Berbicara mengenai Sastra Islam, khususnya
bagi saya pribadi, masih menyisakan sejumput tanya yang mengharap segudang
jawab. Mengapa demikian? Karena sejujurnya, istilah Sastra Islam merupakan
sebuah istilah yang problematis. Di satu sisi, betul adanya bahwa apa yang
kemudian hadir dalam kesusastraan Arab pasca kelahiran Islam (berikut
perkembangan dan kejayaan kekhalifahannya di masa Umayyah dan Abbasiyah sampai
masa sekarang), sedikit banyaknya sangat terpengaruh oleh Al-Quran, baik dari
segi bentuk maupun isinya. Dalam konteks ini, maka istilah Sastra Islam dapat
dengan mudah dilekatkan dan didefinisikan, karena Al-Quran sebagai sumber
otentik ajaran Islam diturunkan oleh Allah dalam bahasa Arab. Namun, di sisi
lain, ketika istilah Sastra Islam didefinisikan dalam kaitannya dengan
kategorisasi sastra sebagai disiplin ilmu, maka istilah ini pun menguap, tidak
jelas, hanya menyisakan titik-titik air yang tersebar di pikiran para sastrawan
dan ahli sastra, tanpa adanya keterangan yang jelas. Ini misalnya terkait
dengan pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah Sastra Islam itu adalah sastra
Arab? Apakah Sastra Islam itu adalah sastra yang ditulis oleh orang Islam
(Muslim) walaupun bukan berbahasa Arab? Ataukah Sastra Islam itu sastra yang
berisi prinsip-prinsip dan ajaran universal Islam walaupun ditulis bukan oleh
orang Islam dan bukan dalam bahasa Arab saja? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang
mengganggu saya ketika istilah Sastra Islam ini muncul dan banyak diperdebatkan
oleh para sastrawan dan ahli sastra. Dalam hal ini, saya kemudian beralasan
bahwa pertanyaan-pertanyaan itu tidak dapat dijawab serta merta karena juga
disebabkan oleh sifat sastra itu sendiri yang universal. Biasanya universalime
sastra tidak dapat dibatasi oleh ideologi tertentu. Ideologi tentunya dapat
menjadi intisari sebuah karya, tetapi tidak bisa berubah menjadi penyekat
sastra itu sendiri. Ideologi ada dan hadir di dalam karya dengan sifatnya yang
inklusif; jelas, berbekas, tapi tetap laten.
Dalam ilmu
sastra (setidaknya sampai saat tulisan ini dibuat), satu-satunya aspek yang
bisa menjadi penyekat atau dinding pemisah antara sastra yang satu dengan yang
lainnya adalah wilayah/Negara/bangsa. Sehingga kita mengenal adanya Sastra
Indonesia, Sastra Sunda, Sastra Jawa, Sastra Melayu, Sastra Inggris, Sastra
Jepang, Sastra Amerika, dan lain-lain, tapi tidak Sastra Liberal, Sastra
Kapitalis, Sastra Komunis, Sastra Kristen, Sastra Hindu, atau Sastra Islam.
Walaupun begitu, tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk memulai lagi
dan/atau mencoba lagi merumuskan kesusastraan berbasis ideologi, termasuk
pendefinisian Sastra Islam sebagai sebuah istilah yang ‘berterima’ (acceptable)
dalam disiplin ilmu sastra. Dalam kajian kita kali ini, anggap saja dulu bahwa
istilah Sastra Islam sudah kuat, kokoh, tak tergoyahkan dan ‘berterima’ sebagai
sebuah kategori dalam ilmu sastra, atau paling tidak, kita acukan istilah
Sastra Islam ini kepada pengertian yang pertama, yaitu sebagai kesusastraan
Arab yang banyak dipengaruhi Al-Quran baik dalam bentuk maupun isinya.Sebagai
sebuah pelacakan awal, tulisan ini tidak berpretensi untuk menjadi sebuah
pengkajian yang komprehensif mengenai kontribusi Sastra Islam terhadap Sastra
Inggris. Tulisan ini akan membatasi dirinya sendiri dalam hubungannnya dengan
kehadiran bentuk-bentuk Sastra Islam sebagai suatu kesusastraan yang banyak
dipengaruhi Al-Quran, dan beberapa pengaruhnya ke dalam kesusastraan Inggris.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa Al-Quran adalah karya sastra terbesar sepanjang sejarah umat
manusia. Nilai estetis Al-Quran terpancar dari setiap ayat yang hadir tidak
hanya dalam bentuk puisi tetapi juga prosa dan drama sekaligus. Fenomena
historis ‘Ijaz
Al-Quran, tantangan
Allah kepada siapa saja yang hendak menandingi kehebatan sastrawi Al-Quran (dan
kenyataannya, sampai sekarang memang tak ada seorangpun dan dari sastra apapun
yang dapat menandinginya,Subhanallah…!), membuktikan bahwa
Al-Quran betul-betul merupakan karya sastra agung. Tanpa fenomena historis ini,
maka mungkin saja kita akan ragu kalau Al-Quran adalah karya sastra agung yang
kekuatannya dapat dan akan selalu mempesonakan, mengharukan, menggerakkan,
menakutkan, dan bahkan menghancurkan. Dalam konteks kesusastraan Arab, Al-Quran
mampu mencerai-beraikan semua norma keunggulan sastra yang pernah dikenal
bangsa Arab sendiri. Setiap ayat Al-Quran sesuai dan memenuhi norma sastra yang
pernah dikenal, dan bahkan mengunggulinya. Al-Quran bukanlah puisi, bukan,
prosa, dan bukan drama, tapi semua unsur yang pernah dikenal bangsa Arab (dan
oleh manusia secara umum) dalam bidang ilmu sastra mengenai puisi, prosa, dan
drama ada dan hadir dalam Al-Quran sekaligus. Bahasa Al-Quran bisa diawali
dengan puitik tapi bisa berakhir secara dramatik atau kedua-duanya. Dalam surat
An-Nur, kita menemukan bahasa yang dramatis di awal-awal, tapi begitu puitis di
tengah ketika mengungkapkan perumpamaan Allah dengan cahaya. Begitupun dengan
prinsip Plot yang dikemukakan Aristoteles sebagai yang memiliki awal, tengah
dan akhir, diruntuhkan oleh Al-Quran (misalnya terlihat dalam surat Al-Qashash)
dengan menghadirkan cerita tidak dalam hubungannya dengan perjalanan kausalitas
tetapi lebih didasarkan pada prinsip kelogisan sebuah cerita. Ini baru sebagian
kecil dari keagungan bentuk, belum lagi yang berhubungan dengan keagungan isi.
Universalitas manusia, HAM, hubungan keluarga, sains dan teknologi, ekonomi,
perpolitikan, seni, kebudayaan, dan prinsip-prinsip rasional dalam melihat
perkembangan kehidupan adalah juga hanya sebagian kecil dari isi kandungan
Al-Quran yang begitu komprehensif mengatur kehidupan.
Dari sinilah
maka, kesusastraan Arab pasca kelahiran Al-Quran (baca: Islam), begitu
terpengaruh oleh gaya Al-Quran. Di sepanjang dunia Muslim maupun sejarah
Muslim, Al-Quran menjadi ideal sastra yang tak tertandingi. Sebelum zaman
kolonialisme dan imperialism Barat (baca: Eropa dan Amerika), ketika kekuatan
asing memaksakan penggantian tulisan Arab dengan Latin dan mulai mempengaruhi
selera sastra masyarakat Muslim, hampir semua karya sastra Muslim merefleksikan
karakteristik tradisional Al-Quran. Beberapa karya itu diantaranya adalah: khutbah, risalah, maqamah (kisah pendek),
qishash (cerita
berisi pesan moral), qashidah (syair), danmaqalah (esei tentang satu gagasan tertentu).
Pendek kata, semua Muslim berupaya memenuhi semua kriteria ini, karena kriteria
ini berasal dari Al-Quran, contoh ideal. Pemenuhan kriteria ini merupakan
ukuran keberhasilan, ukuran pemenuhan sastra, dan ukuran nilai estetis dari
penulis dan pembaca.
Dilihat dari
sisi Al-Quran inilah, maka saya kemudian melihat adanya kontribusi Sastra Islam
terhadap kesusastraan Inggris, baik langsung maupun tidak langsung. Contohnya
adalah bagaimana kesusatraan Inggris saat ini mengenal istilah apothegm, yaitu pernyataan tajam dan mengandung
filosofi yang tinggi dalam bentuk puisi atau prosa. Apothegm ini pada awalnya tidak ada dalam
kesusastraan Inggris, dan baru muncul setelah abad ke-18 (abad di mana Eropa
sedang jaya-jayanya menguasai Asia dan Afrika, termasuk Negara-negara Arab).
Dari sini, dapat kita “curigai” bahwa kemunculan apothegm sebagai genre sastra
dipengaruhi oleh Sastra Islam dari bentuk (genre) khutbah, yang notabene merupakan
suatu wasiat. Begitu pula dengan istilah essayyang
pemaknaannya sama dengan istilah maqalah di sastra Arab, yang
mengungkapkan satu gagasan tertentu. Contoh lain adalah parable yang bersanding sejajar dengan istilah qishash.
Selain itu, kita juga tidak bisa menyangkal
kekuatan kisah Alfun
laila wa laila (Seribu
Satu Malam) yang banyak menginspirasi Sastra Inggris baik dalam bentuk maupun
isi ceritanya. Bahkan, bagi sebagian besar sastrawan Muslim, Romeo and Juliet-nya William
Shakespeare diyakini sebagai versi lain (kalau tidak mau dikatakan jiplakan)
dari Layla Majnun-nya Syech Nizhami.
Semua ini, walaupun terlalu dini juga mengatakan Sastra Inggris banyak
dipengaruhi Sastra Islam, berhubungan dan dapat dikatakan sebagai kontribusi
Sastra Islam terhadap Sastra Inggris.
[1] Handout disampaikan dalam acara diskusi
reguler SASAKA (Sanggar Sastra Kampus), 13 Oktober
2010
[2] Dosen
Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan
Gunung Djati Bandung