1
Kota yang berdenyut,
melintasi batas kelelahan manusia.
Lampu-lampu menyeruak
ke seluruh koridor dan trotoar
seakan membakar
jasadku!
Tak ada denyut
terakhir selain denyut jantung beton
yang telah memuai di
pusara kota ini. Kesadaranmu
barangkali hanya
kepada seorang gadis tuli tanpa ibu.
Dari jemarinya aku
tahu betapa kokohnya sebuah bahasa.
Diam-diam, dadaku
menyimpan ombak biru
gelombang pembawa
pesan dari luasnya kenyataan laut.
Kutukan bagi siapapun
yang melubangi tanah ini dengan peradaban
yang tak mungkin
menyisakan terumbu karang
mahkota masa depan
anak-anakku.
Aku telah mengira: tak
mudah mencapai langit
membangun sebuah kota
cahaya. Namun aku tak lebih dari manusia.
Setelah semuanya
terjadi, dimulai dari lampu-lampu yang menyeruak
seperti menggodaku
untuk menghabiskan samudra atau memeras matahari.
Mungkin aku tak sadar
bahwa kota ini tak hanya untuk kepuasanku
terbahak-bahak di
bawah lelahnya matahari. Ada beberapa orang
yang harus
kupertahankan demi sebuah hasrat yang telah dilepas
ke udara. Namun,
keuntungan apa yang didapat
saat sejarah nenek
moyangku terhanyut bersama samudra?
Barangkali kota itu
tak menerima anak tuli yang menggunakan
sepuluh jarin
untuk mengatakan bahwa
yang berani berdiri
dan mencakar siapapun
akan kembali abadi di laut ini.
Laut yang telah
menghanyutkan ibu dan aku.
Gadis itu berpura-pura
tak tahu kenapa jasad ibunya membeku.
Kenapa ia rela berbagi
tubuh pada gemerlap kota selama 301 hari.
Gadis itu menyebut apa
yang telah kau lakukan pada kota ini
sehingga sesajen
waktu, pasir laut selatan, atau segala macam ritual
dengan sisa darah yang
menjelma segala bentuk balung menjauh.
Barangkali, mimpiku
lari-lari, tanpa memperdulikan desah kota
yang hanya akan meninggalkan
sebuah ingatan.
2
Di ketukan ketiga,
pintu terbuka.
Hanya angin
matahari larut
bagimu, laki-laki.
Seorang lelaki tua
memikul matahari, menuju hutan batu.
Selatan Maroko
tergambar jelas pada wajah tandusnya
negeri yang masih
menyisakan keluarga gembala
di antara bukit-bukit
yang melepuh. Lelaki tandus itu
bercerita tentang
punggungnya yang dijumpai orang asia
menghadiahi 299
magasin. Ayah gembala menawarnya
dengan seekor kambing
dan 501 dirham, meminta hadiah itu
menjaga kutukan hutan
untuk daging-daging keluarganya.
Dengan memperlihatkan
sisa gigi si lelaki tandus
menunggu mereka
menyulap tawaran kambing itu
menjadi 500 dirham.
Namun di luar, pada batu
dia bersepakat
mengangkat kembali matahari.
Tiga magasin berebut
batu dengan angin.
Apa yang memberkatimu
selain doa dan
matahari?
Magasin-magasin dan
taman kambing itu menumpuk
di atas kepala anak
tertua gembala, menghantam batu-batu dan bukit.
Ya, yang tua selalu
ingin pertama. Namun di situ, batulah
yang menentukan anak
gembala muda sebagai pejinak magasin
pelubang angin. Ayah
gembala tak pernah tahu kata apa
yang pantas bagi
anak-anaknya. Lelaki tandus itu
menaruh kembali
magasin dengan bijaksana.
Kata apa yang mampu
mengikat
semua yang terlihat?
Di samping rumah batu
yang lain, tempat ayah gembala
menyimpan iba dari
perawan hutan. Anak tertua gembala
membuka pagar kambing,
mengeluarkan daging keluarganya
untuk diawetkan di
atas hutan. Inilah pekerjaan anak gembala
penakluk matahari.
Namun, yang muda selalu liar:
si penjinak angin ini
melepas hasrat ke udara
melewati celah batu.
Di balik penyimpanan iba
perawan hutan
membiarkan pejinak angin itu
menikmati cokelat
tubuh dan sepasang klakson
yang menandai aba-aba
bagi matahari
barangkali nantinya
menerkam keluarga gembala.
O, sanjunglah penguasa
hutan ini: anak tertua gembala
menggusur matahari
dari tengkuk adiknya.
Ribuan kambing,
seperti meleleh di bibir tebing.
Perempuan adalah
bentuk liar
dari matahari.
Kutukan hutan yang
mengendus daging-daging itu
dan si penjinak angin
tak bisa menusukkan magasin
pada bulu-bulu kutukan
itu. Kokang dilepas
tak ada yang tewas. Si
pejinak angin malas
dan menggerutu,
menghampiri kaki batu
duduk dan menunggu
tiga unta di telan bukit
memijat senapan lelaki
dan paha kananya
dengan nafas
bertalu-talu.
Kedua anak itu
memainkan matahari
sayap-sayap api.
Anak gembala selalu
tahu
kebenaran manusia
sejati
penakluk matahari.
Anak tertua gembala
merasa dadanya seluas jidat kambing
bangkit dan sekali
lagi menusukkan magasin pada bukit-bukit
membuat kepul,
mengotori telinga si pejinak angin yang bergegas
ke arah kakaknya
dengan nafas lebih tertahan. Si pejinak angin
merebut kebodohan
kakaknya, menggerakan batu di bukit itu.
Namun, anak tertua
gembala tak mengakui jika kebodohannya
sepanjang 31
kilometer. Di tempat yang lebih tinggi
dia meminta adiknya
menggaris kebodohannya itu di kaki bukit
dan membiarkannya
bercampur dengan butiran pasir.
Anak tertua gembala
berdiri lebih tinggi;
magasin terlihat
ditelan angin; tak menjerit.
Si pejinak angin
murung, tubuhnya sekecil kotoran kambing.
Kedua anak dan ribuan
kambing itu
seperti lahar pasir
menuju rumah batu.
Tak ada manusia yang
sudi lari
kecuali saat dirinya
pencuri.
Ibu gembala dan
perawan hutan datang
menanyakan kenapa
daging-daging itu lebih cepat dibawa pulang.
Ibu gembala itu
menyuruh mencuci kemalasan mereka sendiri
dan kembali membawa
daging-dagingnya ke bukit itu.
Tapi apa yang lebih
kuat dari ketakutan manusia meskipun
menghadapi ibu mereka?
Ibu gembala, dengan tatapan
kepada pejinak angin
di antara sepasang hitam mata
anak tertua gembala,
yang masih meninggalkan senapan lelaki
di kaki batu, di bukit
itu.
Memungut sisa
hari-hari
menghitung langkah
ayah gembala.
Langit, tak lagi
menyala.
Kemalangan selalu
singgah
pada ketakutan dan
retak tanah.
Di depan tungku,
keluarga itu melahap daging di nampan
ayah gembala dengan
perjalannya yang dihadang berita
tentang darah seorang
wanita. Serigala-serigala Maroko
menanyai apakah mereka
adalah pemilik magasin itu.
Di sudut kiri, anak
tertua gembala menatap pejinak angin.
Anak-anak lari di
shubuh hari, membawa magasin utara.
Hanya angin
jejak terlupakan
jejak laki-laki.
3
Manusia selatan
pesisir, memadamkan mimpi-mimpi
yang tak pernah
berakhir. Mengusir api di kepalaku
dengan butiran pasir
mampu meneggelamkan segala kemegahannya
hadiah dari laut yang
lain. Ombak, ombak yang mencakar
ketika angin membuka
tutupnya tepat di mungil tanganku.
Sebab kita sedang di
lautan pasir yang segalanya
harus melewati dahaga,
menyisakan matahari di ubun-ubun.
Di laut itu, aku
menemukan perempuan-permpuan
yang tubuhnya
dibungkus kain hitam. Tak ada bentuk payudara
atau bokong yang
menyembul selain sepasang mata
yang mengawasi
pasir-pasir di antara kedua kakinya yang tenggelam.
Aku mengira, mereka
mirip seragam malaikat kematian.
Namun di laut itu,
hitam menandai malam yang tak pernah terbakar
oleh matahari. Dan
malam adalah di mana para kekasih menasbihkan
syair yang merindukan
cahaya demi membuka kehidupan manusia
ketika segalanya
nampak lelap; sejak matahari membakar seluruh api
dalam dada mereka. Dan
hitam membungkus mataku
perlahan-lahan.
Kupikir itu adalah kematian
menjadi sebuah peluru
yang kini menembus bahuku!
Tiba-tiba, aku ingin
melempar ketakutan dan membiarkannya rata
dengan butiran pasir,
namun aku tak pernah tahu apa yang akan dibawa
oleh angin selatan.
Jika saja keinginan manusia dibatasi
mungkin aku tahu kapan
laut akan menghampiri negeriku.
Dan inilah yang
kusaksikan: ombak selalu jadi nafas yang tak pernah
terampas, meskipun
kucuri penghuninya berkali-kali.
Tapi di daratan, aku
masih saja ketakutan dengan darah
yang meloncat-loncat
dari bahuku, padahal inilah rencanamu
inilah hijrah
pertamaku. Oh, sebenarnya apa yang kuinginkan?
Kerandaku telah sampai
pada sebuah desa, yang sebenarnya di situ
aku semakin dilema
tentang warna-warna. Adakah kematian
yang memberiku cerutu
pelarut luka sampai aku tak lagi mengingat
apa yang kutakutkan?
Di paru-paruku kini telah ada doa-doa
yang sebenarnya.
Barangkali malaikatku yang sedari awal
termangu menatap
lelapku, seperti ada kemiripan
dengan ibu gadis itu,
yang tertidur dan tak pernah bangun lagi.
4
Anak-anak selalu
penghias utama alamku.
Apa yang kupertahankan
kini bukanlah benda-benda
yang mengkilap. Merah
pipi mereka melebihi mutiara
kerang lautan.
Segalanya menjadi nyata ketika aku sadar
ada lubang-lubang
selain mulutku yang harus dipenuhi.
Apapun yang membuat
mereka mengeluarkan air laut
dari matanya akan
melukaiku seraya mengatakan
bahwa tak ada lagi
yang berani mengotori matanya
selama aku memeluknya.
Entah cinta atau diriku terlalu lama
bersama mereka dan
merasa bahwa ada sesosok manusia kecil
yang keluar dari igaku
dengan tangan meronta-ronta
seakan-akan milikku
sepenuhnya. Inilah firman Tuhan paling indah
dari tangisan
pertamanya, dan mampua melupakan siapa
yang harus membayar
kadatangannya: kematiankukah?
Namun semakin lama
tangisan itu memudar oleh matahari
yang selama ini
menemaniku mencari apa yang akan membuatku
bertahan lebih lama
dari kematian. Aku pun mengira kota cahaya itu
akan tumbuh sebesar
alamku, tak ada lagi kekhawatiran.
Tak ada lagi
mimpi-mimpimu itu. Ambisi hanya berdenyut
melintasi batas
kelelahanku. Melintasi rumah batu yang lain.
2011
Galah Denawa. Lahir di
Sukabumi, bersenang -senang di Bandung.