku
Bila berkah
orang-orang suci selalu dikibarkan dari tempat yang lebih tinggi
Maka
perumpamaan lain dari genangan baru atau telaga
Yang tak bisa menggenangi tempat itu
Adalah
perumpamaan kesombongan yang tak bisa disentuh kerendahan cahaya
Tetapi bila
berkah orang-orang suci dinyalakan dari tempat-tempat
Yang lebih gelap, maka alasan untuk membenci orang-orang
Yang kita anggap Lebih kotor
Adalah
alasan yang dinyalakan kebodohan !
2012
Ilafat
Salamandra lahir di Panjalu 15 Sya'ban
tahun Kalong. Minat Seni Rupa dan Ulin ka Laut Cibeureum.