MUDIK adalah ciri khas kebudayaan
Indonesia. Buktinya, Alan M. Stevens dan A. Ed. Schmidgall-Tellings, penyusun A Comprehensive Indonesian-English Dictionary (2010), tidak menemukan padanan
yang tepat buat istilah mudik. Mereka hanya dapat
menerjemahkannya menjadi “go back to one’s native village at Lebaran”.
Alhasil, dalam urusan mudik, kamus dwibahasa (yang mencari padanan kata) pun
terpaksa menyerupai kamus ekabahasa (yang menerangkan arti kata).
Pemakaian istilahnya saja unik nian. Terbentuk dari kata
dasar udik, istilah mudiksesungguhnya informal. Verba yang baku
seharusnya mengudik,
tapi kata bentukan demikian tidak pernah terdengar. Betapapun, istilah informal
itu dipakai dalam rapat kabinet, digunakan dalam rumusan kebijakan serta
program birokrasi pemerintahan, dan diolah dalam media jurnalistik. Dengan kata
lain, gejala mudik memperlihatkan betapa kegiatan informal dapat menguras
perhatian tatanan formal. Tanpa perang saudara atau bencana alam, seluruh
tatanan transportasi Indonesia bisa dibikin hibuk selama dua pekan sehabis
Lebaran.
Mungkin itu sebabnya orang sulit mencari bandingan mudik
di luar Indonesia. Dari segi besarannya, kafilah Idul Fitri ini kiranya hanya
dapat dibandingkan dengan migrasi kolektif dalam novel klasik The Grapes of Wrath karya John Steinbeck. Tentu,
kaitan cerita Amerika itu berbeda, yaitu terusirnya warga desa oleh
industrialisasi pertanian, hingga mereka bergerak di jalan raya buat mencari
tempat baru. Dengan kata lain, rakyat Steinbeck meninggalkan udik, sedangkan
rakyat Indonesia kembali ke udik —setelah tersedot industrialisasi kehidupan di
kota.
Uniknya pula, kata udik itu sendiri sudah jarang dipakai dalam
perbincangan sehari-hari. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2008),
kata itu bisa berarti “daerah di hulu sungai” atau “dusun”. Sungai dahulu kala
adalah jalan raya hari ini. Dulu, tatkala sungai masih menjadi jalur
transportasi utama, orang Nusantara pergi ke hilir dan kembali ke udik. Dari
situlah, rupanya, timbulnya ungkapan hilir-mudik alias mondar-mandir yang biasa
digunakan buat melukiskan keadaan lalu lintas. Kata udik tak
lagi sering digunakan karena orang Indonesia sudah lama mengabaikan sungai.
Perhatian Indonesia hari ini terarah ke jalan raya, bukan
ke sungai. Buktinya, rumah-rumah di bantaran kali umumnya membelakangi kali itu
sendiri. Kali dan sungai akhirnya dijadikan ruang belakang tempat banyak orang
membuang sampah, kotoran, dan sebagainya. Adapun jalan raya kemudian dijadikan
ruang depan tempat banyak orang mempertaruhkan karier dan harkat dirinya.
Jejak-jejak peradaban sungai di negeri ini hanya dapat dirasakan pada istilah
dan rutinitas mudik. Mereka yang mudik tak ubahnya dengan ikan salmon yang
kembali ke hulu pada waktu-waktu tertentu.
Bagi kawanan ikan salmon, hulu sungai adalah tempat yang
baik buat mati dan melaksanakan regenerasi. Bagi jutaan orang Indonesia, dusun
atau desa adalah tempat yang baik buat memperlihatkan sikap berani mati setahun
sekali. Tidak mustahil hidup para pemudik berakhir di jalur pantura Jawa atau
di jurang kelokan empat puluh empat Sumatra. Sepeda motor adalah simbolnya yang
menonjol. Pasukan kavaleri manapun, tampaknya, tidak dapat menandingi patriot
bermotor dalam hal keberanian, kecepatan, daya angkut, dan jarak tempuhnya.
Patut dicatat bahwa salah satu destinasi terpenting bagi
para pemberani itu adalah kuburan. Meski Persis atau Muhammadiyah barangkali
tidak menyukainya, muslim pemudik pada umumnya menjadikan kunjungan ke kuburan
sebagai kegiatan penting. Mereka merambih ke makam leluhur atau anggota
keluarga lainnya. Di situ bunga rampai ditaburkan dan air jernih dikucurkan ke
atas pusara, juga doa dipanjatkan. Lebaran mendapatkan salah satu simbolnya
dalam semacam air setaman.
Di situ pun terlihat watak Indonesia. Jika Idul Fitri di
negeri ini dapat ditafsirkan sebagai kesempatan reuni, patut dicatat bahwa
reuni itu tidak hanya melibatkan orang-orang yang masih hidup, melainkan juga
melibatkan orang-orang yang sudah mati. Si hidup dan si mati berkumpul lagi
dalam suasana Idul Fitri. Leluhur dan kaum kerabat yang telah tiada seakan
tidak benar-benar mati, melainkan tetap ikut mempengaruhi suasana hati dan
gerak-gerik keluarga yang masih hidup.
Pentingnya orang-orang yang telah tiada dalam kehidupan
orang Indonesia tergambarkan dalam The
Potent Dead (2002)
suntingan Henri Chambert-Loir dan Anthony Reid. Buku ini menyajikan sejumlah
telaah mengenai aspek-aspek spiritual orang Indonesia, antara lain orang Jawa,
Dayak, dan Bugis. “The
potent dead, as this book demonstrates, are omnipresent in modern Indonesia,”
tulis penyunting buku itu dalam bagian pendahuluan.
Demikianlah, melalui rutinitas mudik yang bersifat
informal, dengan segala risikonya, orang Indonesia merealisasikan gerak batin
ke tempat asal, ke lingkungan leluhur, di mana kebersamaan sepertinya
diteguhkan kembali.***
Oleh Hawe
Setiawan. Budayawan dan Kritikus Sastra.